Disukai
1
Dilihat
364
Save the Last Dance
Drama

Keluar … masuk … keluar … masuk … rongga di dadaku membuka perlahan, teraliri oksigen yang mengembus, memompa paru-paru agar bekerja dengan sempurna. Semua kelenjar terurai, kecuali pikiranku. Ia masih bercokol bandel di sana, mengirim sinyal benci – beserta intimidasi. Kenapa kebencian hadir saat orang berhenti mencinta? Bukankah, seharusnya cinta bisa mengukuhkan eksistensinya lebih lama, meski dua orang tak lagi menjadi sepasang kekasih?

Pagi hari, aku mencoba menimbun rapat-rapat kejadian semalam agar tak muncul lagi ke permukaan, hingga mengganggu rutinitasku mengajar, menjual keteladanan dan sikap tubuh yang sempurna, untuk anak-anak ajar yang mengidolakanku.

“Satu, dua, satu dua….” Kaki-kaki mungil itu melompat, kaki depan mereka menjulur ke samping, naik lebih tinggi dari lantai. “Assemble yang bagus anak-anak!” pujiku sambil bertepuk tangan, geletar suaraku berusaha terdengar stabil.

Kujulurkan tungkai kakiku, untuk memberi mereka ilustrasi gerakan. Memutar ujung jari membentuk lingkaran dengan menyentuh lantai, ujung jempolku merengkuh dingin ubin.

Sanggul cepol yang menyembul di puncak kepalanya bergerak, salah satu anak didikku tersenyum lebar. Meski giginya tanggal satu, garis di bibir itu sungguh menyilaukan, seperti peri hutan.

Thank you, Miss!” Ambitus suaranya melengking merdu, menggelitik membran telingaku yang hari ini butuh sekali kelembutan.

Selepas berbagai kepenatan, aku berjalan pulang dengan langkah terseret enggan. Hatiku yang berdarah-darah tertinggal di suatu tempat, bersama pemiliknya. Tadi malam, lelaki itu habis-habisan kumaki “bajingan”. Dalam hitungan minggu, ia mengoyak habis batinku hingga serpihan, tak menyisakan satu ruang pun untuk bernapas menghadapi rutinitas.

Untung saja anak-anak hari ini bersikap baik, mereka tak pantas untuk kutaburi caci maki kisah cintaku yang baru saja kandas. Hhhh…namanya juga hidup, mantan pacarku yang memang tak punya nyali itu, tak pantas kutangisi berkepanjangan.

Sampai di rumah, ritualku berjalan seperti robot yang dikendalikan motorik halus, menggapai perlengkapan di segala penjuru ruang makan. Menyiapkan wadah bekal biruku tanpa gentur menggelora, tanganku meraih potongan ikan yang baru diangkat dari penggorengan. Waktunya memberi makan pemuda sebelah, yang sebentar lagi datang memunguti sampah domestik kami yang menggunung.

Sudah hampir 3 bulan lamanya, kami membagi sewadah nasi hangat dan telor ceplok garing berbalur kecap sederhana dengannya. Hari ini, ibu menyiapkan nasi hangat, oseng buncis, dan dua kerat ikan mas goreng, ditemani sebotol plastik air hangat. Paket itu aku hantarkan dengan sedikit enggan, karena bilur-bilur di hatiku masih terasa nyeri. Kalau saja bukan karena ibu, bergerak keluar dari kamar pun aku tak berdaya.

Isi meja malam ini terlihat cukup meriah. Ibu sedang berselera masak rupanya, uang belanja yang kusisihkan tadi pagi, dibelikannya bahan makanan yang diolah jadi hidangan menggiurkan.

Itu dia! Ia mengendap-endap seperti kucing mengintip ekor bajing, menyeret kakinya yang tak sempurna di balik semak, sambil mengintip dengan matanya yang jeli. Apa ia pikir, kami tak pernah tahu, setiap kali dirinya mampir mengambil jatah makan malamnya?

Dengan balutan kaos putih kumal yang tak pernah diganti, mata awasnya mengamati setiap gemerisik di halaman rumah, melangkah laksana Petite Battement. Bukan, bukan karena ia meniruku menari balet dengan kakinya yang timpang, itu karena tungkainya memang tak sama panjang.

