Selepas subuh, Pak Tumin menyalakan kompor lalu menyeduh kopi tubruk—pekat, tanpa gula—lalu membawanya ke beranda. Kursi rotan tua menunggu di sana, menghadap kebun belakang yang sederhana. Kebun yang tak luas, tapi cukup untuk membelai batin yang mulai renta.
Di sana, pohon-pohon pisang tumbuh semaunya, liar tapi jujur. Daun-daunnya lebar, sebagian masih muda dan berkilau seperti harapan, sebagian lain sobek seperti kain lapuk yang pernah menutupi luka. Yang layu dan kering selalu ia bersihkan pelan-pelan, agar tak mengganggu pertumbuhan yang masih ingin hidup.
Di salah satu daun muda, lubang-lubang kecil mulai muncul. Hampir setiap hari bertambah, seperti waktu yang tak bisa dicegah. Seekor Belalang Kayu hinggap di sana—tenang, nyaris tak terlihat. Tubuhnya cokelat kehijauan, menyatu dengan daun, penyamaran yang nyaris sempurna. Ia tak meloncat, tak bersuara, mengunyah perlahan dalam keheningan.
Bagi orang lain, itu mungkin hanya serangga. Tapi bagi Pak Tumin, mantan kepala desa yang kini lebih sering menulis di buku catatan kecilnya, daun berlubang itu seperti arsip yang tak tercetak. Setiap helai yang terkoyak menyimpan pesan. Dan belalang itu, betapa pun remeh, mengingatkannya pada sesuatu yang pernah ia alami sendiri: kekuasaan.
Cermin Berkabut
Sepuluh tahun ia memimpin desa. Ia tahu rasanya dipercaya, dihormati, sekaligus dirayu. Kontraktor datang membawa janji, tengkulak mengantri saat musim panen tiba, pejabat kecamatan datang dengan titipan yang dibungkus senyuman. Ia berusaha bertahan, menjaga jarak dari godaan, tapi ia juga tahu: jabatan bisa menjadi pelukan hangat yang menyesatkan, membuat manusia lupa bahwa mereka pernah berjalan dengan kaki telanjang di tanah kejujuran.
Kekuasaan adalah cermin berkabut di pagi hari—ia memantulkan wajah yang ingin kau lihat, bukan yang sebenarnya ada. Kekuasaan tak selalu datang dengan gemuruh; kadang ia menyusup seperti kabut, membasahi kesadaran hingga lupa pada akar. Orang-orang mendekat, bukan karena mereka mengharap cahaya, tapi karena mereka ingin menjadi bagian darinya. Mereka duduk di kursi-kursi berlapis pujian, mengenakan jubah dari kata-kata yang telah dipoles oleh waktu dan kepentingan. Mereka bicara tentang rakyat, tentang amanah, tentang perubahan, namun suara mereka sering tenggelam dalam gema diri sendiri.
Kekuasaan seringkali mengusap kepala dengan tangan tak terlihat, membuatmu percaya bahwa kau tak bisa salah, bahwa kau dibutuhkan, bahwa kau adalah jawaban terhadap segala pertanyaan. Dan ketika kau mulai percaya bahwa singgasana adalah takdir, bukan tanggung jawab, di sanalah kau mulai lenyap. Bukan karena kekuasaan mencuri jiwamu, tapi karena kau menyerahkannya dengan sukarela, demi memuaskan seluruh panca indera.
Kekuasaan bukan musuh. Ia hanya cermin. Tapi berhati-hatilah, sebab terlalu lama menatapnya bisa membuatmu lupa siapa yang berdiri di hadapan. Itulah kata-kata yang pernah ia tulis di buku catatannya—dengan tinta yang nyaris habis, tapi makna yang tak pernah luntur.
Kini, sejak pensiun, ia lebih suka mendengarkan burung di kebun ketimbang menghadiri undangan rapat sebagai tokoh masyarakat. Ia lebih percaya pada suara alam daripada notulen yang penuh basa-basi. Namun ia juga melihat bagaimana penggantinya, Seno, menjadikan kantor desa semacam panggung. Dana desa mengalir entah ke mana. Jalan kampung tetap rusak. Balai desa lebih sering jadi tempat pesta keluarga daripada ruang musyawarah.
Keluhan warga seperti angin yang berhenti di rumpun bambu—berdesir, tapi tak pernah sampai ke telinga.
Menulis, Bukan Berteriak
Pak Tumin bukan orang panggung. Ia menulis. Kali ini Ia menulis cerpen. Bukan menyebut nama, hanya metafora: tentang belalang yang melubangi daun pisang, tentang kekuasaan yang menyamar sebagai pelayanan.
“Daun pisang yang berlubang itu adalah peta kita,” tulisnya. “Belalang yang rakus bukan sekadar serangga, melainkan gambaran watak manusia yang lupa bahwa hidup bersama adalah soal berbagi, bukan menggerogoti.”
