Siang itu saya masih disibukan dengan kegiatan rutin seorang pengangguran, ya, mencari pekerjaan. Dua bulan lalu saya memutuskan untuk behenti bekerja dari perusahaan lama. Kalau saya pikir ulang, nampaknya saya belum begitu dewasa di dunia kerja. Saya seringkali menyangkut-pautkan banyak hal di kantor dengan hati. Seharusnya saya dapat mengendalikan hal itu.
Saya bekerja sebagai karyawan tetap di salah satu perusahaan swasta di Jakarta, sebagai analis tapi terkadang ditarik ke sana kemari sesuai kebutuhan tim. Karena beberapa tahun belakangan dunia dilanda pandemi, termasuk Indonesia, saya bekerja fulltime dari rumah. Dua tahun bekerja, tentunya memberi banyak sekali pengalaman. Ya, saya tidak senaif itu, sebetulnya memuakkan. Jelas, saya tidak ingin menjelekkan tempat di mana saya mencari nafkah. Namun, nyatanya tempat bekerja dan orang-orangnya juga tidak sebaik itu, pikir saya.
Saya resign dengan penuh ketergesaan, dengan perhitungan yang ala kadarnya, dan akhirnya terlalu banyak risiko yang harus saya ambil. Saya belum memiliki pekerjaan pengganti saat itu, jadilah pengangguran selama kurang lebih dua bulan.
Terbiasa mencari pekerjaan secara online, membuat saya tak pernah memikirkan untuk pergi ke luar rumah. "Pasti bisa dapat yang full-remote." Kata saya mantap dalam hati. Saya sudah lelah setiap saat mengirim CV dan surat lamaran. Memoles diri dengan kata-kata paling berkelas. Pekerjaan remote, onsite, hybrid, tak peduli berapa banyak lamaran per hari yang saya masukkan. Saya harus mendapat pekerjaan segera, saya harus hidup dan menghidupi keluarga.
Ya, ibu, bapak sudah tidak bekerja. Kebutuhan rumah benar-benar bergantung dari uang yang saya kumpulkan. Melelahkan. Tidak hanya itu, bagian lain dari Kartu Keluarga juga ikut bergantung. Kakak saya. Memang ekonominya tidak terlalu bagus, tapi anaknya banyak. Tidak ada yang lebih saya sayangi selain anak-anak mereka. Jika mereka perlu ibu ke dua, saya yang akan maju paling pertama. Cinta pada mereka selalu memberi saya kesanggupan untuk menemukan harta apapun di dunia ini. Namun, saya juga hanya perempuan bertubuh kurus yang tingginya hanya 153 sentimeter. Bahkan tubuh saya tidak mampu menopang beban berat apapun, saya hanya bisa mengangkat 3 kg gas LPG.
Jika beban hidup berwujud, bisa remuk redam tubuh saya.
Biasanya, siang hari saya bolak-balik ke rumah Kakak. Untuk apalagi kalau bukan bermain dengan si kecil mungil. Siang itu entah mengapa saya merasa malas, ingin rebahan dan beristirahat seharian. Bahkan untuk makan siang pun saya enggan.
Semua berjalan seperti biasanya, hingga kejadian sore hari mengubah dunia dan seisinya.
Keponakanku dari kakak pertama datang tergopoh-gopoh, menaruh rasa khawatir pada sebotol air mineral. "Bah, itu Paman sakit dada, bikinin air." Begitulah lumrahnya di tempat kami. Sakit apapun obat pertamanya bukan kotak P3K, air doa. Abah, bapak saya yang otomatis kakeknya keponakan saya, langsung membacakan lantunan doa-doa yang tidak pernah saya mengerti. Kata Ibu, semua penyakit ada doanya dan terkadang untuk menguasai doa itu, Abah harus berpuasa berhari-hari, agar mustajab. Ini poin yang selalu saya pertanyakan benar tidaknya.
Setelah selesai, ponakan saya bergegas pulang. Sore itu masih pukul lima, Matahari pun masih setinggi dua kepalan tangan. Sedikit pun kami tidak memiliki firasat. Malamnya, setelah sholat Magrib, saya mulai bergairah untuk memasak. Saya mulai mencuci sawi putih yang dibeli tadi pagi. Ibu memasak daging ayam agak banyak, lebih tepatnya tulang ayam yang masih ada dagingnya. Kau cari saja ke pasar, tulang punggung ayam, itu lebih murah dan dagingnya masih dapat dimakan. Saya suka sawi putih, apalagi jika dimasak dengan Mie Korea. Jiwa istri Min Yoongi saya seketika bangkit, makanan kita sama. Sama-sama, sawi putih.
Makanan sudah siap di meja. Tiba-tiba handphone saya berdering. Itu kakak saya.
Jujur, saya kadang malas mengangkat telepon beliau. Kalau bukan hal tidak penting, terkadang pas saya angkat, dia hanya laporan "nafas" saja lalu senyap. Buang-buang waktu. Tapi malam itu saya sigap menjawab.
Dia bilang, "Ta, Si Aa gak sadarkan diri." Ia menangis terisak, nada bicaranya pun tidak jelas. Tanpa ba-bi-bu, saya bergegas pergi ke rumahnya. Sesampainya di sana, tidak ada hal aneh. "Lah, Si Aa mana?"
Semua orang terdiam, "Barusan dibawa ke dokter."
"Katanya gak sadarkan diri. Coba kumpulin semua dokumen, KK, KTP, apapun, takutnya langsung dibawa ke Rumah Sakit." Saya sedikit memerintah.
