Disukai
0
Dilihat
1,059
Retak Dinding Rumah Petak
Slice of Life

Sudah berapa harmal, riuh redam kos sebelah memisahkan tidur dariku? Ketenangan seolah hanya angan yang kian berlari menjauh. Sejauh ini aku hanya menyuruh tubuh ini menjalankan seni diam, dan seribu diam bak seorang sufi. 

Orang bilang ketika pintu ditutup, maka jendela akan terbuka. Sialnya, kosan ini mengamininya, bahkan jika jendela tertutup pun, celah-celah masih terbuka membocorkan segalanya. Aku tetap bisa merasakan bising sekaligus senyap ruang sebelah.

Kutegaskan kembali, dengan berdiam, inderaku semakin tajam. Bahkan aku merasakan dengungan serangga-serangga  yang terbang mengalir dalam setiap nadiku dan kudengar dengan jelas setiap gerak-gerik orang-orang di balik dinding itu, juga detik-detak jantungku.  Tidak, aku tidak menjadi serangga layaknya Gregor Samsa. Aku masihlah manusia.

Aku hidup berbagi rumah bersama mereka di sini. Rumah petak di kota besar yang seraya memuat peringatan “all hope abandon ye who enter here” (Abaikan harapan, wahai semua yang masuk ke sini). Rumah kos berisi banyak petak yang diisi keluarga di setiap ruangnya. Manusia-manusia di sini berbagi atap denganku, tentunya juga berbagi omelan pemilik kos karena rajin melahirkan tunggakan. Mereka tak lebih sama denganku, korban alienasi yang diabaikan bahkan dilupakan oleh megahnya kota besar di tengah kebangkitan pasar uang.

Keseharian hidup kusadari dapat sepahit ini. Adalah mustahil jika aku terus bermalam memanggul cerita mereka di balik dinding. Aku pun juga memanggul salahku. Telah kujumpai banyak yang memudar di sini. Pertama, anak malang itu. Kedua, kewarasanku. Ketiga dan seterusnya yang aku pun tak cukup mampu menyebut. 

Usai sudah kulewati banyak runyam di sini. Akan kuingat dinding-dinding kehidupan, bahkan kematian ini.  Aku  melihat dinding itu bagaikan tembok kertas kuning di bungalo yang mengutuk tuannya dalam cerita seram dari Charlotte Perkins Gilman. Aku mencoba mengabaikan, kemudian tidur memeluk dosa orang diam. 

***

Trang!

Dinding tipis rumah petak tak cukup mampu menghadang suara piring pecah dari tetangga sebelah. Hampir seminggu ini aku kenyang mendengar ocehan dari rumah Pak Samidun, seorang bekas kuli bangunan yang terpaksa kehilangan pekerjaan setelah kakinya terantuk mesin pengaduk semen beberapa bulan lalu. Sejak kecelakaan itu, Buk Siti, istrinya, terpaksa harus mencari pekerjaan tambahan sebagai buruh cuci baju, sedangkan anaknya yang masih menginjak bangku SMP harus tinggal sekolah, bukan lagi tinggal kelas.

Dani, anak Pak Samidun, kini bekerja sebagai kuli angkut beras di Pasar Induk. Awalnya Dani mencoba peruntungan sebagai penjaja kantong kresek; membantu nenek dan ibu hamil membawa stok belanjaan untuk hidup sebulan. Sial, sejak para pedagang dan ibu-ibu kompleks perumahan mengenal aplikasi digital dan perangkat internet, upah harian Dani turun drastis. 

Ditambah lagi, kampanye internet tentang bahaya plastik dan kantong kresek yang mengapung di tengah samudera membuat Dani tak ubahnya tampak seperti setan. Dani tak tahu sejak kapan menjual kresek dihitung sebagai dosa. Dani hanyalah penjual kresek. Dani tak menghasilkan kresek satu pun, bahkan dari berak ataupun hasil buang air kecil.

