Flash Fiction
Disukai
1
Dilihat
18
Dua Lilin di Bukit Sunyi
Drama

Air bah memang telah surut, tetapi Desa Tapen tidak benar-benar kembali. Yang tertinggal bukan sekadar lumpur atau puing—melainkan keheningan yang menua, yang menempel di kulit yang tak bisa digosok pergi. Desa itu tampak seperti tubuh yang terjepit di antara hidup dan mati: belum dikuburkan, tetapi tanda-tanda vital kehidupan telah lenyap.

Rangka rumah berdiri miring seperti tulang yang sudah pasrah digerogoti pengapuran. Bau lumpur bercampur anyir bangkai mengapung di permukaan, seakan dunia sedang merebus ingatannya sendiri dan memilih ingatan paling kejam untuk tetap hidup. Tiang listrik berdiri terhuyung, seperti seseorang yang hampir menyerah pada pengapuran sendi yang menyerang lututnya.

Di atas beberapa tiang itu, tampak sosok-sosok menggantung di batas hidup—bukan mati, hanya setengah tersisa—memeluk harapan yang semakin mengecil. Mata mereka kosong menatap cakrawala yang tak berubah, mengharap pada perahu putih yang tak pernah singgah, tangannya melambai perlahan seolah melihat sesuatu yang mendekat. Langit menghitam, angin menggesek reruntuhan dengan suara yang asing, dan air yang berlalu masih menyimpan dengung rendah yang seperti ingin mengingatkan: bencana punya suaranya sendiri—suara yang dingin, dalam, dan melelahkan hati.

Di sebuah bukit kecil—satu-satunya tanah kering yang tak terjangkau genangan—dua anak duduk meringkuk seperti daun tercerabut angin. Janki, delapan tahun, memeluk Benny, adiknya yang baru lima tahun. Tubuh Benny kian enteng, seolah sedang berubah menjadi bayangan, perlahan-lahan meninggalkan bentuk manusia. Tangisnya terputus-putus, seperti suara yang tak lagi yakin ingin bertahan.

“Kak… Ayah mana?”

Janki tak menjawab. Tidak karena tak tahu, tetapi karena jawaban apa pun akan menjadi luka baru. Suara air bah kemarin sudah menelan lebih banyak nama daripada yang sempat diucapkan.

Dua hari mereka bertahan di bukit itu. Dua hari tanpa suara selain napas mereka sendiri. Dua hari menunggu sesuatu yang bahkan mereka tak tahu apakah masih mungkin datang. Jagung-jagung yang tumbang berdiri kaku seperti penanda bahwa alam pun sedang berduka. Buah-buah yang jatuh menjadi satu-satunya alasan untuk percaya bahwa dunia belum sepenuhnya memutuskan hubungan dengan mereka.

Namun alam tidak memberi air. Tidak memberi hangat. Tidak menggantikan ibu.

Janki menadah hujan dengan kaleng berkarat. Hujan itu—pahit, berbau besi— akhirnya diminum Benny dengan wajah meringis. Di malam hari, dingin datang seperti binatang yang tahu tempat paling lemah untuk menggigit. Dari kejauhan, desa mengirimkan suara-suara samar: lengking, rintih, mungkin hanya angin yang tersesat di antara puing. Namun bagi Janki, suara itu terkadang terdengar seperti panggilan ayah. Atau ibu. Atau dirinya sendiri yang tenggelam dan kembali dalam bentuk ketakutan.

Benny tertidur. Atau pingsan. Atau sesuatu yang lebih sunyi dari itu.

Janki tak berani menyelesaikan pikirannya.

Ia menatap desa yang tinggal setengah rupa—setengah ingatan, setengah mimpi buruk. Ia kembali melihat tangan ibu yang sempat meraih bajunya sebelum lenyap dibawa pusaran. Sejak itu, dunia terasa seperti selimut basah yang menempel di wajah: membuat susah bernapas, tetapi tak bisa dilepaskan.

“Dik… jangan tidur dulu,” bisiknya. Suaranya sendiri terdengar asing, seperti suara orang yang lebih tua dari delapan tahun. “Kita harus kuat… karena tak ada yang lain…”

Angin menyeret gumaman lirih dari bibir Benny.

“Kak… aku takut…”

Janki memejamkan mata. Ia ingin menangis. Ingin memukul malam agar berhenti. Ingin memanggil ayah, ibu, siapa saja. Namun ia tahu: tangis hanya menambah takut, teriak hanya memperpanjang sunyi. Malam itu, masa kanak-kanaknya runtuh seperti rumah-rumah di bawah bukit. Dan ia menjadi dewasa dengan cara paling kejam: dipaksa.

“Mereka akan datang, Dik… Kita akan pulang,” katanya, meski kata “pulang” kini terdengar seperti cerita lama yang hilang halaman akhirnya.

Angin semakin dingin. Langit semakin pekat. Tidak ada perahu. Tidak ada langkah. Tidak ada dunia selain dua anak yang mencoba menolak padam di bukit kecil itu.

Di sana, mereka bertahan—bukan karena kuat, tetapi karena tidak ada pilihan untuk menyerah. Mereka adalah dua lilin kecil yang terus bergetar, memaksakan cahaya tipis meski di sekelilingnya gelap menyebar tanpa belas.

Pelukan Janki menjadi pelukan terakhir manusia yang masih bernapas di tempat itu.

Dan di antara lengking sunyi, bumi seakan bergumam:

Tidak semua yang bertahan akan diselamatkan.

Tapi mereka yang selamat adalah yang terus menyalakan harapan, meski hanya sebesar atom, sampai akhir.

 

Blora, Desember 2025

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Rekomendasi