Penasaran, deh, gimana ya rasanya punya pacar? Jujur saja, aku belum pernah merasakan indahnya punya pacar. Berantem di atas motor, teleponan sampai tengah malam. Kayaknya aku pengin banget merasakan hal yang sama seperti teman-teman di kantor. Entah kenapa, hal-hal itu, drama-drama percintaan yang aku impikan sejak dulu, belum juga kesampaian.
Sore ini seperti biasa, aku duduk dulu di *coffee shop* sebelum pulang ke rumah. Setiap seruputan kopi, begitu nikmat rasanya. Apalagi kalau ada pacar, pasti lebih enak. Memang ada benarnya juga kata ibu kantin di kantorku, "Pacar itu enggak menjamin kebahagiaan, Ko." Tapi aku penasaran gimana rasanya. Setiap kali teman-teman kantor cerita tentang pacar mereka, rasanya aku pengin teriak kuat-kuat, "Aku juga mau punya pacar!" Ya, tapi mau gimana lagi, mungkin Tuhan sudah mempersiapkan seseorang jauh di sana untukku.
Pagi ini di kantor, aku baru tiba. Langsung duduk di meja kerjaku, menghidupkan komputer. Lalu temanku, Hendra, datang menghampiri.
"Tumben cepat, Ko," ucapnya sambil membenarkan kancing lengan bajunya.
"Tumben? Kayak aku sering telat aja," ucapku seraya memasukkan sandi email di komputer.
"Ko, nanti malam sibuk enggak?" tanya Hendra, menatapku dengan pandangan penuh rencana.
"Kayaknya enggak ada sih, emang kenapa?" tanyaku, menatapnya dengan rasa ingin tahu.
"Udah siap-siap aja, entar malam. Aku jemput di kosmu, jam delapan," jawab Hendra, berjalan menjauh menuju mejanya.
Aku menatapnya menjauh sebentar. Menggelengkan kepalaku seraya tertawa kecil, dengan gumam rendah, "Ada-ada aja." Melanjutkan kerjaku, membalas email yang masuk dari pelanggan.
Jam pulang kantor tiba, aku duduk di halte *busway* depan kantor. Lalu Hendra muncul, berhenti di depanku dengan motornya bersama pacarnya.
"Jangan lupa, Ko, jam 8, ya!" ucapnya, lalu menarik gas motornya dan berlalu pergi. Aku terus menatap Hendra dan pacarnya, yang berlalu pergi. Ada rasa iri di hatiku, rasanya kayak lihat bioskop dan aku hanyalah penonton yang melihat kisah romantis itu.
Di dalam *busway*, aku duduk di kursi paling belakang. Persis di depanku sepasang anak SMA, duduk berdampingan. Perempuan itu meletakkan kepalanya di pundak laki-laki sebelahnya. Kalau dilihat dari tingkah lakunya sih, kayaknya pacaran. Timbul pertanyaan di benakku, "Kenapa sih, cewek-cewek suka nyender di bahu cowoknya?" Aku mengalihkan pandangan ke luar jendela, menatap jalanan ramai sore ini hampir magrib. Tanpa sadar aku tertidur. Kalau sopir *busway* tidak membangunkanku, mungkin aku akan dibawa keliling Jakarta.
Aku melangkah masuk ke dalam kosku, tempat yang paling nyaman menurutku, ya... walaupun kalau hujan agak bocor dan banjir. Tapi sejauh ini, cuma ini tempat yang aku sanggup dan ramah di kantongku. Tepat jam 8, aku sudah bersiap. Menunggu Hendra datang. Sekitar lima belas menit, akhirnya dia datang dengan motor matic hitamnya.
"Telat lima belas menit," ucapku, menatapnya sambil naik ke motornya.
"Pacarku ribet, Ko, minta teleponan terus. Harus izin dulu kalau mau pergi," tutur Hendra, menarik gas motornya menjauh dari kosku.
"Enggak *relate* aku, Ndra. Tapi kayaknya seru, ya," ucapku, dengan rasa penasaran dan ingin tahu.
"Hahaha.... Seru? Pusing, Ko, pusing. Tapi entar loe juga ngerasain, seru kayak yang loe bilang atau malah loe cerita keluh kesah sama gue," ucap Hendra sambil meliuk-liuk di jalanan basah, menyalip mobil-mobil di depannya.