 "Jika seseorang hendak menyalahkan aku, coba saja salahkan pabriknya. Aku berak tahi, bukan berak kantong kresek!" ceracaunya padaku suatu hari.

Dani sudah muak, Buk Siti sudah muak, Pak Samidun lebih muak lagi; kakinya buntung, pekerjaannya hilang, dan tinggal satu kesialan lagi dia mendapatkan piring cantik. Sialnya, alih-alih dapat piring cantik, makian buruk rupa menggelontor dari mulut istrinya, dari mulut anaknya, dan pemilik kosan yang mengamuk karena Pak Samidun menunggak bayar sewa selama tiga bulan.

Sambil sesenggukan dan melemparkan tongkat Pak Samidun, Buk Siti memaki; "Suami sialan! Kalau saja kaki elu enggak buntung kemarin, elu masih bisa kerja, bantu bayar sewa. Sekarang elu malah sibuk main judi, mau berhutang ke anak elu sampai berapa juta rupiah lagi, Pak!”

"Ya kalo gue nggak main judi slot, elu mau bayar sewa ini kos dari mana? Upah cuci baju aja tak cukup! Atau elu mau nyolong duit dari saku baju yang lu cuci? Gue kasih tahu, ya! Peluangnya satu banding seratus ribu!" balas Pak Samidun. Mukanya masam tidak karuan sambil terduduk di sofa tengah rumah. Pak Samidun tak bisa berdiri, keluarga ini juga tak bisa berdiri, lumpuh seutuhnya.

Dari kejauhan aku melihat Dani, ia sedang makan, kemudian melongo, matanya terbelalak, nasi menatap Dani, mata ikan asin teri melotot, menatap masa depan rumah tangga Pak Samidun. Rasa sambal buatan ibunya berubah tak keruan. Dani muak, tak terima ayahnya membentak ibunya. Dani menyingkirkan piring di depannya, melemparnya hingga pecah berkeping-keping. Spontan Dani berteriak, "Tiap hari ribut terus! Malu sama tetangga, Mak! Pak! Bisa nggak sih kalian waras sedikit aja! Aku capek, sekolah kagak, main kagak!"

"Bocah jangan berani ikut campur urusan orang tua!"

"Orang tua macam apa yang tak bisa menjamin kehidupan anaknya!" timpal Dani.

"Anak sialan!"

Gelas kopi melayang dari tangan Pak Samidun. Dani terkaget dan refleks menghindar, Buk Siti berteriak, sedangkan aku yang tak sengaja melintas, mengintip dari pintu yang terbuka lebar. Bu Siti memandangku, tersenyum sebentar, sedangkan Dani terus mengumpat. Pintu rumah Pak Samidun tertutup. Sayang, tembok dan daun pintu tak cukup pandai untuk berbohong; suara pertengkaran bocor ke mana-mana. Menjadi tanda bahwa keluarga ini sedang dalam bahaya.

***

Sudah sebulan Randi mengurung diri di kos-kosan. Baik aku maupun Pak Samidun pada awalnya tak mengenal Randi meski rumah petak kami saling bersebelahan satu sama lain. Sebagai seorang mahasiswa, penampilan Randi terlihat biasa. Celana jeans, kaos oblong dengan gambar band, dan sepatu kanvas seperti biasa. Namun, sejak terakhir terlihat datang ke rumah petaknya, Randi terlihat berbeda. Wajahnya pucat, rambutnya berantakan, dan lampu depan kamarnya dimatikan.

Sejak saat itu, batang hidung Randi tak terlihat lagi. Tak ada satu setan pun yang mengetahui keberadaannya, hembus nafas, atau bahkan jejak bahwa ia pernah tinggal di sana. Keberadaannya lesap seolah ditelan kehampaan, hingga akhirnya bau busuk memberi tahu kami bahwa Randi telah tiada. Dinding rumah petak tak pandai menyembunyikan fakta bahwa anak ini telah tiada.

