Mencari tempat gym itu filosofinya sama persis dengan mencari jodoh. Cocok-cocokan. Tidak bisa dipaksakan. Kadang yang tampilannya mentereng di luar, dalamnya kurang asik. Kadang yang luarnya sederhana, dalamnya bikin nyaman.
Setelah pengalaman pertamaku nge-gym minggu lalu, aku memutuskan untuk coba cari gym lain yang mungkin cocok.
Maka, dimulailah ekspedisi pencarian gym baru. Aku mulai berkelana di hutan belantara Instagram.
Setelah satu jam riset, mataku tertumbuk pada sebuah akun gym yang menarik. Namanya "Hercules Iron Paradise" (nama samaran, tentu saja). Dari foto-foto di Instagram, tempat ini terlihat perfect. Ruangannya luas seperti hanggar pesawat, pencahayaannya estetik dan yang paling penting: alatnya banyak dan kinclong.
Dan yang membuatku makin yakin adalah harganya. Biaya member bulanannya jauh lebih murah daripada gym pertamaku.
Otak ekonomisku langsung bekerja. Tempat luas + Alat baru + Harga murah = Surga Dunia.
Tanpa pikir panjang, aku memutuskan untuk melakukan survei lapangan alias per-visit.
Kali ini, aku tidak mau mengulangi kesalahan fatal di minggu lalu. Aku sudah pensiunkan kaos partai gratisan berbahan saringan tahu itu. Sebagai gantinya, aku mengenakan outfit terbaikku: Jersey bola lawas klub Chelsea musim 2010 (padahal aku bukan fans bola, ini juga dikasih temen).
Kenapa jersey bola?
Pertama, bahannya dri-fit menyerap keringat. Kedua, memberikan kesan orang mau olahraga bukan mau nongkrong. Aku memakai parfum malaikat subuh yang kubeli waktu pulang jumatan kemarin, lalu langsung berangkat, siap menaklukan besi-besi itu.
Aku memacu motorku menuju lokasi. Jaraknya tidak terlalu jauh dari gym lamaku. Sesampainya di sana, aku cukup terkesan. Bangunannya megah.
Aku melangkah masuk dengan dada membusung. "Selamat pagi," sapaku ramah pada resepsionis.
Ekspektasiku, resepsionis akan menyambut dengan senyum matahari pagi seperti di iklan pasta gigi. Realitanya? Resepsionisnya adalah seorang mbak-mbak dengan wajah yang menyiratkan beban hidup setara utang negara. Matanya sayu, gerakan tubuhnya lambat seperti kungkang yang baru bangun tidur siang.
"Mau per-visit," kataku semangat.
Dia hanya mengangguk pelan, menyodorkan kertas tanpa bicara. Setelah aku bayar, aku bertanya, "Mbak, loker sama ruang ganti di mana ya?."
Mbak itu menghela napas panjang, seolah-olah pertanyaanku telah menghabiskan sisa energi kehidupannya hari ini. Tangannya terangkat lemah, menunjuk ke sebuah lorong gelap di ujung sana.
“Itu lokernya. Di sana tempat gantinya,” ucapnya datar, tanpa menatap mataku.
Oke. Ramah sekali.
Aku berjalan menuju arah yang ditunjuk. Ternyata gym ini memang sesuai janji Instagram-nya: Luas banget. Area kardio dipisah jauh dari area angkat beban, seolah-olah kasta pelari dan kasta pengangkat besi tidak boleh bersatu.
Karena aku sudah memakai "Pakaian Tempur" (jersey Chelsea kebanggaan), aku tidak perlu ganti baju. Aku hanya menuju loker, memasukkan tas kecilku, dan mengamankan ponsel di saku celana.
Aku melangkah masuk ke arena utama: Area Angkat Beban.
Buseeet. Ramai benar.
Padahal ini masih pagi, tapi manusia-manusia berotot sudah memenuhi ruangan. Suara dentingan besi beradu (KLANG! DUG!) bersahut-sahutan dengan suara erangan laki-laki yang sedang berjuang melawan gravitasi (Euggghhh! Arghhh!). Aromanya adalah campuran antara bau karet, besi dingin, dan keringat maskulin.
Aku merasa seperti kancil obesitas yang masuk ke kandang banteng. Kecil, asing, dan rawan terinjak.
Tapi, aku ingat ajaran Coach Adit (PT-ku di gym yang kemarin). “Jangan langsung angkat, Mas. Pemanasan dulu.”
