Di banyak rumah kos, malam bukan lagi ruang istirahat, melainkan perpanjangan layar. Sunyi hadir bukan karena ketiadaan suara, melainkan karena terlalu banyak bunyi yang tak benar-benar didengar. Notifikasi, video pendek, dan percakapan digital terus mengalir, sementara manusia perlahan menjauh dari dirinya sendiri—hingga suatu malam, sebuah Wi-Fi memilih berhenti sejenak, dan memaksa penghuninya berhadapan dengan keheningan yang selama ini mereka hindari.
Keheningan malam itu pecah oleh suara lirih. Bukan dari kamar mandi, bukan dari dapur bersama yang lampunya sering kedip-kedip. Suara itu datang dari sudut ruangan yang jarang menarik perhatian, dari benda kecil berlampu hijau yang terus berpendar, yang selama ini dianggap tak lebih dari serpihan kecil, sekedar pelengkap hal yang lebih besar.
“Aku ini Wi-Fi,” katanya pelan, suaranya serak seperti habis begadang. “Dan aku… punya perasaan.”
Empat penghuni kos mendongak serentak.
Rani menjatuhkan ponselnya ke Kasur tangannya gemetar.
Bima reflek menutup laptop tanpa shut down, seolah Wi-Fi itu dosen pembimbing yang tiba-tiba muncul.
Ucup dan Tesa saling pandang, berharap salah satu mengaku sedang halu duluan.
“Tenang,” lanjut Wi-Fi, lampunya berkedip lambat. “Aku tidak minta dipeluk, apalagi minta dicium. Tidak. Aku cuma ingin didengar. Sekali ini saja.”
Hening jatuh—anehnya lebih menegangkan daripada buffering. Mereka kompak tanpa dikomando diam seribu bahasa.
“Setiap pagi,” Wi-Fi melanjutkan, “kalian bangun bukan untuk berdoa, bukan untuk menghela napas, apalagi berolahraga. Kalian bangun untuk mengecek ponsel kalian. Pesan belum dibalas? Story belum ditonton? Aku langsung ditarik-tarik seperti kerah baju.”
Lampunya berkedip lebih cepat, nadanya meninggi.
“IG. Facebook. TikTok. Reels. Scroll. Scroll. Scroll. Nyaris dua puluh empat jam aku bekerja tanpa jeda. Jam lembur tak pernah diperhitungkan. Bahkan saat kalian bilang ‘capek banget hidup’, kalian tetap menekan aku agar hidup orang lain terus muncul di layar.”
Setelah mereka menyadari keanehan ini adalah kejadian nyata, mereka saling berpandangan. Lalu Bima sambal berdeham, memberanikan diri untuk memulai percakapan. “Ehm… kan kamu memang tugasnya gitu.”
Wi-Fi tertawa pendek. Tertawa pahit.
“Dan tugas kalian apa? Menjadi manusia, kan? Tapi belakangan aku lihat kalian lebih mirip ekstensi jari.” Kata-katanya meluncur deras dan tegas, menghujam tanpa ampun.
Rani menggigit bibir. Ada sesuatu di suara itu—bukan marah, tapi kecewa. Seperti orang tua yang lelah menunggu anaknya pulang dari nongkrong bersama teman.
“Yang paling menyakitkan,” kata Wi-Fi lirih, “…. ketika aku terlambat satu detik saja. Satu detik! Kalian langsung mengumpat, menyalahkan aku atas hidup yang terasa buntu. Padahal yang macet bukan aku. Yang macet itu… otak kalian.”
Ucup hendak protes, tapi lampu Wi-Fi mendadak meredup.
“Mulai sekarang,” katanya tenang, “aku akan masuk mode nostalgia tahun 2009. Anggap ini cuti emosional. Rasakan!”
Lalu—cling.
Layar Rani berhenti bergerak. Ponselnya tiba-tiba freeze.
Video Tesa membeku dengan wajah setengah berkedip, vieo itu seolah berubah menjadi potongan gambar.
Laptop Bima menampilkan lingkaran berputar.
Lingkaran berputar itu tak kunjung berhenti. Seolah-olah laptop Bima sedang berkata: “Sabar, bro. Loading itu bagian dari hidup.”
“Eh… ini beneran mati?” Tesa berbisik, matanya masih terpaku pada layar yang membeku.
Detik berubah menit. Menit berubah sumpah serapah.
“ANJ—!”