***

Randi sebetulnya anak yang baik dan ramah. Aku ingat di awal kedatangannya, ia mengajakku untuk mengobrol sebentar di ruang tamunya. Sebagaimana rumah petak pada umumnya, rumah kami memiliki jumlah ruangan yang sama, dengan luas kamar yang sama, dan fasilitas yang sama; air sama- sama macet, septic-tank yang sama-sama macet, dan token listrik yang selalu berbunyi menjelang akhir bulan.

Waktu itu kami duduk ngopi bersama, bercerita tentang perkuliahan dan juga keluarganya yang berada jauh di luar kota. Ini tahun pertama Randi hidup sendiri dan Randi terlihat sangat antusias. Wajar saja, sebagai anak tunggal dari keluarga cukup berada, Randi sangat dimanja oleh kedua orang tuanya. Ayahnya adalah seorang pekerja di kapal pesiar, sedangkan ibunya adalah ibu rumah tangga biasa dan menggantungkan hidup dari gaji ayahnya yang terbilang cukup besar sehingga mampu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Sejak kecil, ayah Randi jarang sekali pulang. Biasanya ayah Randi pulang di malam tahun baru, sedangkan Randi ditugaskan oleh ayahnya untuk menemani ibunya. Sebagai keluarga kelas menengah, kehidupan ibu Randi sendiri terbilang cukup monoton. Ibunya sering datang ke arisan komplek dan terkadang mengajak teman- temannya untuk main ke rumah yang terbilang cukup besar. Randi sempat beberapa kali bertemu dengan beberapa teman ibunya. Rata-rata mereka menggunakan tas dengan merk ternama serta perhiasan emas di tangan dan leher mereka.

Meski terbilang seumuran dengan ibunya, banyak di antara rekan ibunya yang punya pasangan seumur dengan Randi. Laki-laki muda dengan wajah yang cukup tampan, tubuh yang tegap, dan baju bermerk. Randi sering melihat di internet harga pakaian yang mereka kenakan. Kaos polos dengan logo Supreme kecil di bahu berharga tiga juta rupiah, celana ketat yang berharga minimal satu juta, jam Rolex yang berharga puluhan juta, serta sepatu sneakers yang jika dilihat modelnya berharga puluhan juta rupiah per pasang.

Randi yang polos maklum dan tidak menaruh perasaan curiga sama sekali kepada pria-pria tersebut. Hingga satu ketika Randi berkenalan dengan salah satu dari mereka. Pria itu bernama Ridho, pasangan yang seringkali dibawa oleh Tante Lisa, seorang anggota DPRD Kabupaten yang seringkali muncul di acara  berita di televisi.

Randi samar-samar mengingat wajah Ridho sebagai kakak tingkat yang dulu memarahinya ketika masa orientasi fakultas. Ridho waktu itu dikenal sebagai kakak tingkat yang seringkali dijadikan bahan gunjingan teman satu angkatannya. Banyak perempuan yang berkata bahwa Ridho berwajah tampan, badannya tegap, dan sangat cocok untuk dijadikan pacar. Selain itu, Ridho juga aktif di tim basket fakultas sehingga sangat wajar apabila banyak perempuan mendambakannya.

Randi yang mengenal Ridho lantas menyapanya. Wajah Ridho terlihat panik saat ada seseorang yang mengenalnya berada di tempat seperti ini. Awalnya Ridho menyangkal identitasnya hingga setelah dipaksa, Ridho akhirnya berani buka mulut, ia mengakui bahwa ia adalah Ridho yang Randi kenal. Namun, ia meminta Randi agar tutup mulut perihal kedatangannya ke sini bersama Tante Lisa. Randi sekarang tahu alasan mengapa setiap orang ingin punya rumah besar; semakin tebal dinding rumahmu, semakin pandai juga dinding itu menutup rahasia.

***

Paska mengikuti arisan tersebut, Ibu Randi sering memperlihatkan gelagat mencurigakan. Beberapa kali Randi memergoki ibunya pulang ke rumah menjelang dini hari. Ia tak menceritakan ke mana ia pergi dan meminta agar tutup mulut jika ditanya oleh ayah Randi. Randi hanya mengangguk, tak tahu harus berkata apa.

