Disukai
2
Dilihat
1,507
Tetangga Berisik
Komedi

Halo, namaku Fredy, biasa dipanggil Fredy, umur 21, pekerjaan mahasiswa abadi, hobi nidurin cewek-cewek seksi.

Tapi itu dulu, sebelum para tetangga menyerang.

Jadi gini ceritanya ....

Aku, selayaknya seorang Pangeran, dilahirkan dan dibesarkan pada keluarga besar yang kaya raya.

Tapi, sepertinya orang-orang disekitarku sangat iri dan membenciku hingga mereka semua mulai berkonspirasi bersama-sama untuk menjatuhkanku dan mengusirku dari istanaku sebagai putra mahkota dan mulai berebut untuk menduduki singgasanaku.

Konflik berdarah antar saudara pun tak terelakkan lagi dalam istana boneka itu.

Untungnya mereka semua mengusirku dan mengisolasiku ke sebuah kawasan kumuh pinggir kota sebelum perang saudara itu berhasil menghabisiku.

Jadi, selama beberapa tahun terakhir ini aku sudah tinggal sendirian di sebuah rumah susun angker di pinggiran kota.

Semuanya berjalan sangat lancar kayak jalan tol, kecuali kuliahku yang macet kayak jalanan ibu kota yang mampet kayak lubang WC, mungkin kalau kota besar ini hidup pasti dia udah lama mati kena stroke.

Setiap harinya hariku selalu diisi dengan kegiatan-kegiatan yang sangat-sangat bermanfaat.

Pagi - sore main sama nongkrong, malamnya olahraga sampai pagi.

Sebuah rutinitas harian yang menyenangkan sekaligus melelahkan selama bertahun-tahun lamanya tanpa liburan dan istirahat sedikitpun.

Dan sepertinya itu tidak baik bagi kesehatanku.

Oleh karena itu, capek, lesuh, jenuh dan bosan, aku memutuskan untuk mengambil cuti dan liburan dari kesibukanku selama lima tahun penuh.

Aku mengemasi semua barang-barang berhargaku dari dalam ruangan kecil dan menyedihkan itu. Lalu bergegas pergi untuk mengambil penerbangan pagiku menuju Amazon untuk sebuah petualangan langkah dan mahalku sekali seumur hidup.

Ya, meskipun aku sudah terusir dari singgasanaku, faktanya aku masih mendapatkan aliran dana yang melimpah dari sebuah koneksi rahasiaku.

Aku berencana untuk menjelajahi seluruh hutan eksotis itu mulai dari menakjubkannya hutan hujan mematikannya sampai liarnya dunia air mereka dengan berbagai macam predator yang siap mengintai dan membantaimu selama 24 jam nonstop.

Sungguh liburan yang menegangkan, sebenarnya hidup dan tinggal dalam rusun angker ini juga sudah lebih dari sekedar cukup untuk mencari kata "menegangkan" dalam hidupmu.

"Cklek," pintu depan terbuka dengan sempurna tanpa lecet sedikitpun dan tidak ada satu pun teror yang terdeteksi oleh semua inderaku.

Aku keluar dengan menyeret sebuah koper berwarna merah, yang berukuran cukup besar dengan gambar iblis di tengahnya, hingga aku sedikit kesulitan mengeluarkannya dari pintu yang berwarna senada itu.

Setelah berusaha dengan cukup gigih menghadapi perlawanan yang cukup Spartan dari si setan merah selama enam puluh detik lamanya. Akhirnya setan itu menyerah juga dan memberikan sedikit siasatnya padaku yang sudah cukup untuk membuatku berjungkir balik dalam lorong rusun yang mencekam itu.

Untung tidak ada seorang pun yang melihat ketololanku itu, hanya beberapa tetangga tak kasat mataku yang mungkin sedang menertawakanku dari sudut lorong yang jelek itu.

Setelah merapikan kembali penampilanku yang biasa saja ini aku kembali melanjutkan niatanku untuk segera minggat dari lantai paling creappy di rusun ini.

"Permisi," ucapku berusaha menjadi tetangga yang sopan dan santun.

Setelah beberapa detik yang menguras banyak adrenalin akhirnya aku berhasil turun kembali ke peradaban dengan selamat, meskipun sedikit ngos-ngosan dan kehabisan nafas, yang kabur duluan dari dalam paru-paruku secepat mereka kembali masuk dari pelarian mereka.