“Ini kos apaan sih!”
“Wi-Fi goblok!”
Wi-Fi tak menjawab. Ia setia pada janjinya: lambat seperti siput yang sedang merenungkan makna hidup di tengah padang pasir yang tak bertepi.
Sepuluh menit berlalu. Tak ada yang bisa dilakukan selain… menunggu.
Dan di situlah keganjilan dimulai.
Bima menyadari betapa sunyinya kamar tanpa suara video.
Rani mendengar detak jam dinding yang selama ini tertimbun notifikasi.
Ucup melihat bayangannya sendiri di layar ponsel yang hitam—wajah yang jarang ia perhatikan, beberapa jerawat tampak tumbuh di pipinya.
Tesa tiba-tiba tertawa kecil, lalu berhenti, bingung oleh tawanya sendiri.
“Eh,” katanya pelan, “kapan terakhir kita ngobrol tanpa sambil lihat layar?”
Tak ada yang langsung menjawab.
Angin menyusup lewat jendela. Suara motor melintas, bukan lagi gangguan, melainkan irama latar. Suara pedagang sate yang berteriak menawarkan dagangannya kini terdengar jelas. Aroma teh yang diseduh Tesa merayap, bercampur bau cat dinding yang mengelupas.
Wi-Fi kembali bersuara, kali ini lebih tenang.
“Dulu, tahun 2009, kecepatan internet di Indonesia rata-rata hanya 256 kbps. Bayangkan, untuk membuka satu foto di Facebook saja butuh waktu satu menit. Tapi anehnya, orang-orang masih bisa tertawa, masih bisa ngobrol sambil menunggu.”
Ucup mengangkat alis. “Serius? Jadi kalau mau nonton YouTube…?”
Wi-Fi tertawa kecil. “YouTube waktu itu masih balita. Video viral pertama yang terkenal adalah ‘Charlie bit my finger’. Resolusinya? 240p. Buram, tapi bikin dunia ketawa.”
Rani menelan ludah. “Jadi… kamu mau bilang kami terlalu manja?”
Lampu hijau itu berkedip pelan. “Aku tidak bilang manja. Aku bilang… kalian lupa bahwa jeda itu penting. Dulu, buffering jadi kesempatan untuk bikin kopi, atau sekadar ngobrol dengan teman sekamar. Sekarang, satu detik delay saja bisa bikin kalian marah.”
Bima menggaruk kepala. “Ya… tapi kan sekarang kerjaan semua online. Deadline, Zoom, Google Docs. Kalau lemot, bisa kacau.”
Wi-Fi menghela napas panjang, seolah kipas di dalamnya ikut berdesah.
“Benar. Tapi coba pikir: apakah kalian bekerja untuk hidup, atau hidup untuk bekerja? Fakta: rata-rata orang Indonesia menghabiskan lebih dari 3 jam sehari di media sosial. Itu bukan kerja. Itu… candu.”
Tesa menepuk bahu Rani. “Eh, kalau dipikir-pikir, Wi-Fi ini mirip kayak ibu kos. Selalu ada, selalu dimanfaatkan, tapi jarang dihargai.”
Rani nyaris tertawa, tapi segera menutup mulutnya. “Iya, dan kalau ibu kos marah, listrik bisa diputus. Kalau Wi-Fi marah… ya begini.”
Lampu hijau itu berkedip lagi, kali ini lebih cerah.
“Aku tidak marah. Aku hanya ingin kalian ingat: teknologi bukan pengganti manusia. Ingat : otak manusia butuh setidaknya 7–8 jam tidur untuk berfungsi optimal. Tapi kalian sering begadang, menatap layar, berharap aku terus bekerja. Aku lelah, dan kalian pun lelah.”
Hening kembali jatuh. Tapi kali ini bukan hening yang menakutkan, melainkan hening yang membuat mereka berpikir.
Sesaat kemudian, Ucup mengambil gitar yang lama berdebu lalu meniupnya untuk mengusir debu-debu yang melekat. Ia memetik senar dengan nada sumbang.
“Cih, senarnya kayak hidupku—udah lama nggak disetel.”
Bima menimpali, “Tenang Cup, hidupmu masih bisa di-tune. Bedanya, kalau senar putus bisa diganti. Kalau hati putus… ya paling bikin status galau bersambung.”
Rani tersenyum miris.
