Flash Fiction
Disukai
6
Dilihat
290
The Ex
Romantis
Flash Fiction ini masih diperiksa oleh kurator

"Pyarrr!!!"

Dan terjadi lagi, pertengkaran yang terulang kembali. Setiap hari, semenjak hari itu, hari pertama dari kisah kami, segalanya seakan berubah menjadi tragedi.

Mimpi buruk yang terus berulang seperti sebuah film yang rusak, memaksa kami harus terus melihat dan menyaksikan adegan demi adegan yang menyakitkan.

Berbagai macam bentuk umpatan, makian, dan teriakan menggema di seluruh ruangan yang berantakan.

Pecahan kaca dan berbagai macam perabotan berhamburan di mana-mana. Bantal, guling, dan kasur tak lagi bersama. Seluruh ruangan terasa seakan dilanda bencana. Gempa bumi yang datang menghantam dan memorak-porandakan sebuah hubungan yang tak lagi bisa untuk dipertahankan.

Peperangan yang mengacaukan semua kenangan. Tamparan, pukulan dan bahkan tendangan meremukkan semua perasaan yang tersisa, meninggalkan sebuah bekas yang akan abadi selamanya.

Amarah dan kebencian membakar segala hal yang melintas, menciptakan neraka dalam alur yang berantakan.

Dan kini, segalanya kembali berulang ....

***

"Hai," sapanya pagi itu.

Wajahnya yang cantik begitu ceria dan memesona setiap saat aku memandangnya.

Pagi itu, seperti biasa, kami berjalan dan bergandengan tangan menuju sekolah.

Semua mata memandangi kami dengan penuh kecemburuan. Tapi kami tidak pernah peduli dan terus bergandengan tangan hingga tidak ada yang berani memisahkan.

Sepanjang hari yang kami lakukan hanya bermesraan. Tidak peduli kapan dan di mana, yang kami inginkan hanya tetap bersama untuk selamanya.

Sepulang sekolah pun kami tetap bersama. Hingga saat itu tiba, saat di mana segalanya mulai berubah. Kedua anak kecil itu sudah dewasa. Tak ada lagi batas di antara mereka berdua. Dan mereka pun akan selalu bersama untuk selamanya.

Rasa itu, tekstur itu, suara itu, aroma itu, pemandangan itu, sensasi itu, segalanya adalah hal baru bagiku yang akhirnya membangkitkan sosok monster dari dalam diriku.

Tanpa sadar, aku mulai kehilangan akal sehatku. Kini, naluri dan sisi gelapku lah yang mengambil alih tubuhku.

Setelah itu, hanya kegelapan yang ada dalam pandanganku.

***

Badai petir sedang mengamuk dan menghantam seisi kota di saat kami berdua sedang asyik bercumbu mesra di bawah cahaya lampu yang temaram.

Dengan sebotol wine di tangan, kami terus menari dan berdansa sepanjang malam.

Tidak ada siapapun atau apa pun yang bisa menghentikan. Bahkan, gemuruh petir di luar pun terdengar seperti sebuah orkestra yang mengiringi pertunjukan yang sedang kami mainkan.

Setiap teriakan dan tepukan makin memeriahkan suasana. Malam makin bergelora saat memasuki puncak acara.

Teriakan dan jeritan kebahagiaan makin membahana di seluruh ruangan yang temaram.

Malam makin gelap dan badai di luar makin menggila.

Dan akhirnya, akhir yang dinanti pun telah tiba.

Sorakan dan tepuk tangan memeriahkan dan sekaligus mengakhiri pertunjukan dengan suka cita.

Namun, badai di luar tak kunjung berakhir juga.

***

Matahari mekar dengan sempurna pagi ini. Mengakhiri pesta yang begitu meriah dan sempurna semalam. Pesta yang ditutup dengan hidangan penutup yang begitu manis dan elegan. Rasa manis dan teksturnya yang lembut dan kenyal itu masih bisa kurasakan dalam setiap sesapan secangkir kopi hitam, kental dan pahit pagi ini. Membuatku kembali melayang dan terbang menuju menu sarapan pagi ini yang tergeletak tak berdaya di atas meja makan yang kusut dan berantakan.

Segera kunikmati hidangan itu dengan begitu rakus dan sembarangan. Kuhabiskan sarapan pagiku dalam sekejap dan tak menyisakan sedikitpun remah di atas piring putih polos itu. Membuatku merasa haus seketika. Segera kuraih sebotol jus jeruk di kulkas. Dan begitu saja, sebotol jus jeruk itu langsung kuhabiskan dalam sekali tenggak. Lalu kubuang begitu saja botol itu tanpa ragu ke dalam tong sampah yang kosong dan hampa.

"Mati ... mati ... mati ...," ucapnya lirih sambil berlinang air mata dan tanpa busana di atas kasur putih yang kusut dan berantakan.

"Mati ... mati ... mati ...," ucapnya berulang kali.

"Mati ...."

"Berisik!" bentakku kemudian.

"Mati, mati, mati, siapa yang mati, ha!?"

"Katakan siapa yang mati!"

"Katakan! Katakan! Katakan!"

"Katakan padaku siapa yang mati! Dasar jalang tidak berguna!"

"Plak!!!"

"Katakan padaku! Lihat wajahku! Tatap mataku! Apa kau yang mati atau aku yang mati!?"

"Kita ... kita yang mati, di sini, hari ini, malam ini," jawabnya sambil berurai air mata.

"Plak!!!"

"Dasar jalang sialan! Kalau kau ingin mati mati saja sendiri!"

"Plak!!!"

"Kau ingin mati, bukan?"

"Kalau begitu akan kuberikan kematian paling menyakitkan untukmu, sayang," ucapku menyeringai kepadanya.

"Plak!!!"

"Plak! Plak! Plak!"

***

Gerimis berjatuhan begitu perlahan malam ini. Seakan seisi planet melambat saat ini. Atau hubungan kami yang mulai berjalan menuju kematian yang sudah menanti di ujung jalan yang rusak dan penuh lubang ini.

Seisi rumah sudah hancur dan berantakan. Tidak ada lagi yang bisa diselamatkan. Dalam waktu kurang dari empat jam ke depan kapal mewah ini akan segera menjadi sejarah, sejarah yang kelam bagi cinta kami berdua, yang dahulu pernah ada dan merekah sebelum berubah menjadi sebuah mimpi buruk terburuk yang pernah ada.

Tidak ada lagi yang bisa kulakukan. Monster sialan itu sudah menghancurkan segalanya. Segala yang pernah mewarnai dan menerangi hidupku yang gelap sebelum pada akhirnya aku dibutakan oleh cahayanya yang begitu menyilaukan itu. Menciptakan sesosok monster yang pada akhirnya menyeretku ke dalam kegelapan yang jauh lebih gelap dan kelam dari sebelumnya.

Dan sekarang hanya tersisa rasa penyesalan, perasaan bersalah, genangan darah dan kubangan air mata yang ada di depan mata.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (1)
Rekomendasi dari Romantis
Rekomendasi