Disukai
2
Dilihat
834
November
Romantis

"Kita harus akhiri ini sekarang," ucapku padanya.

"Jadi, hanya begitu saja? Semua selesai begitu saja? Semuanya berakhir begitu saja? Semua yang sudah kita lalui bersama?"

"Ya."

Hanya ada keheningan saja setelah itu.

"Baiklah."

"Silahkan akhiri semua ini sekarang juga ... lakukanlah ... sayang ...," ucapnya meneteskan air mata.

Gadis itu, gadis tercantik yang pernah kulihat dan satu-satunya yang ada dihidupku, malaikatku, meneteskan air mata kristalnya yang berharga dihadapanku sendiri untuk yang terakhir kalinya.

"Maaf dan terimakasih untuk segalanya ... sayang."

"Dor!"

Akhirnya, aku melakukanya.

Memberikan tembakan terakhirku padanya, malaikatku tersayang, melubangi hati murninya, memberinya luka, sekaligus mengantarnya pulang ke rumah.

Cairan merah itu, simbol dari cinta kami dan sesuatu yang menyatukan kami, kini, aku telah menumpahkan dan membiarkannya jatuh dengan tanganku sendiri tepat pada saat daun terakhir musim gugur jatuh dengan tenang di atas tanah, mempersilahkan musim dingin yang panjang untuk datang dan menelan kami kedalam kegelapan.

Wajahnya yang cantik, kini telah pergi untuk selama-lamanya dalam kedamaian dengan sebuah senyuman terakhir yang mempesona, dihiasi dengan butiran-butiran kristal yang menetes dari sepasang mata cokelat yang indah itu.

Kini, semua hanya sebuah kenangan kisah cinta yang indah layaknya sebuah fatamorgana di tengah padang pasir yang tandus, yang diawali oleh sebuah keajaiban cinta dan diakhiri dengan sebuah kemustahilan cinta, semua akan selalu terekam dengan sempurna dalam memori kami untuk selama-lamanya, dan hanya akan ada kami berdua tanpa ada seorangpun yang akan bisa memisahkan kami kembali untuk kedua kalinya, bahkan kematian.

Para pengunjung restoran yang sedaritadi duduk dan menikmati hidangan serta suasana restoran yang romantis dengan alunan musik jazznya, tepat setelah aku mengantar kembali Angel ke rumah dan setelah semua lilin dimatikan, semua orang dalam restoran bintang lima itu, termasuk seluruh karyawan restoran, pelayan, chef, semua pengiring musik yang menghidupkan suasana romantis dalam restoran, bahkan sang pemilik, bangkit dari tempat mereka masing-masing dan mulai mempersiapkan persiapan terakhir.

Beberapa pria berdasi bergegas untuk melockdown tempat ini, salah satu dari mereka mengunci pintu, sisanya menutup tirai, mengunci diri dari cahaya terakhir sang mentari dan mengirim seluruh ruangan kedalam kegelapan abadi.

Beberapa wanita dan pria kelas atas lainya sibuk untuk merapikan seluruh ruangan, atau lebih tepatnya mengosongkan seluruh ruangan, menyingkirkan semua hal yang mereka anggap tidak berguna dan hanya akan menghalang-halangi acara, termasuk tubuh gadis yang selalu bersinar di mataku, yang kini mulai kehilangan sinarnya secara perlahan, dan hanya menyisakan diriku sendiri yang terpaku pada kursiku, dengan sepasang mata sayu dan sebuah pistol di tangan kananku dalam kegelapan itu.

Tak lama kemudian semua lilin kembali dinyalakan, membuat ruangan ini terlihat seperti neraka dengan semua orang yang sudah berbaris dengan rapi melingkariku bagaikan sekumpulan iblis yang sudah siap untuk menyantap hidangan penutup mereka.

"Lakukanlah."

"Kring."

Suara lonceng berdenting di pintu masuk kafe transparan itu setelah seorang gadis tak dikenal memasuki ruangan ber-AC.

"Hai," ucapnya hangat padaku yang sibuk menyiapkan pesanan.

"A ...."

"Kau ... apa kita pernah bertemu sebelumnya, nona?" tanyaku ragu padanya.

"Jangan pura-pura bodoh."

"Kau tau siapa aku dan kenapa aku datang ke tempat ini."

Ya, dia benar. Aku hanya berpura-pura bodoh dengan tatapan seorang anak polos yang sama saat kami pertama kali bertemu dirumahku, pagi itu, dalam mimpi itu. Sebuah mimpi yang tak akan lekang oleh waktu.

"Hai."

Satu kata yang mengubah segalanya.

Sesosok malaikat tak bernama jatuh tepat di hadapanku pagi itu, tepat pukul tujuh.

Dengan tatapan hangat kedua bola mata indah itu, dia membiusku bersamaan dengan terbitnya matahari dalam hatiku.

Aku, yang selama ini tersesat dan kehilangan arah dalam gelap seakan mendapatkan sebuah jawaban, sebuah sinar harapan yang menuntunku kembali kepada sebuah takdir yang sudah lama menanti di depan sana, rumah.

"Hai."

"Sayang? Halo?"

Gadis cantik itu mengibaskan tangan kanannya ke kiri dan kanan, menyadarkanku dari kepingan-kepingan memori yang kini sudah tersusun dengan sempurna membentuk sebuah masa depan yang sempurna bersamanya.

"Kau tidak apa-apa? Kau memikirkan sesuatu?"

"Aku hanya teringat kembali semua keajaiban yang dulu kau kemas dengan sempurna dalam hidupku yang kelam."

Gadis berambut hitam itu tersenyum dengan begitu mempesona tepat di depan mataku.