Aroma tanah basah bercampur aroma makanan menjadi satu di hidungku. Setelah tiga puluh menit berkendara, akhirnya sampai di sebuah kafe pinggir jalan di depan kantor.
"Ngapain kemari, Ndra?" ucapku, sambil turun dari motor matic-nya Hendra.
"Udah ikut aja, banyak tanya loe," tutur Hendra sambil mematikan mesin motornya.
Aku berjalan di sampingnya, masuk ke dalam kafe. Di kepalaku masih penuh pertanyaan, "Mau ngapain sih kemari? Enggak biasanya dia ngajak ke kafe." Langkah Hendra melambat di dekat meja, seorang wanita yang duduk sendiri di sana. Hendra tersenyum tipis pada wanita itu, seolah sudah kenal sejak lama. Hendra duduk di kursi depan wanita itu.
"Ko, duduk. Ngapain berdiri aja?" ucap Hendra, menatapku yang masih berdiri karena bingung.
Aku duduk di samping Hendra, yang berbincang hangat dengan wanita berambut panjang hitam dan lurus itu. Aku tahu, wanita berkulit sawo matang ini bukan pacar Hendra. Tapi untuk apa Hendra menemui wanita ini? Aku masih menatap perbincangan hangat mereka, tertawa bersama. Sedangkan aku, masih diam menatap kehangatan itu. Hendra menyentuh pahaku dengan tangan kirinya.
"Ini Eko, Nad. Temanku yang kemarin aku ceritain di kantor," ucap Hendra, menatap wanita itu lalu menatapku.
"Eko..." ucapku, tersenyum canggung karena bingung mau bereaksi apa.
"Ko, aku ke depan dulu, ya. Mamaku nelepon, mau buat pesta ulang tahun adikku," ucap Hendra, berdiri meninggalkan aku dan wanita itu.
"Ndra, Hendra!" teriakku pelan, memanggilnya yang pergi ke luar kafe.
Setelah Hendra pergi, aku berdua dengan wanita ini. Dia menatapku awalnya, lalu memainkan ponselnya. Kepalaku berputar, mencari kosakata yang tepat untuk mengawali percakapan ini. Tapi entah kenapa, tidak satu pun yang aku temukan. Rasanya sulit untuk memulai pembicaraan. Lima menit sudah berlalu, tapi rasanya seperti lima jam. Tubuhku berkeringat dingin membasahi leher. Akhirnya aku beranikan diri untuk memulai pembicaraan. Aku menatapnya, agak canggung, suara terputus-putus awalnya.
"Eh... kamu... siapa tadi namanya?" tanyaku, menatapnya. Sesekali menatap arah lain lalu kembali menatapnya.
"Aku Nadia, kamu Eko, kan?" tanya Nadia, sambil tertawa kecil, terlukis di bibirnya. Saat melihat aku canggung, tawa manisnya keluar.
"Iya... Aku Eko. Aku terkenal juga, ya, sampai kamu tahu namaku," tawa canggungku menghiasi pertemuan pertama ini. Hatiku seperti bergejolak, mencoba memahami perasaan asing yang belum pernah ada.
"Lumayan sih, Ko. Hendra sering cerita ke aku. Dia bilang, katanya dia kasihan sama kamu, belum pernah pacaran. Dari SD sampai sekarang," ucap Nadia, matanya yang indah seperti menembus jiwa dan hatiku.
"Hendra bilang gitu? Buat malu aja, tapi dia ada benarnya sih," Eko tertawa kecil, malu-malu. Sambil menyesap kopi yang sudah dipesan lebih dulu oleh Nadia.
"Enggak usah malu kali, belum pernah pacaran itu bukan aib. Justru keistimewaan, karena masih bersih dari drama-drama percintaan," tutur Nadia, tersenyum tipis sambil menatapku, meletakkan gelas kopi.
"Tapi, Nad... Kamu kerja di mana? Sampai bisa ketemu Hendra?" tanyaku. Ada rasa ingin tahu di wajahku, terpancar dari keningku yang berkerut.
"Aku karyawan BUMN, Ko. Aku teman sekolah Hendra waktu SMA," ucap Nadia, menatapku sambil memasukkan rambut halus yang menyentuh pipinya di balik telinganya.