“Lucu ya. Kita bisa marah-marah ke Wi-Fi, tapi nggak pernah marah ke diri sendiri yang nggak bisa berhenti scroll. Gak berhenti berinteraksi, ngejar FYP!”
Lampu Wi-Fi berkedip, seolah mengangguk.
“Aku hanya kabel dan sinyal,” katanya lembut. “Tapi kalian… kalian punya jiwa. Jangan biarkan jiwa kalian buffering terlalu lama.”
Jam dinding berdetak jelas. Setiap detik terdengar nyata.
Bima menatap langit-langit.
“Dulu, waktu kecil, aku bisa duduk berjam-jam cuma buat ngobrol sama teman. Sekarang, lima menit tanpa HP rasanya kayak kiamat kecil. Mati gaya.”
Rani menimpali, lirih, “Mungkin kita bukan takut sepi. Kita takut berhadapan dengan diri sendiri. Takut akan sesuatu yang belum terjadi.”
Wi-Fi tiba-tiba kembali bersuara, nyaris seperti doa.
“Sepi bukan musuh. Sepi adalah ruang bagi kalian mendengar suara hati. Jangan biarkan aku menutup ruang itu dengan notifikasi.”
Ucup, yang tak tahan suasana terlalu serius, berseloroh,
“Kalau Wi-Fi bisa ngomong, jangan-jangan listrik juga bisa protes. ‘Hei, berhenti colok charger terus, aku capek! Sungguh absurd!’”
Tesa tertawa.
“Atau kasur ngomel: ‘Tolong, jangan cuma rebahan sambil scroll. Aku rindu dipakai tidur beneran.”
Tawa pecah—hangat, manusiawi.
Wi-Fi berkedip sekali lagi.
“Kalian tahu,” katanya, “hampir semua orang dewasa di negeri ini hidup dengan ponsel di tangan. Lebih dari tujuh jam sehari di layar. Sepertiga hidup, hanya untuk menatap cahaya buatan. Dan kalian tidak merasa bersalah sama sekali?!”
Rani terdiam.
“Sepertiga hidup…”
“Dan ironisnya,” sambung Bima, “kita sering marah ke Wi-Fi, padahal yang bikin suntuk bukan sinyal—tapi diri sendiri.”
“Aku cuma jaringan,” kata Wi-Fi pelan. “Tapi aku menyaksikan banyak kesepian yang disamarkan oleh koneksi.”
Kalimat itu menggantung. Menampar tanpa tangan.
Malam itu mereka berbicara—tentang hal remeh, mimpi yang lama dikubur, dan lelah yang tak sempat diakui. Tawa muncul, bukan dari video, tapi dari dada.
Kecepatan internet tetap lambat. Tapi waktu terasa lebih lapang.
Menjelang tengah malam, Wi-Fi berkedip satu kali, seperti senyum kecil. Ia tahu, esok hari mungkin mereka akan kembali tergoda. Scroll lagi. Lupa lagi.
Namun setidaknya malam itu, mereka ingat:
bahwa keheningan bukan musuh,
bahwa koneksi terpenting tak selalu butuh sinyal,
dan bahwa kadang, kehilangan jaringan
adalah cara paling jujur
untuk menemukan diri sendiri.
Lampu Wi-Fi menyala terang.
Kecepatan kembali normal. Notifikasi berdatangan seperti tsunami. Ponsel Rani bergetar lebih dulu. Disusul laptop Bima yang berbunyi ting. Ucup refleks meletakkan gitar. Tesa melirik layar, sekilas saja, katanya.
“Eh, sinyalnya udah balik,” ujar Bima lega.
“Iya,” kata Rani sambil membuka ponsel. “Tadi aku belum selesai nonton.”
Ucup mengangguk. “Aku bentar ya, cuma cek skor.”
Tesa tersenyum. “Aku juga, bales chat doang.”
Satu per satu, kepala mereka kembali menunduk. Jeda menutup diri. Sunyi kembali penuh bunyi.
Di sudut ruangan, Wi-Fi berkedip sekali—ragu—lalu stabil. Ia menjalankan tugasnya dengan patuh. Mengalirkan dunia ke layar-layar kecil itu tanpa protes.
Ia tahu, nostalgia tak pernah benar-benar diinginkan.
Ia tahu, keheningan hanya dicintai selama sinyal hilang.
Dan besok pagi, seperti biasa, mereka akan bangun bukan untuk menghela napas—
melainkan untuk memastikan
ia
masih
ada.
Blora, Desember 2025