Beberapa minggu kemudian, ayah Randi pulang dengan wajah yang memerah. Raut wajahnya marah dan langsung menghampiri ibu Randi dengan tamparan di pipi kiri. Ibu Randi terlempar sejauh beberapa depa dari tempatnya berdiri. Ini kali pertama Randi melihat ayahnya semurka itu. 

"Dasar perempuan jalang! Beraninya kamu bermain di belakangku! Bukankah sudah kupenuhi kebutuhanmu hingga kamu bisa makan enak setiap hari!" bentak ayah Randi.

"Uang saja tidak cukup untuk membuatku senang, Mas! Suami macam apa kamu yang pulang setahun sekali! Kamu kira siapa dirimu dan seberapa sabar aku menunggumu, Mas?"

"Aku pergi demi kalian juga! Agar kalian bisa makan enak setiap hari! Bukankah itu sudah cukup?"

"Cukup? Kamu kira uangmu itu cukup untuk membayar sakit hatiku ketika perempuan kulit putih jalang itu mengirimku video ketika kamu bermain gila denganmu? Apa kamu pikir itu cukup? Gila kamu, Mas!"

"Perempuan mana lagi yang kamu maksud, hah? Jadi berani kamu menuduhku macam-macam?"

"Masih saja tak mengaku, kalau kamu main gila, aku juga berhak untuk main gila, Mas! Kita sama impas!"

Seketika tangan ayah Randi mendarat di leher perempuan malang itu. Tubuhnya terdorong ke belakang dan terbaring di lantai seketika. Alih-alih melonggarkan cekikannya, ayah Randi terus mencekiknya. Ibu Randi menggelepar dan tewas seketika. Randi yang mendengar sayup-sayup percekcokan ayah dan ibunya langsung membuka pintu kamar. Memastikan kedua orang tuanya tak ada yang terluka.

Sial, di depan mata Randi, ibunya menggelepar tak bernyawa sedangkan ayahnya hanya bisa menangis, meminta istrinya bangun kembali. Sayang seribu sayang, istrinya mati, dan dinding rumah yang terlalu tebal pandai menyembunyikan barang bukti atas kejadian tersebut.

***

Kudengar kabar berterbangan perihal Randi. Polisi membereskan kasus bunuh diri Randi. Tak lama kemudian pembunuhan di keluarganya juga terkuak. Ternyata dinding rumah tebal pun juga tak pandai menyembunyikan kematian ibunya Randi. Ayah Randi dikabarkan akan membayar dosanya dan mendekam di penjara seumur hidup.

Kuingat Randi dulu masih sering bercerita sebab-sebab penat kepalanya padaku. Kuingat kembali, ia tak bercerita lagi usai dari rumah keluarganya itu. Lantas aku tahu ia kabur ke kos membawa bayang-bayang bapaknya yang terus menerjangnya. 

Kuingat kembali, waktu itu dibalik dinding kamarku terdengar diputarnya lagu-lagu orang kalah. Ia bernyanyi lantang menyembuhkan penatnya. Suaranya pun telah habis, uangnya habis. Namun, kutahu carut-marut pikirannya tak akan pernah habis.  Lengang malam demi malam berlalu, ia pun habis. Rokoknya habis jadi puntung, dan tubuhnya pun habis dimakan belatung.

"Kematian begitu mengerikan ya," ucap Dani membangunkan lamunanku.

"Ya," jawabku sedikit kaget. Kami berdua memanjatkan doa untuk ketenangan Randi. Tapi jika kuamati tetanggaku yang satu ini.  Kusadari bahwa hidup kami sudah cukup mengerikan.

"Neraka kehidupan juga tak kalah menyeramkan bagiku," pungkasku pada Dani.

"Ya kau benar, mau kopi, Bang?”

“Enggak Dhan, rasanya salah jika aku meminumnya sekarang.”

“Cuma lima menit bersalah juga gak masalah sih, Bang,” bujuknya.