Pemuda itu menukar wadah lama yang sudah dicucinya, dengan yang baru. Kami tak pernah bertegur sapa, meski sudah lama aku memberinya makan. Ia hanya singgah beberapa menit, lalu berkelok cepat di balik bak sampah, tanpa bisa kuendus keberadaannya. Ada yang berbeda hari ini, ia menyampirkan bunga seroja di wadah kosong milikku. Sebagai tanda terima kasih yang tak pernah tersuarakan olehnya.

Hatiku sedikit hangat, luka yang tadinya terasa menyakitkan di sana, ada yang mengobati. Berbuat sesuatu untuk mereka yang membutuhkan, punya daya magisnya sendiri – untuk aku yang sedang patah hati. Coba saja!

***

Sungguh, gaya hidupku tidak mewah-mewah amat. Jatah makan kami cukup untuk sarapan, makan siang, dan makan malam untuk bertiga. Aku, ibu dan ayahku. Jika kami harus menanggung satu porsi lagi untuknya, biarkanlah saja. Penghasilanku masih sanggup untuk mencukupi makan malamnya.

Pertama kali ia mengetuk welas asihku, adalah saat pemuda itu membagi makanannya dengan seekor kucing hamil depan rumah, tempat ia mengais sampah plastik. Wajahnya tampak lebih muda dariku, hanya gurat hitamnya yang membuat ia nampak lebih tua dari usia sesungguhnya. Tak seperti pemulung lain yang kerap meminta-minta, pemuda ini lekas pergi ketika aku hampiri.

Awalnya, aku mulai menyisihkan jatah makanku. Meski mereka tak pernah berkomentar, sepertinya ayah ibu pun tahu aktifitas filantropiku ini. Suatu hari, ibu menambahkan sebungkus kerupuk dan kue serabi ke dalam bungkusan yang sedang kuikat.

“Kamu juga harus makan. Nggak usah ambil dari jatah makanmu,” ucapnya tanpa bisa kutebak. Ia menyiapkan bekal menggunakan wadah biru sejak itu, tanpa mengganggu jatah makan malamku lagi. Begitulah seterusnya, hingga pemuda itu menentukan waktu berkunjungnya.

 “Kamu belum siapkan bekal untuk Si Bayu?” Ibu bertanya tiba-tiba.

“Bayu? Siapa?”

“Ibu sama Ayah, kasih nama Bayu buat pemuda itu. Sepertinya cocok,” celotehnya.

Bayu, sepertinya cukup mewakili. Sejak itu kami menamainya persis seperti orang Jawa menamai angin lalu - kami tak pernah tahu siapa nama sesungguhnya.

Lama-lama aku jadi ikut memikirkan, Masak apa hari ini? Padahal tak pernah sekalipun, aku ambil pusing dengan ranah pekerjaan ibu. Biar beliau saja yang berkreasi dengan menu makan sehari-hari.

Sehabis makan malam, ibu akan bertanya, “Besok kamu mau makan apa?” Sepertinya ibu tak hanya sedang menanyaiku atau ayah, layaknya seorang ibu, ia juga ingin mendengar pendapat Bayu, “Besok kamu kepengen dimasakin apa?”

Tukang sayur di komplek kami sudah berjualan dari jam 06.00 pagi. Aku menghampiri ibu, ketika ia memilih ayam potong untuk digoreng dan seikat kangkung segar.

“Tambah tempe goreng kayaknya enak, Bu,” usulku.

“Nah, Mas! Anakku kepengen tempe goreng. Tempe potongnya masih ada?” Ibu mencari potongan tempe dalam gundukan sayur.

“Ada Bu, masak banyak ya hari ini?”

“Ini, anakku baru gajian. Hari ini, dia yang mau bayar.”

Aku mengeluarkan lembaran warna merah tanpa ragu. “Jadi berapa, Mas?”

“Wah, Mbaknya yang bayar toh, semua jadi tujuh puluh tujuh ribu.” Ia mengambil uang dari tanganku dan menukarnya dengan lembaran warna hijau dan uang recehan.