"Wah... Hebat. Pasti sibuk banget, enggak ada waktu buat istirahat," ucapku dengan nada kagum pada Nadia.
"Waktu istirahat sih ada, Ko, setiap minggu. Aku selalu nyempetin buat baca buku di rumah, atau sekadar nonton film doang," ucap Nadia, melihatku dengan mata indahnya.
"Kamu baca buku juga? Sama dong. Kamu baca buku apa?" tanyaku, dengan rasa lega di dada karena akhirnya ada satu hal yang bisa dibicarakan.
"Aku baca buku juga? Wah keren loh. Aku baca buku apa aja, novel, ilmiah, pokoknya yang aku suka," ucap Nadia, tersenyum tipis karena akhirnya ada yang baca buku juga sepertinya.
"Aku juga baca novel, tapi kalau ilmiah, aku kurang suka," jawab Eko, menatapnya dan tersenyum tipis.
Pembicaraan semakin panjang dan akrab. Tanpa terasa, satu jam telah berlalu. "Wah, udah jam segini. Enggak kerasa, ya," kata Nadia sambil melirik jam tangannya.
"Iya, aku juga enggak nyangka bisa ngobrol selama ini," balas Eko, merasa senang.
"Aku suka ngobrol sama kamu, Ko. Mungkin kita bisa bahas buku-buku lain lagi nanti?" tanya Nadia.
Perasaan gugup yang tadinya dirasakan Eko kini hilang. "Tentu, Nad. Boleh minta nomor ponselmu? Biar lebih gampang kalau mau bahas buku," ucap Eko sambil mengeluarkan ponselnya.
Nadia tersenyum manis. "Tentu," katanya, lalu memberikan nomornya.
Nadia pulang naik mobil miliknya. Aku berdiri di depan kafe menatap Nadia pergi, dan menatap Hendra yang duduk di teras kafe, tertawa terbahak-bahak melihat aku gemetar dari tadi saat berbicara dengan Nadia.
"Wah... Parah sih, random banget, loe Ndra. Tiba-tiba banget," Eko memukul pundak Hendra pelan.
"Biar loe enggak kesepian, Ko. Kasihan aku, setiap hari lihat loe cuma denger anak-anak kantor cerita tentang pasangan mereka," jawab Hendra sambil tertawa, meletakkan tangannya di bahu Eko.
"Ya, tapi kan bisa kasih tahu dulu kalau mau ketemu cewek," Eko memanyunkan bibirnya.
Wajah Hendra berubah serius, menatap Eko dalam. "Gue kenal loe udah lama, Ko. Gue tahu loe pengen banget ngerasain apa yang gue rasain. Tapi jujur, kadang yang loe bayangin itu enggak seindah kenyataan. Kayak pacar gue tadi. Ribet banget, dan kadang bikin pusing. Tapi Nadia beda, Ko. Dia enggak ribet, dan gue yakin loe bisa nemuin kebahagiaan sama dia."
Eko terdiam, menatap Hendra yang tidak lagi tertawa. Kata-kata Hendra terasa menamparnya. "Jadi loe yang ngejebak gue?"
"Ini bukan jebakan, Ko. Ini hadiah dari Tuhan, yang gue kirim ke loe lewat Nadia," jawab Hendra, terkekeh lagi. "Loe tahu, Ko? Kebahagiaan itu bukan cuma dari pacar kok, tapi juga dari diri sendiri. Tapi ya, apa salahnya mencoba? Lo kan suka baca buku? Sama kayak dia. Gue rasa kalian berdua nyambung."
Eko menatap Hendra dengan rasa haru. Dia tidak menyangka Hendra akan repot-repot melakukan ini untuknya. Dia memang punya teman-teman di kantor, tapi Hendra terasa lebih dari sekadar teman. Dia seperti kakak yang peduli dengan adiknya.
"Makasih, Ndra. Makasih banyak," ucap Eko tulus, matanya berkaca-kaca.
"Sama-sama, Bro. Sekarang, loe balik ke kos, kan? Cerita-cerita ya, kalau sudah ada kemajuan," kata Hendra, menepuk bahu Eko.
Setelah Eko naik ke motornya, Hendra langsung melajukan motornya menjauh dari kafe. Eko hanya bisa tersenyum sendirian di atas motornya, hatinya yang tadinya kosong, kini terasa penuh.