“Gak dulu, aku puasa kopi hari ini.  Kamu enggak pulang saja?”

“Enggak, malas, nanti malah dapat piring cantik Bang!”

“Oh, aduh gelap juga ya kamu,” tawaku kikuk.

“Iya Bang, sorry ya Bang, Bapak Ibuk suka berisik. Biaya sembako naik, biaya kos juga naik Bang. Biasa lah Bang, masalah duit lagi. Dunia makin sinting,” curhatnya sambil nyeruput kopi. Aku terkekeh kecil, lama-lama kita yang sinting, pikirku

 “Duluan ya bang” Dani melengos pergi. 

Ya, kita pun akan sinting. Kita hidup di kegilaan kota besar di mana semua orang terobsesi dengan kesuksesan. Mereka mengkonsumsi, bahkan dikonsumsi oleh barang-barang merk besar. Setiap barang membuat mereka menjadi semakin brengsek. Bagi kami, jangankan ingin menjadi orang sukses,  dapat uang untuk bayar kos dan sesuap nasi saja sudah cukup. 

Memandang Dani yang semakin jauh pergi dimakan gelapnya malam, mengingatkanku pada Randi. Mereka tak lebih ialah anak malang yang sama. Orang tua mereka hidup bersama, tapi saling meracuni. Tiada dijumpai keharmonisan pada diri mereka. Orang tua Dani sibuk diperas uang dan tagihan pemilik kos sampai lupa rasa mengasihi.  

Kusandarkan tubuh pada dinding kamarku. Bahkan dinding ini tak mampu meredam suara riuh-rendah keramaian polisi dan tetangga. Kupejamkan mataku dalam-dalam, kali ini bocornya riuh oleh  dinding ini tak kuizinkan mencuri tidurku.

***

Aku terbangun oleh keributan yang lagi-lagi datang dari kediaman Pak Samidun. Telingaku tersiksa oleh mimpi buruk berkepanjangan oleh friksi celotehan mereka. Terkadang yang aku butuhkan hanya ketenangan. Tapi bukan berarti aku menginginkan kediaman Pak Samidun sesenyap anomali kamar Randi yang menyimpan kutukan gelap dari keluarganya. Belum kelar keadaan buruk yang terus menghantuiku paska kematian Randi yang belum genap seminggu, keluarga Samidun telah berulah kembali. Mimpi buruk terus menghantui dan berpusing di balik ruang itu. 

Kusadari mengapa Randi begitu surut sepulangnya dari rumahnya. Ia lelah menyaksikan kebisingan perpecahan keluarga. Bahkan Randi melihat ibunya sendiri lenyap di tangan bapaknya yang telah mencapai taraf maskulinitas hewan. Aku jadi memikirkan Dani. Aku takut hidupnya akan berujung seperti hidup Randi, kedua orang tuanya saling berseteru hingga salah satu menjumpai ajalnya, atau bahkan dikirimkan ke ujung ajalnya. 

Tiada yang tahu kapan roh meninggalkan jasadnya. Hidup kelihatannya seakan bejalan berputar dengan sendirinya. Seberapa jauh kita sebagai manusia berkontribusi terhadap perubahan itu? 

Manusia mampu mencuri takdir Tuhan. Manusia dapat mendahului Kehendak-Nya. Bapak Randi mendahului takdir Tuhan dengan mengantar ibunya ke ajal, Randi sendiri mendahului nasibnya dengan membiarkan tubuhnya dimakan belatung. Aku semakin dikoyak kecamuk kengerian tentang bagaimana jika kejadian Randi terulang kembali. 

Dinding itu berguncang kembali. Kali ini guncangannya semakin kencang. Entah suara piring, gelas, atau daging manusia yang terlempar. Aku tak tahu sedang terjadi apa antara Pak Samidun dan Buk Siti. Dinding ini bergoyang, lalu sedikit retak. Retakan dinding ini mengingatkanku untuk bertindak sesuatu. Tapi aku tak tahu apa yang harus kulakukan dan setan mana yang membiarkanku tinggal di rumah petak yang semakin tidak waras ini. Aku kembali memilih diam.