Tulisan itu dimuat sebuah koran lokal, lalu menyebar ke media sosial. Anak-anak muda menyalinnya di status WhatsApp, Tiktok, dan Ig, bahkan membuat meme belalang di daun pisang dengan teks satir. Di warung-warung kopi, orang mulai membicarakannya. Dengan bahasa berputar, warga seolah mafhum siapa yang dimaksud dalam metafora itu.
Tak lama, Seno datang. Ia muncul dengan senyum hangat dan sebuah bingkisan buah. “Pak, kita ini satu desa. Jangan bikin gaduh,” katanya, sambil meletakkan rambutan di meja.
Pak Tumin menunjuk ke kebun. “Lihat daun itu, Pak Kades. Lubangnya makin banyak. Tapi belalangnya tetap tenang, seolah tak bersalah.”
Seno tertawa hambar. “Itu cuma serangga, Pak.”
“Tapi perilakunya mirip manusia,” jawab Tumin, pelan tapi tegas.
Ada jeda sunyi di antara mereka. Angin membawa suara daun pisang bergesek, seakan ikut berbicara. Senyum Seno mengeras. “Yang Bapak tulis itu sudah ramai di medsos. Hati-hati, jangan sampai dianggap menghasut.”
Tumin menyesap kopi yang sudah dingin. “Saya hanya menulis apa yang saya lihat. Aneh kalau ada orang yang tersinggung.”
Seno berdiri, merapikan sarungnya. “Saya pamit, Pak. Semoga tidak ada lagi tulisan seperti itu.” Ia pergi dengan langkah yang berusaha tenang, tapi bayangan punggungnya menunjukkan kegelisahan.
Ruang Dingin di Kantor Kecamatan
Beberapa hari setelah cerpennya dimuat, surat panggilan datang. Kertasnya tipis, dicetak rapi, dengan kop resmi dan cap basah. Pak Tumin membacanya pelan-pelan, seperti membaca puisi yang tak sepenuhnya ia pahami. Ia diminta hadir di kantor kecamatan, “untuk klarifikasi,” begitu bunyinya.
Pagi itu, ia mengenakan kemeja polos dan sandal kulit yang mulai aus. Di ruang ber-AC yang dinginnya terasa seperti jarak, ia duduk berhadapan dengan seorang pejabat muda, mungkin awal tiga puluhan. Seragam dinasnya tampak terlalu baru, seperti belum menyatu dengan tubuhnya. Wajahnya bersih, tapi ada kegugupan yang tak bisa disembunyikan.
“Pak, kami hanya menjalankan prosedur,” katanya pelan, sambil membolak-balik berkas di depannya. Matanya tak berani menatap langsung.
Pak Tumin mengangguk pelan. “Saya hanya menulis tentang belalang,” ujarnya, tenang tapi tegas. Suaranya mengandung kelelahan yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Pejabat itu menunduk. Ada jeda panjang sebelum ia bicara lagi. “Saya tahu, Pak. Saya sudah baca. Dan saya setuju, sebenarnya. Tapi saya tak bisa bicara banyak. Ada atasan, ada sistem.”
Pak Tumin memandangnya lama. Di balik seragam dan prosedur, ia melihat seorang anak muda yang mungkin pernah bercita-cita menjadi penulis, atau guru, atau aktivis. Tapi kini terjebak dalam mesin renta dan berkarat.
Ada sejenis kejujuran yang terpancar dari wajah pejabat itu—kejujuran yang tak lantang, tapi cukup untuk membuat Pak Tumin merasa iba. Orang di depannya tampak lebih terpenjara daripada dirinya.
“Belalang itu hanya simbol,” kata Pak Tumin akhirnya. “Tapi mungkin simbol pun dianggap ancaman.”
Pejabat muda itu tersenyum tipis, nyaris tak terlihat. “Saya harap Bapak terus menulis. Diam kadang lebih berbahaya.”
Sore itu, sepulang dari kecamatan, Pak Tumin mendapati kebunnya berantakan. Daun-daun pisang tercabik kasar—bukan lagi lubang kecil yang ditinggalkan belalang, melainkan sobekan liar. Tanah becek penuh jejak sepatu. Belalang itu tak terlihat.
Ia terdiam. Bukan marah, melainkan paham.
Ini bukan lagi soal serangga. Ada tangan manusia yang ikut bermain.
Malam itu, setelah lampu dinyalakan dan suara jangkrik memenuhi halaman, Tumin membuka catatannya lagi. Ia kembali menulis cerpen. Ia menuliskannya dengan lirih tapi tekun, seolah setiap kalimat adalah doa sekaligus perlawanan. Judulnya sederhana: Lubang di Daun Pisang.
Cerpen itu ia kirim ke sebuah majalah sastra nasional. Ia tak berharap banyak. Baginya, menulis adalah cara untuk menyimpan jejak, bukan mengejar panggung. Namun sebulan kemudian, tanpa ia sangka, cerpen itu benar-benar dimuat.