Waktu kerjaku tak terikat jam kantor, asalkan sesuai dengan jadwal les balet untuk anak-anak didikku di sanggar, selebihnya hanya berlatih di rumah.

Hari ini, waktuku melatih dan melemaskan otot-otot hamstring dan gluteus-ku di teras. Embun yang menyelimuti pagi menghantarkanku pada perasaan malu; alam semesta begitu mencintaiku dengan paripurna; setelah patah hati yang mendera, tak pantas rasanya aku, melulu mengutuk manusia itu dan larut dalam kebencian.

“Maaf, Mbak. Sampahnya ada?” bisik seseorang dari balik pagar.

“Eh? Biasanya kan sore baru kemari?” Bola mataku hampir loncat dari wadahnya.

Ia nampak malu-malu, hampir beranjak pergi, ketika aku membukakan pintu pagar untuknya. “Sini, sampahnya nggak ada. Kamu mau minum?”

Pemuda itu menggeleng, ia seperti bertarung dengan sesuatu di kepalanya.

“Kenapa? Kamu mau makan?”

Matanya terbelalak. Merasa dituduh, wajahnya memerah. “Sa…saya mau kasih ini.” Ia menyodorkan satu kantung kresek hitam. Menguar harum gula merah dan kelapa parut di sekitar kami.

“Apa ini?”

“Untuk Mbak dan Ibu,” ucapnya menaruh buah tangannya di teras, lalu beranjak pergi dengan kaki timpang yang ia seret.

“Hei, hei….” panggilku tak bisa menahannya.

Sekotak kue awug beras masih hangat, tersaji di lantai rumah. Mataku mengerjap, terharu akan kedatangannya yang tiba-tiba. Ia berlalu tanpa berucap apa-apa.

“Makasih, ” bisikku pelan.

“Apa itu?” Ibu memicingkan matanya, membuka dus kecil di dalam kresek.

“Awug beras.”

“Dari siapa?”

“Bayu,” tukasku pendek.

Ibu mengangkat alisnya tinggi sambil mengerjap. “Bayu?”

Ayah beredehem dari balik posisiku berdiri, ia menimpali. “Bayu tukang sampah?”

Aku mengangguk.

Ibu mencomot sepotong awug beras yang masih hangat. “Enak. Bisa juga tuh anak.”

***

Nasi hangat, dua potong ayam goreng dan oseng kangkung sudah siap di kotak makan warna biru. Tidak lupa sebotol air hangat yang kali ini kububuhkan teh melati didalamnya. Setelah menyimpannya di tempat biasa, aku berangkat mengajar.

Hari ini kesibukan sanggar bertambah dua kali lipat. Beberapa anak didaulat sekolah mereka untuk tampil dalam sebuah acara Exhibition. Mereka berlatih tekun, bergerak, meliuk, meniru caraku menari.

Miss, kenapa manusia bisa gerak begini?” Michelle, seorang murid paling bontot meliukkan kakinya dengan gerakan memutar, lalu melompat dengan ujung kaki mendarat datar.

Aku bertepuk tangan, memujinya. Sambil merenung, mencoba memilih kalimat yang tepat. “Kita harus bersyukur, dianugerahi anggota tubuh sempurna yang bisa melakukan banyak hal dengan baik. Tak banyak yang punya kemampuan seperti kamu.”

Ia menatapku dengan bola mata jernihnya. “Nggak semua bisa, ya?”

Aku menggeleng pelan. “Banyak juga yang terlahir dengan anggota tubuh nggak sempurna. Bahkan untuk berjalan normal pun, mereka nggak bisa.”

Miss … aku mau tetap bisa kayak gini. Nggak mau berhenti menari,” ucapnya memohon.

“Iya, kita harus banyak-banyak bersyukur. Dengan cara berlatih tekun, dan peduli sama mereka yang nggak memiliki tubuh sempurna seperti kamu, Michelle.”

Ia mengangguk pelan. Sepertinya paham, atau … entahlah. Tubuhnya kembali meliuk, bergerak tangkas nan memesona.