Dengan gaya sok profesional, aku menuju area treadmill. Aku berjalan cepat selama 5 menit, diselingi peregangan leher patah-patah dan putar pinggang. Aku berusaha terlihat serius, seolah-olah aku sedang mempersiapkan tubuh supaya tidak encok.
Setelah pemanasan, aku kembali ke area beban. Masalah baru muncul: Semua alat penuh.
Aku berdiri canggung di tengah ruangan seperti orang hilang, Cuma buka tutup kunci layar hp. Mau main alat Chest Press, ada bapak-bapak lagi main HP di atasnya. Mau main Lat Pulldown, antreannya kayak pembagian sembako.
Mataku menyapu ruangan, mencari celah. Aha! Ada satu alat kosong di pojok: Leg Extension (alat buat nendang beban pake kaki).
Aku bergegas jalan cepat menuju alat itu. Tepat saat aku sampai dan menduduki tahta Leg Extension itu, aku baru sadar kalau di belakangku ada segerombolan cewek-cewek gym yang juga berjalan ke arah sini.
Mereka berhenti, menatapku kecewa karena keduluan. Ada sekitar tiga orang cewek. Penampilan mereka sporty abis, pakai legging ketat dan sport bra.
Tiba-tiba, jiwa lelakiku berbisik kencang: “Woy, Ada penonton cewek! Tunjukkan kalau kamu kuat!!”
Jiwa lelakiku meronta. Rencana awalku yang ingin pakai beban ringan (15 kg) langsung kubatalkan. Tanganku dengan sendirinya mencabut pin beban, lalu memindahkannya ke bawah. Aku tidak sempat menghitung angkanya, yang penting terlihat agak banyak tumpukannya.
“Ini baru laki,” batinku.
Aku memasukkan kaki ke bantalan. Menarik napas panjang. Menguatkan kuda-kuda. Lalu...
HIAAAAT!
Aku menendang ke atas.
Besi itu bergerak. Tapi beratnya... Astagfirullah aladzim. Rasanya seperti ada gajah duduk di pergelangan kakiku. Urat di leherku rasanya mau putus. Mataku melotot sampai hampir keluar dari tempatnya. Wajahku pasti sudah merah padam.
Satu repetisi. Berhasil.
Dua repetisi. Kakiku gemetar hebat.
Tiga repetisi. Duniaku mulai berputar.
Empat... Lima... Enam...
Di repetisi keenam, kakiku mogok total. Macet. Tidak bisa naik lagi meski aku sudah mengerahkan tenaga dalam. Aku menyerah. Besi itu jatuh berdebam keras. BLANG!
Aku terengah-engah parah. Napasku habis, Keringat mengucur deras sebesar biji jagung.
Aku melirik ke arah gerombolan cewek tadi. Mereka masih di sana, menunggu. Karena tidak enak hati (dan takut pingsan kalau lanjut), aku memutuskan menyudahi set ini.
“Silakan, Mbak. Sudah selesai,” kataku dengan suara serak, berusaha tetap cool sambil memegangi paha yang kram.
Salah satu cewek maju. Badannya kecil, tingginya mungkin cuma 155 cm, kuncir kuda. Dia duduk di alat itu.
Aku berdiri di dekat situ, penasaran dia mau pakai beban berapa.
Dia tidak mengubah pin bebannya.
Ku Ulangi: Dia. Tidak. Mengubah. Pin. Bebannya.
Dia memakai beban sisa bekas aku tadi beban yang membuatku hampir melihat cahaya ilahi.
Dengan santai, tanpa ekspresi kesakitan, cewek mungil ini mulai latihan. Satu... Dua... Tiga... Kakinya bergerak mulus. Ritmenya stabil. Dia main HP sambil nendang beban itu! Gila! Dia seperti sedang menendang kapas, bukan besi!
Harga diriku runtuh seketika. Ternyata beban maksimal hidup dan matiku hanyalah beban pemanasan buat dia. Dengan rasa malu yang membakar ubun-ubun, aku kabur mencari alat lain.
Pindah. Harus pindah yang jauh.
Aku sampai di sektor Shoulder Press (alat dorong beban ke atas untuk bahu). Alat ini masih pakai sistem piringan beban manual (plate loaded), bukan pin.
Alatnya kosong. Aman.
Aku melepaskan semua piringan beban sisa orang sebelumnya. Kosongan dulu. Aku coba angkat. Enteng.
“Oke, tambah dikit biar berasa,” gumamku.
