Pamijahan, Tasikmalaya. Di sebuah keheningan malam.
Lengang tanpa bahana, menyelimuti malam berbalut embun. Kakinya menapak berkecipak dalam air sungai di pintu gua. Bismillah, lantunnya sebelum mengumandangkan azan dengan lantang, yang menggema dan memantul di dinding bebatuan kasar, menggetarkan stalaktit yang melelai dari langit, hingga dasar stalagmit yang menghampar.
Rangkaian zikir menemani langkahnya berdampingan dengan Pak Muhidin, seorang guide dengan petromaks di genggaman. Jiwanya takzim pada tiap bait cerita yang Pak Muhidin kisahkan, tentang perjuangan Syekh Haji Abdul Muhyi yang berdakwah dan menyebar ajaran Islam hingga Jawa Barat bagian selatan.
Ia sendiri berusaha yakin, kalau tujuannya tak hanya berziarah mencari kemujaraban, apalagi ajian pengasih. Langkah dan batinnya menyatu, mengejawantahkan segenap keinginan untuk ber-taqqarub dengan Sang Khalik. Ia yang pernah tersesat di badai kecemasan dan pikiran gelap, kini hanya ingin merindu dan mengingat-Nya saat duduk, berdiri, berbaring, ataupun melangkah. Mengkaji dan menggunakan akalnya untuk merenungi setiap penciptaan langit dan bumi. Menyeimbangkan zikir dan pikir.
Detak nadinya menghitung jumlah tetes air jatuh dari batuan runcing di langit tinggi, seperti tasbih yang terucap melantun zikir dan shalawat, setiap tetes mengandung segala puji. Tubuhnya menyungkum dalam sikap tawadhu, merasa kecil dan malu.
Dirinya bukanlah pengembara yang mengukur jarak sebagai wujud kepongahan, hanya ingin maujud dan larut dalam kerinduan pada Sang Rabb, ber-medium alam yang berdiri dengan megah. Pada kuasa-Nya ia tunduk.
Beberapa orang datang dari arah berlawanan, macam-macam rupa menatapnya penuh curiga, bisik kurang sedap terucap dari mulut mereka satu persatu. Ia yang hanya berpakaian seperti pejalan kaki, seolah tak pantas mengembara di petilasan Sang Waliyullah.
“Akang dari mana?” Seseorang dengan sorban putih dan jubah besar menghadang langkahnya.
“Dari Bandung. Mau lihat gua di waktu malam,” jawabnya tenang.
Lelaki itu mengerutkan dahi, mengamati kupluk hingga ujung sepatunya. “Mahasiswa?”
“Sepuluh tahun lalu,” candanya, mencoba mengurai kerut di dahi lelaki bersorban. “Saya duluan ya, Pak. Keburu malam, masih harus pulang ke Bandung.”
Lelaki itu tak menjawab, hanya mengangguk, namun tak mengalihkan pandangan.
Ruang kosong dalam gua yang tadi hening, kini berbunyi nyaring. Riuh langkah dan gumaman mengubah kesunyian. Pak Muhidin menyarankannya untuk tetap melangkah, tak menggubris sikap mereka yang tak ramah.
“Biar saja, Cep. Mungkin dikiranya, Encep mau ngelmu,” bisiknya.
“Ini juga ngelmu, Pak. Ilmu batiniah, buat menaklukkan takabur.”
Lelaki tua itu terkekeh. “Ah, Encep suka bercanda.”
Tiba di hamparan cadas berukuran tak lebih dari 12 x 8 meter, ia menggelar sajadah lusuhnya. Membaca istigfar, menyucikan diri untuk menghadap Al-Khaliq.
“Di sini Syekh Haji Abdul Muhyi biasa shalat bersama para santrinya, Cep.”
“Muhun, Pak.”
Keseimbangan akan melahirkan ketentraman dan kedamaian. Ia yang berupaya membagi olah tubuh, zikir dan pikir dalam aktivitasnya dengan sama rata, membagi waktu malamnya menjadi tiga bagian. Sepertiga malam untuk istirahat, sepertiganya untuk solat, dan sepertiga sisanya untuk mempelajari alam semesta beserta penghuninya. Anugerah besar yang pantas disyukuri, lantas kenapa ia merasa masih sering mengeluh?
Air wudu yang tadi diambilnya di sumber mata air jernih Pamijahan, membasuh kantuk dan lelah agar enyah dari tubuh. Dalam sujudnya, ia menyerahkan diri, dan setiap apa yang melekat di tubuhnya, untuk diserahkan pada Sang Maha Pengampun. Tubuhnya gemetar, segala kesombongan luntur dari jiwanya. Di sela do’a, ia menangis memasrahkan diri, mengingat dosa-dosa masa lalu yang menggunung.
Sebelum azan awal berkumandang, pejalan kaki itu kembali melangkah, menyimpan baik-baik rasa rindu yang bergemuruh di dadanya, membisikkan wirid di dinding-dinding gua yang keras dan tajam. Pada-Nya ia akan pulang, dan hanya pada-Nya ia selalu merindu.