Lingkaran kecil,Lingkaran kecil, Lingkaran besar
Diberi pisang, Diberi pisang,
Tak mau makan, Enam, enam,
Berliku - liku, Enam, enam,
Diberi sudut
Sehabis bernyanyi bersama - sama. Mereka pasti tertawa. Aku selalu mengawali ritual tersebut di awal pertemuan mereka di SMA ini, diruang latihan eskul drama dilantai empat setiap hari sabtu setelah pulang dari sekolah.
"Kok tertawa?" tanyaku pura pura tak tahu.
"Habis bapak nyuruh kita kek anak TK, kitakan sudah SMA Pak, jadinya geli." Celetuk salah satu siswa. Setelah itu mereka kuingatkan kembali untuk tetap duduk melingkar. Lesehan diatas lantai ruangan.
''Lingkaran kita sekarang ini kecil, tapi nanti akan jadi lingkaran yang besar kok..yok nyanyi lagi...! pintaku penuh semangat ruang kembali penuh dengan tawa mereka.
Kami bernyanyi, terus bernyanyi dari yang tadinya tak terlalu ramai sampai terdengar ramai, kami terus bernyanyi dalam satu lingkaran, bernyanyi tentang lingkaran. Makin lama tawa mereka yang nyaring mulai satu persatu hilang.
"Selamat kalian telah duduk dibangku kelas dua SMA. Mengapa sedikit yang tertawa padahal lingkarannya sudah besar."
Mereka saling tatap. Dua lingkaran kecil pada lingkaran besar mereka saling tatap. Aku tahu kini mereka tak hanya memiliki kedua mata dari dua lingkaran kecil. Tapi telah memiliki kepala dari satu lingkaran besar. Karena dikepala itulah akhirnya mereka makin berbeda. Menertawakan dunia bukan lagi pandangan yang sama, karena dikepala mereka telah memikirkan banyak hal yang mulai tidak sama.
Ruangan pecah dengan keributan, percintaan serta siapa yang menurut mereka teman dan siapa yang mereka curigai sebagai lawan. Lagi - lagi aku harus meminta mereka untuk tetap melanjutkan nyanyian. Meski saat ini, aku harus menerima kenyataan bahwa tawa ternyata tak lagi menjadi musik pengiring nyanyian kita, nak.
Ayok nyanyi, meskipun kita semua sudah tak lagi mau peduli, kita semua lebih asyik dengan cara kita sendiri, aku adalah aku, kamu adalah kamu! Ini aku! Bukan kamu! Aku jauh lebih pandai dari kamu! Kamu itu salah! Kamu bukan siapa-siapa! Pergilah dari sini!!!!pergi!!!
Mereka masih bernyanyi. Tanpa mereka sadari setelah semua lingkaran terpenuhi dengan pisang dan enam. Lengkap dengan semua lika likunya. Mereka masih mencoba untuk bernyanyi. Berat, berat pak...secara bergantian mereka katakan itu. Aku terus berupaya menyemangati mereka dan berteriak: Dikit lagi!!!! Dikit lagiii nak!!! Ayok kita bisa!!!! Ayok!!!
Suaraku, kuteriakan dengan lantang dan berulang ulang, meski aku tahu satu persatu terpental keluar dari lingkaran yg selama ini kami pertahankan. Meski aku tak memberanikan diri untuk menatap wajah mereka. Aku tahu mereka satu persatu menangis. Bukan karena mereka tak sanggup mempertahan lingkaran dan nyanyian. Bukan. Aku tahu ada yg sampai mencoba menarik lenganku agar mereka tak ditarik oleh sesuatu yang sekarang mau tidak mau mereka hadapi.
Ya Tuhan, nak! Maaf, maaf, bapak tidak bisa mempertahankan kalian disini, mengembalikan kalian ke lingkaran ini. Karena bapak tahu, itu sangat tak mudah bapak hadapi. Bapak hianati. Kita semua titipan. Kita hanya butir butir tasbih yg hanya mampu berzikir agar tetap selalu disatukan oleh tali silaturahim.
Sampai jumpa. Ini kelas terakhir kita sudahi dengan sebegitu rumitnya kita. Kutatap ruang kosong. Mereka semua hilang karena ditarik masa dan cita cita.
Dipintu kelas, langkah kaki datang lagi.