Disukai
2
Dilihat
869
D-DAY
Romantis

Asap hitam membumbung tinggi di atas langit malam berbintang.

Aku, sendirian, dengan tatapan kosong akan kehidupan yang hilang, menatap lurus ke arah kenangan yang menghilang tertelan oleh arus waktu yang membakarnya secara perlahan.

***

"Kriiing!!!"

Suara jam weker tua berkarat berdering dengan riang gembira di atas sebuah meja kayu bundar kecil tua yang sudah lapuk termakan waktu.

Sebuah potongan kehidupan yang kehilangan kemampuan untuk tumbuh dan berkembang.

Hanya terjebak pada satu tempat, tanpa gerakan serta tarikan nafas dan hanya menunggu waktu pembusukan datang berkunjung membawakan lusinan rayap sebagai buah tangan yang akan memakan dan meninggali sebuah kehancuran yang tak dapat dihindarkan.

Jam bodoh itu, yang selalu salah dalam menghitung dirinya sendiri, terus berteriak-teriak memanggil dan membangunkanku di waktu yang selalu salah tanpa pernah belajar dari kesalahan dan selalu mengulanginya setiap hari seakan aku terjebak dalam sebuah pusaran waktu yang tak lagi berputar kembali.

Aku membuka kedua mataku yang kering di atas sebuah kasur yang basah dan reyot yang mulai tenggelam setiap malam dalam ruang dan waktu yang membengkok dengan luar biasa dalam alam semesta berbentuk persegi yang pengap dan menyesakan ini.

"Byur."

"Air?"

"Banjir?"

Setetes air jatuh menimpah kepalaku yang berat.

Aku mendongakan wajah yang muram ke atas dan setetes air kembali terjatuh, kini pada keningku lalu terus turun ke bawah bagaikan sebuah sungai yang terus mengalir menyusuri wajahku, hidung, mulut, dagu, dan berakhir pada sebuah samudera yang menggenangi alam semestaku yang rusak dan berkarat ini.

Aku menatap lurus ke arah pintu biru yang dipenuhi oleh kesedihan itu.

"Kriiing!!!"

Jam busuk itu terus menjerit.

"Berisik."

Aku mengambil jam rusak itu dengan tangan kiriku lalu melepasnya begitu saja, membiarkannya terjatuh, terjun bebas dan tenggelam dalam lautan air mata ini.

Aku berjalan perlahan menyeret kedua kakiku yang terasa berat karena segala tekanan di sekelilingnya, menerjang segala tekanan itu dan terus melangkah ke arah pintu biru itu.

Aku menyentuhnya, gagang hitam berkarat dan dingin itu.

Aku menggenggamnya dan ... gagang itu pun terlepas dari tempatnya.

Aku yang sudah bisa menduga hal tersebut akan terjadi hanya menatap gagang itu dengan penuh keprihatinan dan membuangnya begitu saja tanpa rasa bersalah dan berdosa.

Membiarkannya tenggelam dan mati secara perlahan bersama rongsokan lainnya.

Suasana pagi itu begitu dingin dan hening.

Tidak ada suara kicau burung ataupun suara hiruk-pikuk manusia yang sedang beraktifitas di luar sana, hanya hembusan angin dingin dan teriakan-teriakan minta tolong dari jam tidak berguna itu yang terus berdering dan menggema dalam kepalaku yang berantakan.

Sementara sang waktu terus menjerit tanpa henti retakan kecil mulai menjalar di seluruh ruangan ini, kemudian ....

"Byur!!!"

Aku benar-benar ikut tengelam dalam banjir yang menyedihkan ini.

Seluruh kota kecil ini sudah ditelan oleh banjir bandang yang menerjang dan menenggelamkan seluruh kehidupan di dalamnya dalam semalam.

Aku yang tertidur dalam sebuah kamar kecil di atas lantai dua dalam sebuah rumah tua yang sudah reyot hanya tinggal menunggu waktu saja untuk ikut tenggelam dalam bencana ini.

Setelah itu hanya ada kegelapan yang siap menyambutku dalam pelukannya yang dingin dan menenangkan itu meski aku bisa melihat dengan kedua bola mataku dengan sangat jelas dan jernih untuk yang terakhir kalinya sebelum kegelapan menelanku untuk selama-lamanya bahwa sang mentari hanya diam dan menatap dengan senyumannya yang palsu itu membiarkan kami semua tidur dalam harapan akan sebuah surga yang tak pernah ada.

"Kau ...."

***

Sebuah api unggun tengah menyala dengan terang dalam kepungan kegelapan malam di sekitarnya di tengah-tengah reruntuhan kota yang telah hancur luluh lantak diterjang bencana.

