2. Bagian 2

7. INT. KIOS — THE NEXT DAY (DAY) 7

 

Widuri dibantu Ale beres-beres kios.

 

ALE

Trus lo setuju?

 

Widuri menggelengkan kepala.

 

ALE (CONT’D)

Terus lo beresin ini buat apa?

 

WIDURI

Nyenengin emak gue lah.

 

Ale tertawa pahit.

 

Widuri berhenti beraktivitas. Lalu duduk lesehan menyandar pada rak.

 

Ale menyusul Widuri. Mereka duduk berseberangan.

 

Ale memandang Widuri. Sementara Widuri mengalihkan pandangan ke luar.

 

Ale berusaha memanggil-manggil. Tapi Widuri tak mau menoleh. Ale kemudian mencari-cari sesuatu di sekitar jangkauannya dan dia menemukan bolpoin. Ale memungut bolpoin dan melempar Widuri. Bolpoin itu mengenai kaki Widuri.

 

Widuri terpaksa menoleh.

 

ALE

Gue belum sepenuhnya ngerti. Lo setuju kios ini dijual. Trus ngegantiin nyokap lo di klinik gitu?

 

Widuri menghela napas. Dia memungut handphone di kantong. Membuka galeri dan memperlihatkan sebuah foto pada Ale.

 

Ale menatap layar handphone Widuri. Wajahnya serius.

 

CLOSE TO CELLPHONE: Tampak sebuah foto surat wasiat dari almarhum Ayah Widuri yang ditulis tangan. Gaya tulisannya miring.

 

WIDURI

Dua-duanya auto bikin gue jadi anak durhaka kan, Le?

 

Ale menahan geli.

 

ALE

Nggak juga ah. Cuman kalau lo harus ngegantiin emak lo di klinik. Gue setuju.

 

Widuri menatap Ale tak sependapat.

 

ALE (CONT’D)

Hari gini loh Wid. Kerjaan kalau dicari hampir mustahil ada.

 

Widuri tertawa. Dia memungut bolpoin yang tadi dilempar Ale dan melemparkan balik.

 

Ale tertawa sembari menghindar. Bolpoin itu mengenai bahunya.

 

ALE (CONT’D)

Bener, kan?

 

SUARA LAKI-LAKI

Apanya yang bener?

 

Ale dan Widuri menoleh.

 

YUDHIS, 23 tahun, tinggi dan sangat tampan, teman Ale masuk. Ale dan Widuri bangkit berdiri.

 

Yudhis menyalami Widuri.

 

YUDHIS

(ke Widuri)
Yudhis.

 

Widuri tersenyum. Dia menyebut namanya sendiri.

 

YUDHIS (cont’d)

Saya ... kawan Ale sejak SMP.

 

Widuri menganggukkan kepala. Raut wajahnya seakan memberi tahu Yudhis jika dia sudah mengetahui siapa dirinya melalui Ale.


 ALE

(ke Widuri)

Lo masih inget cerita temen yang suka bayar gue bikin catatan di buku tulisnya, kan? Nah, kayak begini bentuknya.

 

Widuri tertawa. Dia tidak melepas pandangannya dari Yudhis. Sementara Yudhis menatap Ale curiga.

 

YUDHIS

(Ke Widuri)

Pasti cerita yang nggak bener, kan?

 

Widuri menggeleng.

 

WIDURI

Ale bilang kamu datang dari jauh.

 

YUDHIS

Kalau itu bener. Saya kuliah di Surabaya. Tapi kalau tempat tinggal masih ndempel sama ortu sih. Di sini-sini juga.

 

Widuri mengangguk paham.

 

ALE

(ke Yudhis)

Dan balik lagi ke Surabaya nya kapan?

 

YUDHIS

(ke Ale)

Kalau minat.

 

ALE

Kapan minatnya.

 

YUDHIS

Kalau enggak ditanya.

 

Ketiga-tiganya tertawa.

 

Widuri mempersilakan Yudhis duduk.

 

Yudhis dan Widuri cepat akrab.