"Gak apa-apa, mas?" tanya seorang kakek-kakek yang melihatku dengan penuh tanda tanya pada wajah datarnya itu.

"Ya ... makasih, kek. Udah repot-repot nanya," ucapku memegangi lututku yang terasa kopong itu ditambah dengan kaki-kaki yang bergetar dibawahnya.

Setelah selesai mengambil kembali seluruh nafasku yang sempat tercerai-berai, aku kembali bangkit menegakkan tubuh dan wajahku yang kusut dan berantakan, masih dengan kaki-kaki yang bergetar.

Saat tangan kiriku berniat menggenggam dan menarik setan merah itu kembali, setan itu ternyata berhasil di hadang oleh tetangga-tetangga berisik kami di atas sana.

"Haaa ... menyebalkan," desahku meratapi kawanku yang tertinggal dalam neraka itu.

Semenit kemudian, yang terasa seperti setahun, aku kembali mengulang adegan yang sama seperti sebelumnya kecuali kali ini si setan merah ikut melakukan gerakan yang sama sepertiku.

"Gak apa-apa, mas?"

"Tolong diam, kek. Makasih."

Setelah sempat tertunda selama dua adegan lamanya akhirnya aku benar-benar bisa berangkat menjemput penerbanganku yang terlambat.

Pada pintu masuk bandara ratusan penggemar setiaku mulai menggila secara harfiah melihat kedatanganku dalam balutan si burung biru.

Saat aku hendak membuka sayap kanan burung biru ini, secepat saat burung ini mengudara, aku mengurungkan kembali niatanku untuk keluar dari perlindungan burung besi darat ini.

Para wanita gila itu benar-benar sudah seperti segerombolan zombie kelaparan tanpa arah dan tujuan yang akan terus mengejar mangsanya hingga tubuh mereka benar-benar hancur berkeping-keping.

"Kenapa, mas?" tanya si burung bingung melihatku yang panik dan ketakutan.

"Gak apa-apa, pak," sahutku menuju sayap kiri.

"Pyaar!"

Mereka mematahkan sayap burung malang itu.

"Gluk."

"Selamat tinggal, pak. Makasih tumpangannya. Dah! Hati-hati!"

Aku mengevakuasi diri lewat sayap kiri dan berlari secepat-cepatnya hingga aku melupakan dan meninggalkan setan merah malang itu sekali lagi yang kini sudah tak bisa terselamatkan lagi.

Ratusan wanita itu benar-benar mengamuk dan mencabik-cabik burung malang beserta setan merah di dalamnya.

Mereka menarik dan mengambil paksa isi perut dari si setan merah lalu merobek dan membanting mereka dengan sangat keji dan brutal tanpa belas kasihan sedikitpun.

"Aneh," pikir si sopir taksi melihatku berlari dengan panik sambil menabrak beberapa orang disekitarku.

Setelah kembali kerepotan menjaga dan melindungi nyawaku yang terus diburu tanpa henti. Aku akhirnya sampai dengan selamat, meskipun harus melakukan sedikit pengorbanan, pada detik-detik terakhir evakuasiku.

Pagi itu akhirnya aku terbang keluar dari teror sebuah rusun berhantu menuju teror-teror lainya, secara fisik, yang menantiku dalam sebuah kebun binatang kematian.

Lima tahun berlalu dan akhirnya aku kembali pulang ke istana susun berhantuku.

Dan aku masih bertanya-tanya, kenapa aku malah berlibur di kasino nyawa yang lainnya, itu sama sekali bukan liburan yang sehat.

Tapi beruntungnya, aku memenangkan semua pertaruhan itu selama lima tahun dan aku pulang dengan membawa jutaan nyawa tambahan yang siap digunakan untuk bertempur dengan para tetangga-tetangga berisik itu.

Dan aku juga masih bingung bagaimana caraku bisa bertahan dari semua teror dan trik-trik mereka selama itu, mungkin mempunyai tetangga-tetangga yang berisik juga ada manfaatnya bagiku.

Kali ini suasana di dalam maupun luar atau sekitar bandara terlihat jauh lebih kondusif daripada lima tahun yang lalu.