Lagi-lagi dia selalu berhasil membiusku dalam sihirnya yang sempurna.

Seperti sebuah dongeng, aku tidak dapat mempercayai apa yang sepenuhnya terjadi dalam hidupku.

Seorang Pangeran yang terasingkan dari kerajaannya sendiri dan terkurung dalam kegelapan hutan kematian tiba-tiba diselamatkan oleh sesosok peri kecil yang sudah mengawasiku sejak lama dari balik tirai kegelapan itu, sebuah tempat yang dipenuhi cahaya dan kehidupan.

Klise, tapi itu gila dan tidak masuk akal. Bahkan itu lebih mirip sebagai sebuah mitos daripada dongeng anak-anak yang selalu kalian baca waktu kecil.

Dan sekarang, mitos itu menjadi nyata dan akan dikenang sebagai sebuah legenda di masa yang akan datang, saat dunia benar-benar berubah menjadi sebuah negeri dongeng yang penuh keajaiban dan kebahagiaan, sebuah utopia yang sempurna.

Semenjak saat itu kami menjalani kehidupan tanpa celah dalam kebahagiaan polos anak kecil, menari bersama di bawah guyuran hujan tanpa awan, kami menghabiskan waktu bersama sepanjang waktu, tak peduli siang atau malam, musim semi atau musim dingin, kami seperti terjebak dalam mimpi di malam musim panas yang tak terlupakan.

Namun, hari ini, tepat saat dunia mulai membeku dan waktu berhenti bekerja untuk selama-lamanya, dongeng kami berakhir.

Dalam alunan musik piano yang menghanyutkan dan dentingan peralatan makan yang terdengar renyah, sebuah timah panas bersarang dalam sebuah Wonderland yang penuh keajaiban dalam mode slow motion dan mengubahnya menjadi sebuah Neverland yang ditinggalkan.

Kini, dunia hanya menyisakan seorang anak kecil yang polos untuk dihancurkan dan ditengelamkan bersama semua mimpi-mimpi yang berkarat itu.

Sebuah akhir dimana bahkan sang pemeran utama tak lagi menjadi permata. Sebuah dunia yang benar-benar hancur dan runtuh ditelan sebuah lubang hitam tak berdasar.

Sebuah mimpi yang menjadi tragedi.

Kenapa? Kenapa? Kenapa?

"Kenapa kalian melakukan semua ini? Kenapa kalian menjadikanku sebagai boneka dalam permainan menyedihkan kalian?" tanyaku menerawang dalam kegelapan malam saat seorang bocah laki-laki sedang membelengguku diatas kursiku dengan sebuah rantai besi.

"Kenapa?" ucap seorang kakek-kakek tua penuh uban yang buta sebelah, tengah berdiri dengan ditopang oleh sebuah tongkat kayu di kedua tangannya, mengenakan sebuah setelan jas dengan dasi kupu-kupu berwarna merah, warna yang sama dengan satu-satunya cahaya dalam kegelapan ini.

"Karena kau telah terpilih, anakku."

"Cih! Jangan bercanda, aku bukan anakmu atau bonekamu."

"Kau hanya seorang kakek-kakek cacat yang bosan dengan kehidupan, sehingga kau menciptakan sebuah permainan yang menyedihkan. Agar kau bisa melupakan kehidupan masa lalumu yang dipenuhi dengan kebencian. Dan sekarang kau memaksa orang lain untuk menjadi boneka dan mainanmu yang bisa kau permainkan sedemikian rupa hingga harus menderita dalam aturan-aturan yang sudah kau tentukan dari awal."

"Kau memainkan peran bagaikan seorang pahlawan dan memberi harapan. Tapi, kenyataannya kau tidak lebih dari sekedar super villain yang menyebarkan kebencian ke seluruh penjuru dunia."

"Kau hanya seorang yang gagal, pak tua."

"Kurasa sudah cukup. Terimakasih untuk kata-kata terakhirnya. Saatnya mengakhiri ini semua," ucap kakek-kakek tua itu dengan tenang tanpa menunjukan emosi sedikitpun pada wajah keriputnya.

"Semuanya, siapkan diri kalian. Kita akan memberikan penghormatan terakhir kepada sang Pangeran," sambungnya menatapku dengan sebelah mata.

Setelah sang kakek memberikan titahnya, semua orang, atau iblis, dalam ruangan gelap itu mengeluarkan sebilah pisau mereka masing-masing, yang sudah dipersiapkan secara khusus untuk acara terakhir ini.

"Kau sudah melakukan yang terbaik, anakku. Sekarang, terimalah penghormatan terakhir kami untukmu."

"Crot! Crot! Crot! Crot! Crot! Crot!"

Puluhan mata pisau itu menghujani tubuh kurusku berulang kali hingga aku merasa lebih baik mati, meskipun aku sudah lama mati, daripada harus menerima apa yang mereka sebut sebagai "penghormatan terakhir" ini untukku, boneka kesayangan mereka, yang akan selalu hidup dan mengikuti aturan-aturan main mereka.

Disaat kesadaranku mulai memudar secara perlahan, aku merasakan perasaan yang sama saat aku pertama kali bertemu dengannya pagi itu, sangat tenang dan damai, semua suara lenyap seketika dan hanya ada satu suara lembut dan penuh kehangatan yang memanggilku pagi itu, tepat pukul tujuh.

"Hai."

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
"Crooot!"🀣
@semangat123 : Kenapa ya, kak? πŸ€”πŸ˜‚
"Crot! Crot! Crot! Crot! Crot! Crot!", entah kenapa bagian ini membuat saya tertawa geliπŸ€”πŸ˜‚
Rekomendasi