8. INT. WARUNG BAKSO — MOMENTS LATER 8

 

Terlihat warung yang lumayan sepi. Di gerobak tampak gunungan bola-bola bakso bermacam ukuran. Mi serta sayur juga masih menumpuk. Widuri dan Yudhis makan siang berdua. Mereka duduk satu meja tapi berseberangan.

 

YUDHIS

Jadi, udah berapa buku yang kamu tulis?

 

WIDURI

Nggak sebanyak yang Ale bilang pokoknya.

 

YUDHIS

Intinya banyak, kan?

 

WIDURI

Kalau mau tahu sebanyak apa, kamu bisa lihat sendiri di platform. Hampir semua novel saya terbitnya di sana. Bukan cetak fisik.


YUDHIS

Kenapa platform?

 

Widuri mengatur kata.

 

WIDURI

Nurut sama arus zaman.

 

Yudhis mengangkat alis.

 

WIDURI (CONT’D)

Ya nggak nurut-nurut banget sih. Kamu sendiri? Kenapa Surabaya? Ada apa di sana?

 

YUDHIS

Ada Nenek sama makam almarhum Kakek yang musti saya bersihin setiap hari.

 

Widuri menghela napas. Raut mukanya meminta maaf.

 

YUDHIS (cont’d)

Nggak pa-pa. Sante aja.

 

Widuri memaksa senyum.

 

WIDURI

Nenek kamu tinggal sendirian?

 

YUDHIS

Enggak. Ada beberapa orang yang indekos di rumahnya. Nenek saya tinggal di bangunan peninggalan kompeni yang kamarnya banyak. Jadi bisa kamu bayangin gimana serunya.

 

WIDURI

Wah. Dari dulu saya selalu penasaran gimana rasanya tinggal di tempat yang usianya udah tua. Saya kepingin tahu, beneran ada hantu Noni Belanda-nya nggak sih?

 

Yudhis tertawa.

 

YUDHIS

Itu yang ingin kamu tahu?

 

WIDURI

Iya. Soalnya dari sekian banyak jenis demit. Hantu Noni Belanda yang paling bikin saya penasaran.

 

YUDHIS

Penasaran? Bukan yang paling bikin takut?

 

WIDURI

Waktu masih muda dulu, almarhum Ayah saya pernah kerja di Istana Bogor sebagai tukang jaga malam. Bisa kamu bayangin sebanyak apa cerita dedemitan yang udah beliau bagi ke saya.

 

Yudhis menyimak. Dia menyukai cara Widuri bercerita.

 

WIDURI (CONT’D)

Ayah saya bilang. Hampir semua Noni Belanda itu punya riwayat tragis. Nggak sedikit dari mereka itu korban. Sama kayak rakyat pribumi di masa itu. Makanya saya penasaran. Di level apa yang bikin mereka jadi korban.

 

YUDHIS

Kamu bikin cerita soal mereka?

 

WIDURI

Sayangnya enggak. Tepatnya belum. Butuh riset detil. Sementara saya belum ada support system. Biasanya sih di sela-sela waktunya kerja sambil kuliah, tenaga Ale yang saya karyakan. Tapi semenjak lulus, dia musti fokus sama dirinya sendiri kan?

 

Yudhis mengangguk paham.

 

YUDHIS

Rumah Ale kan peninggalan kompeni juga. Nggak kamu pakai buat riset?

 

WIDURI

Sayangnya enggak juga. Seumur hidup tinggal di sana, Ale bilang baru dari film-film dia lihat hantu Belanda.

 

YUDHIS

Bisa jadi karena Ale sendiri nggak percaya sama begituan.

 

WIDURI

Kamu sendiri. Gimana rasanya tinggal di tempat Nenek?

 

YUDHIS

Sejauh ini aman. Tapi kalau kamu butuh volunteer. Saya siap.

 

Widuri tersenyum. Wajahnya semringah.

 

Yudhis menatapnya. Senyumannya penuh arti.


9. INT. RUMAH WIDURI — KAMAR WIDURI - NIGHT 9

 

Widuri tiduran di tempat tidur. Sembari mengetik di laptop. Suasana kamarnya temaram. Dia tidak menyalakan lampu.

 

Terdengar bunyi handphone. Widuri berhenti. Lalu memungut handphone.