Aku tak mau berpusing terlalu lama, aku pergi keluar menuju kamar mandi. Kubasuh segala keresahanku. Aku tinggal di kamar sendiri, tapi dinding itu tidak pernah membiarkanku sendiri. Dinding-dinding itu seakan membuka dan membuatku terkoneksi dengan seluruh manusia yang ada di rumah ini. 

Aku kembali ke kamar, mengerjakan pekerjaan menulisku. Peduli setan dengan tetangga sebelah.  Yang harus kulakukan sekarang ialah mengetik, mengetik, dan mengetik hingga tubuh ini menjadi mesin. Kutulis segala cerita yang aku dengar di telingaku. Aku menuliskan cerita Randi semalam, namun aku tak mau menulis kisah Dani, Pak Samidun dan istrinya malam ini, atau malam esok. Aku tak ingin hidup dan tubuh mereka mati dikoyak oleh kesintingan dunia. 

Aku teringat kesintingan lain. Dua hal sinting yang tidak bisa ditolak kedatangannya. Pertama, malaikat Izrail. Kedua, pemilik kos. Esok sudah menuju akhir bulan, sudah dua bulan tagihan kosku belum terbayar. Ibu Kos yang tinggal di ujung gang akan menghampiriku bahkan mengambil nyawaku esok. Aku seharusnya lebih memikirkan itu daripada memikirkan tetanggaku. Aku mungkin akan dianggap apatis dan membosankan. Aku teringat peribahasa “All work and no play makes Jack a dull boy”, yang berarti bekerja tanpa cuti, membuat seseorang menjadi bosan dan membosankan. Tapi biarlah, aku tak peduli, pemilik kos akan datang tanpa ampun besok. Bukankah hidup sejatinya menanggung rasa bosan demi bertahan. 

Suara percekcokan petak Pak Samidun semakin meriuh kemudian seketika meredam. Dinding itu tidak lagi berdetak, tidak lagi berdenging atau menyalurkan kehidupan. Jantungku berdegup kencang. Setiap degupnya semakin terdengar begitu jelas ketika sunyi melingkupiku.  Apa yang terjadi dengan tetangga sebelah itu? Kudengar suara  lamat-lamat memunculkan dirinya. Kutahu kemudian itu ialah isak tangis Dani. Aku menuntun diriku menuju luar kamarku guna mengecek kejanggalan itu. Kuhampiri petak rumah Dani. 

Mataku membuntang, tubuhku membatu, jantung dan setiap arteriku seolah dikerumuni oleh berbagai jenis serangga berkaki delapan yang siap menyanyat habis tubuhku. Tak terucap satu kata pun dari mulutku. Aku melihat Pak Samidun tergeletak lesu. Buk Siti melesat pergi ke luar. Dani hanya bisa menangis lirih. Aku begitu menggigil. Bahkan tidak ada tanda-tanda kehidupan dari raut ganjil Pak Samidun.

Hanya kegilaanlah yang dapat menggambarkan kecamuk perasaan asing dan kengerian kosmis yang aku alami. Kehidupan kos yang dipenuhi tetangga-tetangga yang memanggul duka. Guncangan tak masuk akal ini membuat Dani pingsan, tubuhnya merebah jatuh ke tanah. Aku berteriak minta tolong, sementara Buk Siti tetap melengos pergi di siang bolong. Dinding itu, lagi-lagi tak cukup pandai menutupi kejadian hari ini.

***

Tiada yang tahu, apa yang terjadi pada keluarga Samidun. Tidak satu orang pun tahu siapa yang melukai Pak Samidun, entah Dani entah Buk Siti. Pak Samidun dibawa ke rumah sakit, kabarnya sudah sembuh. Kemudian, keluarga itu tak pernah kembali di kosan ini. Aku akhirnya hidup sendiri dan kami mungkin nanti akhirnya wafat sendiri-sendiri.