Kabar pemuatan itu segera beredar. Anak-anak muda di desanya menunjukkan majalah itu dengan bangga. Di forum-forum daring, orang-orang membicarakannya. Ada yang menulis surat ke redaksi, ada pula yang mengirim email hanya untuk menyatakan setuju. Semua orang seolah paham: belalang yang dimaksud bukan lagi serangga di daun pisang. Tak perlu disebut, simbolnya sudah jelas.
Namun tidak semua orang senang.
Beberapa hari kemudian, Tumin dipanggil ke balai desa. Pak Seno duduk dengan wajah dingin, didampingi dua perangkat desa.
“Pak Tumin, cerita sampeyan itu bikin orang salah paham. Bisa-bisa desa kita dicap jelek,” katanya dengan nada menahan amarah.
Tumin menatapnya. “Cerita hanyalah cerita, Pak. Orang bisa menafsirkannya sesuka hati.”
Ruangan itu mendadak hening. Seorang perangkat batuk kecil, mencoba mencairkan suasana. Tapi Seno tetap menatap tajam. “Saya harap ini yang terakhir, Pak. Jangan ada tulisan lagi.”
Tumin hanya tersenyum tipis. Dalam hati ia tahu, selama masih ada daun pisang yang berlubang, akan selalu ada cerita yang lahir.
***
Di rumah, istrinya—Karmi—menyuguhkan kopi. “Ayah, hati-hati. Tidak semua orang suka kebenaran yang ditulis,” bisiknya cemas.
Tumin mengangguk. “Aku tidak menulis untuk membuat orang suka atau benci. Aku menulis agar orang ingat, bahwa kebun ini milik bersama. Kalau satu belalang dibiarkan, yang lain akan ikut datang.”
Waktu berlalu seperti angin yang tak pernah benar-benar diam. Desas-desus berputar di warung kopi, di beranda masjid, di grup WhatsApp RT. Bisik-bisik berubah menjadi gelombang. Nama Kades Seno disebut-sebut, kadang dengan nada sinis, kadang dengan tawa pahit.
Kabar datang tergesa seperti petir pada gerimis menjelang hujan: Kades Seno dicopot. Audit dari Lembaga Audit Provinsi menemukan banyak penyimpangan—anggaran fiktif, aset hilang, proyek mangkrak. Semua yang dulu tampak rapi ternyata hanya topeng dari kebusukan yang pelan-pelan terbongkar.
Yang lebih mengejutkan bukanlah pencopotan itu, melainkan siapa yang menggantikannya untuk sementara. Pejabat muda dari kecamatan, yang dulu memanggil Pak Tumin ke ruang ber-AC itu, kini dilantik sebagai pelaksana tugas.
Pada tugas hari pertama, pejabat muda itu datang ke rumah Pak Tumin. Ia berjalan kaki, melewati jalanan kampung yang masih basah oleh embun. Seragam barunya tampak kaku, seperti belum sepenuhnya dikenakan dengan hati. Wajahnya tegang, tapi ada sesuatu yang berbeda—seperti seseorang yang baru saja keluar dari cangkang.
Tangannya membawa seikat daun pisang segar. Hijau, utuh, tanpa lubang. Daun-daun itu tampak seperti janji yang belum diucapkan.
“Pak,” katanya, menunduk dalam, “saya ingin belajar dari Bapak. Tentang cara menjaga daun tetap utuh.”
Pak Tumin memandangnya lama. Di matanya, ada campuran rasa: heran, haru, dan sedikit waspada. Ia tahu, kekuasaan bisa mengubah orang—bisa melubangi daun yang paling hijau sekalipun.
Ia menerima daun itu dengan tenang, lalu mengajak tamunya duduk di bale bambu. Di kebun belakang, seekor belalang hinggap di ujung daun pisang. Tubuhnya ramping, antenanya bergerak pelan. Tapi kali ini, ia hanya diam. Tak melubangi apa pun. Seolah tahu, hari itu bukan waktunya mengunyah.
Pak Tumin tersenyum tipis. “Menjaga daun tetap utuh,” katanya pelan, “bukan soal teknik. Tapi soal niat. Dan keberanian untuk tidak ikut menggigit.”
Angin sore berembus. Di kejauhan, suara anak-anak bermain layang-layang. Langit tampak lebih bersih dari biasanya. Dan di antara daun-daun yang belum robek, harapan kecil mulai tumbuh—pelan, tapi nyata.
**
Malam itu, Pak Tumin kembali menulis.
Ia menulis bahwa meski berlubang, daun tetap tumbuh. Ia tahu, kekuasaan akan selalu silih berganti. Lubang-lubang baru mungkin akan lahir, sebagaimana musim yang tak henti datang dan pergi. Tetapi tugas generasi berikutnya bukanlah menunggu daun habis tercabik, melainkan belajar merawat—agar kebun tidak kehilangan rindang, agar luka tidak menjadi warisan.
Ia menutup catatan dengan satu kalimat, lirih nyaris seperti doa:
“Belalang adalah tamu yang tak pernah pamit. Ia boleh singgah, tapi jangan biarkan ia mengira bahwa daun-daun tumbuh untuk ditaklukkan.”
Blora, 2025