Tidak ada teror maupun ancaman mengerikan dari para zombie-zombie kepanasan itu lagi malam ini.

"Eh, masnya. Mas, yang waktu itu tiba-tiba lari kayak orang habis lihat setan kan? Kalau gak salah ... lima tahun yang lalu. Bener kan?"

Seperti Deja vu, aku kembali bertemu bapak-bapak sopir taksi yang mengantarku ke tempat ini lima tahun yang lalu.

"Eh, bapak kok masih inget? Saya aja udah agak lupa."

"Soalnya masnya belum bayar ongkos taksi saya lima tahun yang lalu."

"Oh, gitu. Jadi saya punya hutang ke bapak?"

"Ya. Mau bayar kan? Gak pura-pura lihat setan lagi terus kabur sampai kopernya ketinggalan. Tuh, kopernya masih saya simpan di belakang. Siapa tau nanti saya ketemu masnya lagi buat nagih hutang sama balikin kopernya. Nah, kebetulan sekarang kita ketemu lagi. Tapi lama banget masnya kalau kabur. Masa saya harus nunggu selama lima tahun buat nagih ongkos 20 ribu."

Aku cukup terkejut melihat kawan lamaku, si setan merah, masih terlihat sehat walafiat dan masih berada di tempat yang sama persis saat aku meninggalkannya lima tahun yang lalu.

"Oh, nggak, pak. Tenang saja, saya bayar kok. Sekalian anterin saya ya, pak. Nanti saya bayar kalau udah sampai."

"Masnya nanti gak kabur lagi kan?"

"Gak. Sumpah," ucapku menunjukkan dua jariku ke udara.

"Ok, silahkan masuk."

Sayap biru burung itu membuka sendirinya secara otomatis saat sang sopir mempersilahkan.

"Wow ... perasaan dulu masih manual," pikirku terkagum-kagum lalu memasuki kabin taksi yang dingin itu.

"Masnya emang darimana lima tahun ini? Goa?" ledek sang sopir menyalahkan mesinnya.

"Ya," sahutku datar.

Keheningan menambah dingin suasana dalam taksi itu selama beberapa saat, yang seakan mencekik tenggorokanku dengan lembut, sebelum sang sopir membuat burung biru ini akhirnya mengudara di atas aspal yang basah karena hujan.

Gerimis yang masih sabar mengguyur kota ini di malam yang biasa saja semakin membekukanku dalam balutan warna biru bulu burung yang menyelimutiku ini.

"Pak, bisa matiin ac-nya?" pintaku menggigil.

"Maaf, mas. Ac-nya rusak," ucap bapak itu sedingin balok es.

"Ya udah. Gak apa-apa," ucapku bersin.

"Maaf, pak," sambungku dengan ingus yang bergelantungan dengan santai pada hidungku.

"Ya."

Sepanjang perjalanan yang menyebalkan itu, dengan banjir dan lalu lintas macetnya, aku terus menerus bersin sepanjang waktu.

Dan kalau saja kami sedikit lebih lama untuk mendarat di istana berhantuku, mungkin burung biru ini akan karam dan tenggelam bukan karena banjir di luar sana tapi karena hidungku yang tidak berhenti untuk memproduksi ingus secara brutal.

"Sampai, mas," ucap sang sopir mendaratkan burungnya.

"Akhirnya," ucapku lega.

"Ini, pak. Sekalian sama hutang saya lima tahun yang lalu. Makasih."

Aku turun dari punggung burung biru yang basah itu, kini dengan dua ekor setan merah di kedua tanganku.

Berdiri sendirian di bawah rintik hujan dan kebasahan, aku lupa membawa payung, aku menatap istana hantu yang megah berwarna biru langit di hadapanku itu dengan ribuan kengerian di dalamnya yang sudah siap menyambutku dengan cara-cara eklusif mereka sendiri.

Saat tubuhku kembali menghangat karena adrenalin yang mulai terkumpul aku membalikkan kepalaku ke belakang.

"Sudah pergi? Cepat sekali," pikirku yang menyadari bahwa burung biru itu sudah mengudara kembali.

"Oi, mas! Lama gak kelihatan. Habis pulang kampung ya?"