Aku mengambil dua piringan beban berwarna hitam dari rak. Tulisannya agak pudar, aku malas ngecek. Bentuknya kecil, paling cuma 5 kilo atau 10 kilo. Aku pasang di kanan dan kiri.
Saat aku duduk dan bersiap, tiba-tiba datanglah seorang cewek lain. Kali ini penampilannya lebih glowing. Dia berdiri di dekatku, sepertinya menunggu giliran.
Lagi-lagi. Egoku meronta.
“Ada cewek cakep. Pasang muka garang. Tunjukkan pesonanmu,” bisik egoku.
Aku membusungkan dada. Kucengkeram pegangan alat itu dengan mantap. Aku membayangkan diriku adalah atlet binaraga profesional.
Satu... Dua... ANGKAT!
Aku mengerahkan tenaga.
...
Hening.
Alatnya tidak bergerak.
Sama sekali tidak bergerak. Seolah-olah dilas mati ke lantai.
Aku mencoba lagi. Euggghhh! Mukaku panas. Gigi gemeletuk. Tapi besi sialan itu tetap diam di tempat, menertawakan kelemahanku.
Sial, ini berat apa dosa? Kok berat banget?!
Aku melirik ke samping. Cewek cakep itu berdiri tepat di sebelahkan, sedang main HP tapi posisinya menghadap ke arahku. Dia pasti sadar kalau dari tadi aku cuma ngeden doang tapi alatnya nggak naik-naik.
Keringat dingin mulai bercucuran. Ini bukan keringat olahraga, ini keringat malu. Situasinya deadlock. Kalau aku turunin lagi bebannya, ketahuan lemahnya. Kalau aku paksa angkat, bisa-bisa sendi bahuku copot dan aku masuk UGD.
Otakku berputar cepat mencari jalan keluar. Think, Think!
Aha!
Aku melepaskan pegangan tangan dari alat itu dengan gerakan tiba-tiba, lalu merogoh saku celana dan mengambil HP.
Aku menempelkan HP ke telinga. Layarnya masih hitam (mati), tapi bodo amat.
“Halo? Apa?!” teriakku dengan nada kaget yang dibuat-buat.
Aku berdiri dari kursi alat itu, memasang wajah panik seolah menerima kabar darurat negara.
“Hah? Kucing tetangga lahiran? Harus operasi caesar sekarang? Waduh! Oke, oke, aku pulang sekarang! On the way!”
Aku menutup telepon gaib itu, lalu menoleh ke cewek di sebelahku.
“Sori ya Mbak, ada urusan mendesak. Pakai aja alatnya,” kataku buru-buru.
Cewek itu menatapku bingung. Mungkin dia mikir, ini orang gila ya? Tapi dia mengangguk.
Aku berjalan cepat menjauh, tapi langkahku melambat di balik pilar untuk mengintip. Aku penasaran, seberapa berat sih beban hitam tadi?
Cewek cakep itu duduk di alat Shoulder Press bekasku. Dia tidak mengurangi bebannya.
Dia memegang gagang alat. Dan... Wush.
Dia mendorongnya ke atas. Mulus. Stabil. Satu... Dua... Tiga...
Mataku menyipit melihat piringan beban yang tadi kupasang. Cahaya lampu menimpa piringan itu, memperjelas tulisan angkanya.
Ternyata itu bukan plat besi biasa. Itu plat high-density. Tulisannya: 25 KG.
Jadi tadi aku mencoba mengangkat total 50 KG (kiri-kanan) plus berat alatnya? Pantas saja bahuku mau meledak. Dan cewek itu mengangkatnya seolah sedang mengangkat jemuran.
Aku bersandar lemas di pilar. Ternyata gym ini bukan tempat manusia biasa. Ini sarang Wonder Woman. Ini markas Avengers cabang srikandi.
Di gym ini, cewek-ceweknya bukan terbuat dari tulang rusuk, tapi dari tulang beton bertulang.
Aku menatap nanar ke sekeliling. Rasanya semua orang menatapku dengan tatapan kasihan. Jersey Chelsea-ku yang gagah tiba-tiba terasa seperti daster (Padahal sih ga ada yang peduli juga)
Akhirnya, dengan sisa-sisa harga diri yang sudah minus, aku berjalan gontai menuju zona aman: Treadmill.
Satu-satunya alat yang tidak akan mengkhianatiku. Satu-satunya alat di mana aku tidak perlu adu kuat sama cewek.
Aku berjalan di atas treadmill selama 10 menit, menatap kosong ke arah tembok, merenungi nasib.
Besok aku mau cari gym khusus lansia saja.