Ketika kau mati, dirimu akan mudah digantikan oleh orang lain. Orang akan datang dan pergi silih berganti. Tapi tidak di kos rumah petak ini. Memang benar pemilik sering mengunjungi rumah ini. Tapi kunjungannya hanya sebulan sekali. Rumah ini begitu sepi, tidak ada orang yang mau menempati kos di rumah petak ini lagi. Tetangga rumah lain begitu jauh dan menutup diri. Seakan rumah ini menyebarkan sebuah kutukan yang beranak pinak dan pantang didekati. 

Dalam sepi, aku teringat perawat tua dalam cerita Poe, Jantung yang Mengaduh.  Kini aku merasakan menjadi dirinya. Inderaku begitu tajam dan bisa merasakan segalanya, terutama detak-detik jantungku. Tapi kami berbeda, aku tidak ada intensi untuk membunuh tetangga atau membunuh pemilik kos. Aku hanya ingin membunuh riuh. 

Kusadari kemudian, tetangga terdekatku sekarang bukan lagi manusia. Aku merasa diriku plural. Kau mungkin menganggapku sinting? Tapi faktanya tubuh ini terdiri dari koloni bakteri dan miliaran mikroorganisme yang dibalut oleh kulit. Wah, aku memiliki miliaran tetangga. Tubuhku tak selamanya tubuhku, karena setiap bagian tubuhku tidak selamanya mau mengikuti kehendakku. 

Lidahku kelu saat kurasakan juga begitu banyak mikroorganisme yang hidup bersemayam di rongga mulutku. Kuambil liurku dengan jariku. Basah dan lengket. Kupandangi mereka makhluk-makhluk kecil yang berdiam.  Aku merasa getir dengan pahit kehadirannya.  Zarah-zarah yang bergumul itu baunya menusuk hidungku. Ya, aku merasa mereka begitu hidup.

Dan dinding itu seakan menyaksikan ketidakwarasanku tanpa tetangga manusia kali ini. Aku memanggul dosa yang melahap habis harapan hidupku. Dosaku besar, aku apatis. Aku tidak terlalu mempedulikan tetangga yang hidup satu atap denganku. Aku merasa tubuh ini serupa Christopher McCandless yang sengaja menjadi soliter dengan mendamparkan dirinya di Alaska sendirian. Aku tersadar hal yang sama, bahwa kebahagiaan hanya akan ada jika dibagi dengan orang lain. Tapi aku tak cukup mampu membantu mengobati retaknya rumah mereka-mereka yang pernah hangat padaku.

Aku tidak akan mati kali ini. Setidaknya tidak hari ini. Aku tak mau berkawan dengan kafan. Aku tidak mau menuju akhirat dengan membawa banyak maksiat. Aku tidak akan membusukkan tubuhku layaknya Randi, karena aku akan membesuknya nanti, jika aku sudah membereskan kekacauan ini.

Rencanaku mungkin tak mudah, aku ingin menulis cerita tentang tetangga-tetanggaku ini. Menceritakan mereka dengan akhir yang lebih bahagia. Layaknya Brionie dalam Atonement yang menebus dosanya dengan merubah kisah tragis kakaknya dalam buku. Aku pun akan memberikan kehidupan layak pada mereka di cerita yang akan kubuat nanti, walaupun hanya dalam fiksi. Randi dan Dani, begitu pula Pak Samidun dan Buk Siti.

Aku ingin memberikan mereka sesuatu yang hilang dalam diri mereka, yaitu kasih sayang antar keluarga. Cinta keluarga yang rapuh dimakan oleh kegilaan dunia. Jadi dalam buku ini nanti, aku akan memberi mereka cinta yang begitu manusiawi, tidak kujadikan mati sebagai tujuan mereka. Inginku mulai kembali menjadi tetangga mereka.

Kisah-kasih keluarga mereka layak dilanjutkan. 

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Weeehhh keceee!
Rekomendasi dari Slice of Life
Rekomendasi