Kakek-kakek berwajah datar yang sama dengan lima tahun yang lalu, yang mengantarku untuk keluar dari istana berhantu itu, kini juga menyambut kedatanganku kembali kedalam neraka biru ini.

"Haha ... gak kok, kek. Cuma liburan sebentar. Kayaknya kakek juga perlu libur, deh. Biar mukanya gak datar terus."

"Oh, gitu, ya? Makasih, ya, sarannya, mas," ucap si kakek masih dengan wajah datarnya.

"I-iya ... permisi ya, kek. Saya ke atas dulu," pamitku segera berlari secepat kilat ke lantai paling berisik di rusun ini.

Dengan terburu-buru aku berlari melewati deretan lantai-lantai kosong di bagian bawah menuju keramaian lantai 13 yang tidak lain adalah lantai tempatku berada.

"Permisi semuanya. Maaf mengganggu. Numpang lewat sebentar."

"Eh, mas Fredy. Darimana aja kok gak pernah kelihatan?" tanya perempuan cantik berbaju putih menarik lengan kananku.

"Eh, mbak. Anu ... itu ... apa namanya? Liburan! Ya, liburan! Liburan mbak ...."

"Liburan kok gak ngajak-ngajak sih?"

"Anu mbak ... itu ... waktu itu saya buru-buru. Jadi gak sempet ngajak. Maaf, ya ...."

"Ya, udah deh kalau gitu. Tapi nanti kalau mau liburan lagi ajakin ya."

"I-ya ... mbak ... nanti saya ajak."

"Bener, ya. Awas kalau bohong."

"I-ya."

"Bisa tolong lepasin tangan saya gak mbak? Saya mau pulang ...."

"Gak mampir dulu, mas?" tawar perempuan cantik lain disampingnya yang muncul bersama dengan yang lainnya dari dalam kemewahan itu.

"Kapan-kapan aja, mbak. Saya udah gak tahan ini," ucapku gemetaran.

"Oh, maaf," ucap perempuan itu melepas cengkeramannya.

"I-ya, mbak. Gak apa-apa," ucapku mulai melompat-lompat.

"Kalau udah gak tahan, mampir dulu aja, mas," tawar perempuan cantik itu sekali lagi.

"Gak usah, mbak. Makasih."

Aku lalu melompat-lompat seperti kangguru, yang tidak aku temukan di Amazon, melupakan teman-temanku kembali dalam kurungan para tetangga.

Kemudian mencari-cari kunci yang tepat, terus melompat.

Memasukannya ke dalam lubang kecil itu, memutarnya dan masuk kedalamnya dengan terburu-buru.

Tanpa menghiraukan kegelapan di sekelilingku, aku langsung menuju kamar mandi dan melepaskan semua beban yang terpendam itu.

"Haaa ... leganya."

"Tok! Tok! Tok!"

Terdengar suara lembut ketukan pintu dari balik kegelapan itu.

"Siapa?" tanyaku masih fokus pada satu titik.

"Tok! Tok! Tok!"

"Ya, sebentar!"

Aku memasukan kembali burung itu kedalam kandang yang sunyi, keluar dari kamar mandi, berjalan dalam kegelapan goa menuju sebuah teror para tetangga, aku membuka pintu.

"Cklek."

"Kopernya ketinggalan, mas," ucap tetangga cantikku itu tersenyum padaku.

"Oh, makasih, mbak. Maaf ngerepotin," sahutku gelisah.

"Gak apa-apa, mas. Santai aja."

Perempuan cantik itu menggeser masuk kedua koperku ke dalam kegelapan goa dengan mudahnya, bahkan kedua tangan pucat itu tak menyentuh mereka sedikitpun.

Keheningan yang meneror mencekikku sesaat sebelum perempuan itu berkata, "saya boleh masuk, mas?"

"Ah? Maaf, mbak. Anu ... itu ... di dalam berantakan."

"Saya bisa bantu bersihin kalau mas Fredy mau."

"Gak usah, mbak. Makasih."

"Brak!"

Aku membanting pintu itu tanpa permisi.

Tiba-tiba obor-obor dalam goa menyedihkan ini menyala dengan sendirinya.

"Maaf, mas, saya gak suka ditolak."

Tetanggaku yang cantik dan menakutkan itu tiba-tiba sudah berada di dapur bersama teman-temannya memasak sesuatu untuk makan malam, baunya enak.