***

Aku berjalan dalam remang. Mantan pacarku mengirimkan beberapa pesan singkat yang membuatku naik pitam. Ia memintaku untuk menemuinya di ujung jalan, hendak mengembalikan barang-barang yang menurutnya tak perlu ia simpan. Aku cuma bisa mengiakan.

Di ujung jalan, dalam keremangan lampu jalan, lelaki yang dulu kupanggil kekasih itu menunggu di balik kemudi. Sorot di matanya penuh benci laksana anala yang sanggup membumihanguskan, yang dulu selalu memandangku penuh cinta. Manusia adalah makhluk lemah yang mudah sekali diombang-ambing afeksi, rasa bisa dengan mudah berbalik; dari cinta menuju benci; mengalahkan logika berpikir yang memagari mereka agar tak bertindak bodoh.

“Kenapa baru pulang?”

“Kenapa harus jadi urusanmu?” Aku membalas pertanyaannya.

Ia turun dari motornya. Tubuhnya menjulang, mengintimidasiku meski tak berucap sepatah katapun. Alarm di sudut-sudut kepalaku memberikan sinyal kewaspadaan, harusnya aku lari menjauh. Karena setelah perpisahan itu, tak hanya sekali ia pernah berbuat kasar.

Ibuku bilang, tak semua kasih sayang akan berbalas kasih sayang, meski kita telah banyak berkorban. Mungkin aku telah mencintai orang yang salah. Kekerasan tak hanya berlaku dalam jalinan kisah rumah tangga, intimidasi bisa hadir di mana-mana.

Aku kembali tersadar, ketika cengkeraman di lenganku mengunciku untuk bergerak. Tepat ketika aku berusaha menggeliat dan menendang, kaki kokohnya balas menendang tulang kering di betisku, hingga berbunyi nyaring. Aku terhuyung dan roboh seketika. Pandanganku tiba-tiba gelap, keningku menyentuh aspal jalan dengan keras.

***

“Tenang, Nak. Dia sudah dipolisikan,” bisik ibu lembut di telingaku.

Siapa?

“Kamu pingsan lama sekali. Apa yang sekarang kamu rasakan?”

Aku bisa mendengar isak di setiap nada bicaranya. Ia menangis?

“Untung ada Bayu.”

Bayu? Siapa?

“Dia membantumu pulang. Hampir saja….”

Pemuda pincang itu. Bayu.

“Apa yang kamu rasakan saat ini? Kenapa kamu nggak bicara?” Ibu terguncang memandangku.

Aku bahkan tak sanggup untuk menggeleng, menjawabnya.

“Apa yang terjadi dengannya, Dok?”

Seorang berpakaian serba putih menghampiriku, ia menyoroti bola mataku dengan senter kecil.

“Ia mengalami cedera kepala, tapi trauma di kepalanya tidak disertai kerusakan jaringan. Anak Ibu butuh waktu untuk sadar total.”

Ibuku kembali tersisak, bahunya bergetar menahan pilu.

Kenapa aku tak bisa merasakan kakiku sendiri? Kebas.

“Yang perlu Ibu khawatirkan adalah kondisi kaki kanannya. Ia belum bisa menggerakkan kaki, karena syarafnya kehilangan kemampuan menggerakkan.”

“Selamanya. Dok?”

Lelaki berbaju putih itu memandangiku dalam diam. Ia melanjutkan: “Kita lihat nanti.”

***

Hampir sebulan aku pulang ke rumah. Terduduk di teras dalam kursi roda, adalah rutinitasku setiap pagi. Kesendirian kadang membuatku merasa, tak punya banyak hal lagi yang bisa ditawarkan untuk membeli kebahagiaan, waktuku sudah habis. Jatah bahagiaku sudah dibawanya pergi.

Orang yang paling bisa membuatmu menderita, adalah orang yang paling dekat denganmu; yang pernah kamu cintai; dan pernah menjadi segalanya untukmu. Tak hanya merenggut bahagiaku; masa depanku; dan langkah-langkahku, ia juga menggantikannya dengan gelinding roda yang mengubah tungkai-tungkaiku. 