Di dekatnya terdapat sebuah VCR beserta tumpukan kaset di sampingnya dan sebuah monitor kecil di depannya.

Aku berjalan mendekati kehangatan tersebut dan mulai memainkan beberapa rekaman video hitam putih pada VCR tersebut.

***

"Hahahaha!!!"

"Kejar aku kalau bisa!"

"Jangan lari! Awas kau ya!"

Di bawah guyuran sinar mentari pagi yang hangat terlihat sepasang bocah, laki-laki dan perempuan, tengah berkejar-kejaran dalam sebuah taman bermain yang ramai dipenuhi oleh anak-anak kecil yang sedang asyik bermain bersama teman-temannya.

"Kena kau!"

Sang bocah laki-laki berhasil menangkap si gadis kecil setelah kaki kanannya tersandung sebuah batu kecil di depannya dan membuatnya terjatuh menimpah si gadis kecil di tengah-tengah kumpulan anak-anak yang sibuk dengan diri mereka sendiri-sendiri di sekitarnya.

Lama mereka saling pandang satu sama lain dengan kedua hidung yang saling bersentuhan satu sama lain, mengabaikan para figuran di sekitar dan hanyut dalam suasana dan perasaan canggung yang aneh itu.

***

"Aaahh ...."

Suara lenguhan terdengar mendominasi malam yang sunyi itu ketika seorang pemuda tengah menikmati gadisnya di bawah cahaya oranye lampu bohlam yang bergoyang dengan perlahan penuh irama diterpa angin malam yang membelai dengan lembut dan penuh perasaan.

***

"Selamat tinggal," ucapnya begitu saja.

Dia, malaikat yang tidak pernah ada, akan segera terbang kembali ke rumah meninggalkanku kembali sendirian dalam pengasingan ini.

Surga yang dirindukan selama ini hanya datang untuk melakukan sebuah perpisahan yang tertunda.

Aku yang rusak dan bodoh ini hanya bisa terdiam dan pasrah menatap keajaiban yang menghilang ditelan kegelapan.

Tepat saat cahaya kuning itu melesat pergi ke dalam realita mimpi ini pun berakhir dengan air mata.

Air mata tak berguna yang membanjiri dan menenggelamkan sang Peter Pan dalam warna biru realitas yang mengerikan.

***

Dan begitulah, akhir dari sebuah kebohongan yang selalu melekat dalam ingatan yang rusak dan berkarat ini.

Dengan berakhirnya pertunjukan dari sebuah film yang rusak itu, retakan demi retakan pada sebuah bendungan raksasa mulai menyatu membentuk sebuah bencana yang akan menenggelamkan segalanya malam itu, sebuah malam dimana semua kenangan dan masa lalu akan dihapus dalam sebuah kematian.

"Kalau kau datang hanya untuk membunuhku kenapa tidak kau lakukan saja sendiri secara langsung dalam realitas yang busuk ini!?"

Aku membanting monitor yang tak pernah tumbuh dewasa itu ke dalam kobaran api kebencian yang membara dan menyala-nyala dalam sebuah kehancuran ini.

Ratusan, ribuan, jutaan, semut hitam putih itu tumpah ruah dan melebur bersama logam berkarat yang membungkusnya.

Aku menendang, menginjak, membanting, menghancurkan dan membakar semua kenangan rusak yang dipenuhi kebohongan itu dengan segala kebencian yang menjadi satu-satunya hal yang tumbuh dengan subur dalam tubuh yang busuk ini.

"Aaaahhhh!!!!"

Aku berteriak dan menangis penuh kekesalan kepada segalanya.

"Bruk."

Lagi, aku selalu berlutut tertunduk menghadap tanah dan meneteskan air mata.

"Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa kau melakukan semua permainan terkutuk ini dasar wanita murahan!?"

"Kenapa aku mencintaimu? Kenapa aku tidak pernah bisa melupakanmu bahkan setelah semua yang telah kau lakukan padaku?"

"Kenapa rasanya sakit sekali saat melihatmu tergeletak tak berdaya di tengah-tengah kekacauan itu padahal satu-satunya yang mati di sini hanya aku!?"

"Apa yang telah kau lakukan dasar iblis lacur sialan!?"

"Kalau kau memang membenciku tolong datanglah untuk yang terakhir kalinya dan hancurkan jantung tidak berguna ini yang hanya berdetak untukmu dengan tangan kotormu itu."

"Kumohon ... datanglah ... wahai engkau sang malaikat kematianku."

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
@semangat123 : 🥲
Nyesek 🤧🤧🤧
Rekomendasi dari Romantis
Rekomendasi