Aku berjalan perlahan dan penuh kehati-hatian mendekati perempuan-perempuan berambut panjang itu.

Mereka terlihat sedang memotong-motong sesuatu dari balik punggungnya.

"Gluk."

"Tapi saya jadi gak enak sama, mbaknya."

"Diluar hujan. Mas Fredy pasti kedinginan habis kehujanan. Sebaiknya mas Fredy mandi dulu baru makan," perintah mereka dingin dan bersamaan.

Wanita-wanita itu tiba-tiba mematahkan lehernya dan menunjukan wajah hancurnya kepadaku lalu berkata, "cepat," dengan suara yang lembut.

Saat itu, nyawaku serasa melompat keluar dari tubuh kurus ini dan bergegas terbang dengan bebas dalam kedamaian menuju cahaya yang terang benderang di atas sana.

Untung saja aku membawa pulang banyak nyawa tambahan dalam koper merah itu yang langsung melompat keluar dari dalam koper dan langsung menyelam masuk kedalam raga yang kosong ini.

Bagaikan sebuah robot, aku langsung bergerak sesuai perintah dan berjalan masuk ke dalam kamar mandi lalu melakukan berbagai hal di dalam sana dengan kedua bola mata yang meronta-ronta ingin melompat keluar dari tempatnya.

Setelah itu, aku menyeret kedua kakiku seperti seorang zombie tak bernyawa menuju meja makan di samping dapur, masih dengan tatapan mata yang kosong dan penuh kehampaan.

Aku duduk di hadapan wanita-wanita itu dan bersiap dengan perintah selanjutnya.

"Nah, gitu dong. Kan jadi kelihatan lebih seger," ucap salah satu dari mereka tersenyum dengan mulut robeknya.

"Makanlah."

Tanpa ragu aku memakan semua hidangan makan malam ala hantu itu dengan sangat lahap hingga tak ada satupun yang tersisa dari mereka.

Setelah itu, dengan tangan dingin mereka wanita-wanita itu menuntunku masuk ke dalam goa pribadiku yang gelap lalu memberi perintah kepada para penjaga untuk menutup satu-satunya akses keluar-masuk goa hingga wanita-wanita cantik dan seksi itu selesai denganku di dalam kegelapan itu.

"Ha!"

Aku terbangun dalam kondisi pakaian yang compang-camping, goa berantakan, kedua bola mata merah dan kekeringan.

Aku segera berlari keluar menuju dapur, mengambil segelas air putih, meminumnya seperti orang gila dan memeriksa kembali tubuhku yang menyedihkan ini.

"Tidak ada apa-apa. Hehe ... mungkin aku bermimpi lagi ...."

Saat berjalan menuju ruang makan, aku tidak sengaja melihat deretan piring kotor pada meja makan yang sangat kotor dengan noda-noda yang terlihat menjijikan.

Seketika aku langsung merasa mual dan bergegas berlari menuju kamar mandi dan memuntahkan semua isi perut yang menjijikan itu dengan brutal.

"Oh, sial. Apa itu?"

Aku yang tidak tahan melihat pemandangan itu langsung bergegas melenyapkan isi perut itu dengan pusaran tornado di bawahnya.

"Oh, sial. Aku benar-benar harus pergi dari neraka ini."

Dengan sempoyongan aku berjalan menuju ruang tengah untuk menonton televisi, mungkin hiburan bisa membantuku saat ini.

"Beberapa orang dilaporkan menghilang secara misterius selama lima tahun belakangan di area sekitar bandara ...."

"Apa ini?"

"Menurut laporan para saksi di sekitar tempat kejadian, para korban dikatakan terakhir kali terlihat menaiki sebuah taksi sebelum dilaporkan menghilang tanpa jejak sedikitpun. Polisi sudah berupaya semaksimal mungkin dalam proses pencarian para korban tapi hasilnya tetap nihil. Tidak ada satupun petunjuk selain dari pernyataan para saksi mengenai taksi biru yang menjemput para korban di bandara pada saat kejadian. Taksi tersebut pun tak dapat teridentifikasi lantaran para saksi tidak pernah melihat dengan jelas plat nomor dari taksi tersebut. Sedangkan semua perusahaan taksi bersumpah tidak mengetahui dan terlibat apapun dengan semua penculikan itu. Rumor yang beredar kencang di masyarakat mengatakan bahwa para orang-orang yang menghilang itu adalah korban penculikan dari sebuah taksi hantu yang mulai meneror di kawasan sekitar bandara sejak lima tahun yang lalu, setelah sempat diberitakan seorang sopir taksi dinyatakan tewas dalam sebuah kecelakaan lalu lintas setelah mengantarkan seorang penumpang aneh ke bandara yang hingga kini tidak ditemukan keberadaannya."