Saya bergegas menuju tempat praktik dokter tujuan. Namun nihil tidak ada tanda-tanda apapun. Saya menaruh curiga beliau langsung dilarikan ke Rumah Sakit. Sesampainya di sana, seramainya tempat itu, tetap saja sunyi, senyap dan sedikit menyeramkan. Masih tidak ada tanda-tanda apapun.
Dunia malam yang gelap itu, tak saya lihat satu bintang pun berkedip. Terdengar isak tangis menyesakkan dari ruang IGD. Saya mengenal tangisnya. Itu tangis kakak saya. Saya bergegas menemui beliau. "Si Aa udah gak ada. Kenapa tega banget ninggalin sendirian, Teteh pengen nyusul."
Bisu. Saya membisu. Dunia dan seisinya hancur sehancur-hancurnya. Di kepala saya melintas wajah keponakan saya, mereka masih sekolah, satu di SD dan satu lagi di SMA. Mereka akan menjadi anak yatim, tak berayah. Ini baru pertama kali, di antara datarnya kehidupan saya. Ini baru pertama kali, seluruh anggota tubuh saya kaku, rasanya semua ingin meledak di kepala. Jelas ini bukan mimpi.
Orang sebaik beliau, harus pergi secepat ini. Saya beri tahu kalian, tentang beliau. Tidak pernah saya temui manusia mana pun sesopan beliau. Tidak memiliki rasa iri, benci bahkan tak pernah saya dengar ia menggunjing orang lain. Hidupnya seperti sedamai itu dengan manusia mana pun.
Handphone saya berdering, kali ini orang rumah menelepon. Di antara semua kejadian, saat itulah saya tidak pernah ingin bicara. Orang rumah akan tahu kebenaran paling menyakitkan dari saya. "Gimana kondisi Paman, Bi?"
"Udah gak ada, sabar ya, tenangkan anak-anak."Jawab saya tegas, tapi air mata saya jatuh tanpa diinginkan.
Tubuh saya masih sangat lambat merespon apapun. Dunia benar-benar berhenti, saya linglung dan tidak bisa membedakan bahkan sebatas kiri dan kanan. Tapi jenazah itu harus secepatnya diurus. Kau tahu, kakak saya tidak berhenti menangis dan saya harus setegar itu.
Dunia belum menyakitkan, kalau kau tidak merasakan ditinggal seseorang untuk selama-lamanya, padahal baru beberapa menit yang lalu bercakap-cakap.
Semua riuh kembali, isak tangis kerabat dekat yang datang ke Rumah Sakit menjadi bertambah. Sirine ambulans mengantar kepulangan kakak ipar saya. Isak tangis itu masih belum mereda. Semua orang masih bertanya-tanya, mengapa?
Hingga kami sampai di depan gang menuju rumah duka. Semua orang berkerumun, menyambut ambulans yang kami tumpangi. Mereka ingin memastikan, orang yang mereka temui tadi sore, kini sudah berpulang kepada Rabb nya.
Saya memapah kakak saya. Berjalan di antara gang sempit penuh kesedihan. Semua orang menyambut dengan tangis. Saya bergegas memeluk keponakan saya yang paling kecil. Tak berkata apapun, hanya dengan tangisan, dunia sudah memberi tahu bahwa sosok Bapak yang biasanya ia sambut saat pulang bekerja, kini akan beristirahat panjang.
Semua orang menangis, menenangkan keluarga, dan sebagian lain mengurus jenazah. Ya, peran kita selanjutnya, sama-sama akan menjadi jenazah.
Perlu kau tahu satu hal, saya dulunya penakut. Namun, setelah itu, setelah yang menjadi jenazah adalah orang terdekat, saya tidak lagi merasa takut dengan kehadiran sosok astral apapun. Percayalah, takut yang sesungguhnya bisa berwujud kesedihan dan kehilangan.
Kepergian orang terdekat bagi saya adalah pemisah. Begitu lama fase dan masa yang harus kita lalui untuk bertemu. Itupun kalau dipertemukan kembali. Setelah perkara dunia ini selesai, saya benar-benar ingin berkumpul dengan orang-orang terdekat, ibu, bapak, kakak, keponakan, anak, cucu dan semua orang yang saya sayangi. Satu-satunya tempat bertemu paling indah adalah surga. Tapi untuk sampai kesana membutuhkan waktu yang sangat panjang. Alam yang berbeda-beda dan bertahap-tahap. Saya hanya bisa membayangkan itu, bentuk kerinduan kedua ponakan yang kini tak berayah.
Ada bagian paling sedih. Sore itu, saat kakak ipar saya pergi ke dokter, anaknya yang paling kecil menyembunyikan sebagian besar tubuhnya di balik pintu. Ia hanya memperlihatkan kepala dan melambaikan tangannya sambil berkata, "Dadah Bapak, cepet sembuh."
Itu adalah perpisahan terakhir. Ia tak pernah mendengar kembali suara ayahnya. Dunia benar-benar memisahkan anak sekecil itu dari ayahnya, merenggut seorang suami dari istrinya. Dunia bisa semendadak itu menghancurkan kita. Merelakan hal paling sulit.
Kakak ipar saya bukan orang penting, bukan pejabat dan bukan orang terkenal. Ia diantar banyak orang yang merasakan kehilangan. Ditemani banyak doa-doa hingga hari ini. Ia telah tuntas mengajarkan anak-anaknya mendoakan kebaikan setelah meninggal. Ia telah diangkat oleh doa-doa anaknya yang sholehah. Bisakah kita berpulang setenang itu?