Tiga puluh hari, sejak terakhir kali aku menari. Bergerak bersama anak-anak didikku, menarikan “Swan Lake” --Tchaikovsky dengan lentur dan menyenangkan. Tiga puluh hari sejak aku bisa merasakan gelenyar darah di kaki-kakiku, melangkah di lembab rerumputan hijau, atau tajamnya kerikil yang melukai telapakku.

Ayun langkah terseret terdengar dari arah pagar rumah. Seseorang mendekati kursi rodaku.

“Mbak.…”

Aku menatap langkah kaki panjang sebelah itu, ia tengah menopang tubuhnya. Kepala pemuda itu tertunduk, malu-malu bertanya. “Sudah sehat?”

Alisku beradu, mengernyit menatapnya.

Ia hanya bisa diam. Berdiri sebelum ku persilakan untuk duduk.

“Duduk,” bisikku.

Ia melipat lututnya di lantai teras, memainkan ujung-ujung kaosnya.

“Duduk di kursi aja, di bawah sana dingin.”

“Di sini aja, Mbak.” Ia urung mendekati kursi rodaku, tatapan kami beradu. “Mbak, sudah sehat?”

Aku mengangkat bahuku. “Nggak bisa jalan.”

Ia mengangguk-angguk, berdeham, kembali memainkan ujung kaosnya, yang lama-lama amat mengganggu.

“Saya nggak bisa nari lagi.” Aku membuka mulut, memuntahkan resah yang kupendam sejak sebulan lalu.

Ia masih memainkan kaosnya, lalu menatap roda-roda yang menopangku.

“Begini ya, rasanya nggak bisa berjalan normal.” Aku membuang napas. “ Kamu pernah sedih?”

Ia kebingungan mendengar pertanyaanku. “Saya … nggak sempat buat bersedih, Mbak.”

“Maksudnya?” Aku kemudian meralat, “kenapa?”

Ia berpikir, lama sekali.

“Maaf kalau saya menyinggung kamu. Oh, ya. Nama kamu siapa sih sebetulnya?” 

“Mbak kalau mau panggil saya Bayu, boleh saja,” ucapnya tersipu malu.

“Kok, tahu? Saya panggil kamu Bayu.” Aku memicingkan mata. “Tahu dari Ibu?”

“Malam kejadian itu, Mbak panggil saya … Bayu.”

Sungguh kejadian itupun aku lupa. Semua bergantian datang di sudut pikiranku tanpa diminta, seperti layar bioskop hitam putih yang diatur acak. Membingungkan. Yang tersisa hanya keterpurukan dan ketidakberdayaan.

“Saya rindu menari lagi …” curahku padanya. “Saya merasa nggak berdaya.”

Ia masih belum menjawab, hanya menatapku dengan tatapan ganjil. “Mbak lebih indah dari sekedar tarian.”

Aku melongo mendengar kejujurannya. “Apa itu maksudnya?”

“Mbak, masih punya yang lebih indah dari kaki-kaki yang menari.”

“Apa lagi yang saya punya?”

“Hati,” jawabnya pendek.

Aku mengernyitkan dahi, menunggu kejutan selanjutnya.

“Apa yang Mbak lakukan untuk saya, lebih indah. Hati yang Mbak miliki karena memberi, lebih baik dari kaki-kaki yang menari.”

Aku tersenyum lebar, mendengar puisi yang terucap dari mulut Si Angin Lalu. “Apa yang harus saya lakukan sekarang?”

“Mbak masih punya tangan, masih punya akal, masih punya mata. Yang terpenting, Mbak masih punya hati yang indah.” Malu-malu, ia beringsut dari duduknya, hendak beranjak pergi.

“Hei, Bayu….”

Sambil mengerjap, kepalanya menoleh.

“Makasih ya,” senyumku.

***

Mungkin kaki-kakiku berhenti menari di hari nahas itu. Tapi hati dan pikiranku tak pernah berhenti bergerak, menjulur, dan melompat…mencipta keseimbangan. Ini tarianku, menyambut hari depan.

“Untuk kakakku, yang menari dan meliuk bersama hati, akal dan satu tanganmu, semoga Allah mempersenjataimu dengan ketekunan dan kesabaran. I Salute You!”

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Rekomendasi