"Oh, sial."

"Tok! Tok! Tok!"

Pintu merah darah itu terlihat tengah digedor-gedor dengan keras oleh sesuatu dibaliknya hingga menggetarkan seluruh konstruksi dari goa gelap ini.

Siaran berita yang kutonton tiba-tiba berganti menjadi ribuan semut 8 bit yang terlihat memadati layar monitor untuk berunjuk rasa dan mendesak keluar dari layar kaca hingga mereka benar-benar berhasil memecahkan dinding ke-4 itu.

Koloni itu berkumpul menjadi satu dan membentuk sebuah tubuh perempuan berambut panjang tanpa mata dan hidung, hanya sebuah coretan cacat yang mengukir wajah buram itu secara abstrak.

Lalu saat tubuh wanita itu mulai membengkok-bengkok dengan cara paling aneh, suara-suara jeritan minta pertolongan mulai terdengar menggema dalam goa keputusasaan ini.

"Tolong! Tolong! Tolong!"

"Tolong kami! Kami tidak mau mati! Kami mau pulang! Kami tidak bersalah. Itu semua bukan salah kami. Itu semua adalah salahmu!"

Suara-suara itu terdengar sangat keras bagaikan keluar dari dalam telingaku dan membuat kedua gendang telingaku meledak hingga mengeluarkan banyak darah yang mengalir keluar dengan sangat deras seperti sebuah air terjun yang meluncur dengan bebas dari kedua telingaku.

Aku yang kesakitan hanya bisa memegangi kedua telingaku yang berdarah dengan kedua tanganku tanpa bisa mendengar betapa kencang dan menyedihkannya teriakan ketakutan yang keluar dari dalam mulutku.

Sesaat kemudian belasan tangan pucat dan dingin mulai merayapi tubuhku menuju leher yang kemudian dengan lembut mereka belai dan mereka cekik hingga rasanya leherku membeku karena tangan-tangan dingin mereka.

Aku yang mulai kehabisan nafas terjatuh dan berlutut pada lantai yang tergenang oleh gumpalan cairan merah yang entah datang dari mana asalnya, yang kemudian kusadari kembali kalau kedua air terjun darah itu terus mengalir dengan deras tanpa henti dari kedua lubang telingaku.

Setelah itu wanita abstrak yang keluar dari dalam sebuah kotak bersinar itu mendekatiku dan menghembuskan nafas panasnya kepada wajahku yang langsung melepuh karenanya.

Lalu wanita tanpa wajah itu mulai mencium dan mencumbuku dengan brutal hingga rasanya lebih seperti dia menghisap paksa nyawaku untuk keluar dari dalam tubuhku.

Dan benar saja, beberapa saat kemudian aku melihat diriku sendiri melompat keluar dari dalam mulutku yang melepuh dengan posisi masih mencumbuh wanita itu dengan tidak kalah brutalnya.

Untungnya, jutaan nyawa tambahan yang kubawa pulang dari Amazon segera keluar dari dalam si setan merah dan langsung bergegas masuk ke dalam tubuhku yang sudah tak karuan ini sementara yang lain mulai menyibukkan diri dengan bertarung bersama para hantu dari seluruh penjuru istana biru berhantu ini.

Sementara para nyawa-nyawa tambahan itu menghadapi perlawanan sengit dari para hantu, aku bergegas melarikan diri keluar dari dalam goa menakutkan itu dan melompat dengan bebas dari lantai 13 menuju kematian yang menungguku di bawah sana.

"Ha!"

Lagi, aku terbangun dengan kondisi pakaian dan kamar yang amburadul dengan kedua mata merah semerah darah setelah mengalami serangkaian mimpi buruk yang sama berulang kali hingga aku tidak ingat sudah berapa kali aku mengulangi adegan yang sama ini.

Setelah itu, kalian sudah membaca kelanjutannya. Aku terperangkap dalam teror mengerikan para tetanggaku yang berisik dan di akhiri dengan sebuah tindakan bunuh diri ala superhero landing. Tapi sayangnya aku bukan seorang superhero atau anti-hero berbaju merah yang tidak bisa mati meski mencobanya berkali-kali.

Tapi mungkin aku memang seorang superhero yang terjebak dalam ilusi musuhnya yang memaksaku untuk terus mengulang mimpi buruk yang sama tanpa henti dalam sebuah putaran keabadian sebuah komedi putar dalam sebuah pasar malam yang ditinggalkan.

"Ha, ha, ha, ha, ha ...."

"Apanya yang lucu?" tanya sebuah maskot setan merah dengan sebilah pisau penuh darah di tangan kanannya.

"Oh, hei, Fred. Kau tadi bilang apa?"

"Apanya yang lucu, Fredy?"

"Oh, ya. Itu namaku, Fredy. Dan kau Fred. Fred si merah."

"Apanya yang lucu?"

"Oh, ya. Apanya yang lucu? Film itu. Kau lihat? Film itu yang lucu. Ada kita di dalamnya. Dan adegan saat kau berpelukan dengan burung biru itu ... itu sangat lucu. Burung itu sebegitu senangnya kau peluk hingga ia pingsan saking senangnya."

"Ya, kau benar," maskot itu mengambil posisi untuk duduk di hadapanku, memunggungi tayangan film favoritku yang tidak pernah bosan untuk ku tonton meski adegannya di ulang-ulang.

"Apa?" tanyaku.

"Tersenyumlah," sambungku.

"Aku selalu tersenyum."

"Tidak, kau tidak pernah tersenyum sepanjang hidupmu. Kau selalu bersembunyi dalam wajah iblis cupu itu. Tersenyumlah. Rileks ...."

"Tolong jangan dilanjutkan," potong maskot itu.

"Apa kau tau kenapa aku disini? Kau disini? Kenapa kita berada di tempat ini?" tanyanya dengan senyuman permanennya.

"Tidak. Dan aku tidak peduli."

"Dengar. Kita disini karena suatu alasan dan tujuan. Apa kau mengingatnya?"

"Tidak. Aku bahkan tidak tau siapa diriku atau apa dirimu itu? Dan tentu saja tempat yang lucu ini."

"Apa menurutmu ini lucu? Tempat ini lucu?"

"Ya. Kenapa? Kau tidak menyukainya? Ayolah, kau pasti menyukainya. Kau hanya perlu sedikit ... 'tenang'."

"Aku sangat tenang. Kau yang tidak tenang."

"Oh, benarkah? Aku pikir ... aku sudah tenang selama ini."

Badut itu ambruk di atas lantai merah ruangan serba putih ini.

Aku, dengan sebilah pisau di tangan kananku, bangkit berdiri dari dudukku, berjalan menuju sudut ruangan, menaiki sebuah tangga triangle di sana, menatap dan menjilat sebuah lensa kamera lalu menikamnya hingga siaran pada monitor mini itu menjadi rusak.

Kemudian, rembesan-rembesan darah mulai mengalir keluar dari balik tembok-tembok biru langit itu, yang terlihat mengkilap dari kejauhan, dari balik awan-awan merah yang mengepungnya dari segala sisi, yang tinggal menunggu waktu sebelum istana biru langit itu membusuk di dalam kebusukan neraka abadi ini.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
@semangat123 : 🤍
Semangat 💪🤍❤️
@syashi : Eh, iy, ya, kak 😂
Terkadang hal kecil tidak luput oleh pembaca. Usia berapakah dia tamat SMA, sehingga di usia 21 dia bergelar mahasiswa abadi? Kuliah setidaknya 8 semester dan itu sepertinya belum layak disebut mhswa abadi.
Inti crtanya bagus, aku nangkepnya mungkin tetangga berisik ini makhluk tak kasat mata ya? Tapi alur nya masih buat bingung. Trs, banyak kalimat yang majasnya terlalu over.
Rekomendasi dari Komedi
Rekomendasi