 

Ada pemberitahuan Yudhis membuat grup di aplikasi chat. Yudhis memasukkan Ale dan Widuri ke dalam grup.

 

YUDHIS: Tes ...

 

ALE: Cek-cek-cek ...

 

YUDHIS: Ngetes apaan sih!

 

ALE: Apaan sih yang dicek!

 

Widuri mengetik. Tapi sebuah notifikasi dari aplikasi medsos masuk. Widuri membuka notifikasi itu. Bunyinya: Yudhis mulai mengikuti Widuri.

 

Widuri tersenyum-senyum. Dia mengeklik tombol ikuti balik Yudhis.


SMASH CUT TO:


10. RUMAH YUDHIS — KAMAR YUDHIS - SAME TIME (NIGHT) 10

 

Berbeda dengan Widuri, kamar Yudhis jauh lebih luas dan rapi. Furnitur yang ada di sana terlihat bagus dan kokoh.

 

Yudhis tiduran di atas tempat tidur.

 

Sebuah notifikasi muncul. Yudhis membuka notifikasi tersebut. Bunyinya: Widuri mengikuti balik Yudhis.

 

Yudhis mengirim pesan simbol suka ke Widuri.

 

Widuri membalas dengan simbol yang sama.


CUT BACK TO:

 

11. INT. RUMAH WIDURI — KAMAR WIDURI - NIGHT 11

 

Widuri melihat-lihat foto di akun medsos Yudhis. Dia tersenyum-senyum.

 

Dari luar kamar, lewat celah pintu yang sedikit membuka tampak Rahmi memperhatikannya. Raut muka Rahmi penasaran.


12. INT. RUMAH YUDHIS — KAMAR YUDHIS - CONTINUOUS 12

 

Yudhis duduk di tempat tidur. Di layar laptopnya ada situs platform novel. Ada sebuah sampul novel yang didominasi warna jingga yang merupakan novel Widuri. Judulnya “ISYARAT By. WIDURI ANINDITA”.

 

Yudhis mulai membaca novel itu.

 

13. INT. RUMAH WIDURI — DAPUR - THE NEXT DAY (MORNING) 13

 

Widuri membantu ibunya memasak sarapan. Sekali-sekali dia membuka ponsel. Raut mukanya ceria.

 

Widuri tak sadar Rahmi memperhatikannya. Raut mukanya tak suka.

 

Di wajan, nasi goreng sudah siap.

 

RAHMI

Ambilin piring.

 

Widuri mengambil tiga piring di rak.

 

Rahmi mengisi masing-masing piring dengan nasi goreng sambil terus bicara. Nadanya ketus.

 

RAHMI (CONT’D)

Jangan lupa nanti jam delapan.

 

Widuri menoleh. Raut cerianya musnah.

 

RAHMI (CONT’D)

Itu bajunya udah Ibu bantu siapin.

 

Rahmi menoleh ke ruang tengah. Menunjuk setelan putih – hitam yang menggantung di gagang pintu lemari baju.

 

Widuri melirik sekilas. Dadanya terasa sesak.


14. INT. RUMAH WIDURI — RUANG MAKAN - CONTINUOUS 14

 

Rahmi duduk. Sementara Widuri menuang teh panas ke dalam tiga gelas.

 

Oki duduk di kursi yang berhadap-hadapan dengan Widuri. Wajahnya terlihat suntuk. Dia masih memakai sarung dan peci setelah shalat subuh.

 

Rahmi makan terlebih dahulu.

 

RAHMI

(ke Widuri)

Wid, nanti kalau ditanya sesuatu yang kamu enggak paham. Kamu enggak ngerti harus jawab apa jangan sok.

 

Widuri menatap Rahmi enggan.

 

Oki melirik Widuri lalu ke Rahmi.

 

RAHMI (CONT’D)

(ke Oki)

Kamu juga Ki. (Rahmi melirik Widuri) Kalau enggak ngerti bilang. Jelasin kalau kalian belum paham tapi siap buat belajar.

 

Oki menundukkan kepala. Selera makannya buyar.

 

Widuri ingin mengatakan sesuatu. Tapi dia menahannya. Dia tak mau bertengkar dengan ibunya.

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar