Disukai
14
Dilihat
1237
MELAWAN SUNYI
Drama

Ruang tunggu operasi, pukul sepuluh pagi. Senyap sendiri. Meski seringkali para dokter dan perawat berlalu-lalang, namun tak seorangpun menyapaku. Lebih-lebih melontarkan beberapa pertanyaan seperti dari jam berapa aku berada di sini, apakah aku bosan atau tidak menunggu seperti ini, atau pertanyaan-pertanyaan lain yang bisa menghilangkan ketegangan yang aku rasakan.

Tegang, was-was, takut dan sejenisnya kerap melanda, walaupun untuk keempat kalinya aku harus masuk ruang operasi seperti ini. Apalagi aku harus menunggu selama ini, pastinya rasa cemas itu kian berkepanjangan. Berbeda dengan operasi sebelumnya yang tidak butuh waktu lama di ruang antrian pasien. Saat itu proses operasi segera dilakukan, selepas senyum mas Mul, suamiku yang mengantar hingga depan pintu.

Satu-satunya penyemangat yang meneguhkan rasa untuk melewati masa-masa operasi adalah Mulyadi, nama lengkap seorang laki-laki yang telah menemani hidupku hampir sepuluh tahun ini. Orang bilang tampangnya cenderung kasar tapi tatapan matanya meneduhkan hatiku. Meski tangannya kasar karena setiap hari bergumul dengan pasir dan semen tapi sentuhannya selalu meluluhkan emosiku yang kadang meledak-ledak.

Mulutnya tidak banyak berkata. Saat aku marah, terguncang hingga menangis sejadi-jadinya, ia tak berkomentar apa-apa. Hanya menatapku datar lalu menggenggam tanganku erat-erat.

Di hari ini kusimpan harapan besar setelah sekian tahun menguburnya dalam-dalam. Setelah banyak tangis yang pada akhirnya mampu kami lewati bersama, kini saatnyalah kami tersenyum bersama.

"Barangkali kamu hamil lagi, Dek." kata mas Mul suatu hari yang lalu.

Aku cuma mengangguk mengiyakan dugaannya.

"Kok biasa aja. Adek nggak seneng?"

Entah. Aku tidak dapat mengungkapkan perasaan yang sesungguhnya. "Apakah masih ada harapan, Mas? Apakah kali ini aku akan dipercaya Tuhan untuk jadi ibu yang sebenarnya?"

"Hus, kok ngomongnya begitu. Ya sudahlah, terserah kamu aja, Dek."

Itulah suamiku, sulit sekali mengumbar kata-kata mesra yang menghibur hati. Namun sebelum tubuhnya menghilang, satu kecupan mendarat di keningku. Tangannya mengelus perutku yang masih rata.

Untuk sebuah berita kehamilan harusnya ada kebahagiaan bagiku juga mas Mul. Walau mengurai banyak air mata mestinya adalah tangis suka cita.

Untuk sementara berita ini hanya kami berdua yang mengetahuinya. Keluarga besar mas Mul apalagi tetangga rumah tak perlu tahu dulu. Meskipun aku yakin semua orang akan mendoakan yang terbaik buat keluarga kami, tapi tetap saja aku merasa risih jika diguncingkan sana-sini lantaran ketidakberuntungan yang menimpaku setiap hamil.

Anak pertamaku lahir dengan selamat melalui jalan operasi cesar. Dengan biaya yang cukup besar bagi mas Mul yang hanya kuli bangunan tidaklah mengapa. Banyak barang di rumah yang kemudian tiba-tiba raib, itu tidak jadi masalah, yang penting sekarang kami punya buah hati nan cantik, mungil dan menggemaskan. Untuk pertama kalinya kudengar tawa segar suamiku yang begitu gembira menimang sang malaikat kecil.

Tetapi tawa itu tidak berlangsung lama. Si kecil yang baru saja diakikah dan diresmikan namanya itu kemudian meninggalkan kami untuk selamanya. Ia menghembuskan napas terakhirnya setelah mengalami demam tinggi selama 24 jam.

Sholahuddin Al-Karim, nama anak laki-laki yang kulahirkan pada tahun ketiga pernikahan kami. Alasan jarak kehamilan dengan anak pertama terlalu dekat, maka akupun menjalani operasi cesar kembali. Berkat program pemerintah kala itu, kami tidak membayar biaya yang terlalu besar.

Kami bersyukur karena kondisi Sholahuddin jauh lebih sehat dari kakaknya. Hingga usianya dua tahun hampir tidak pernah sakit. Pemberian ASI full, makanpun lumayan lahap.

Namun tragedi kembali terjadi. Si kecil yang kala itu telah mengenal jajanan luar mendadak harus dilarikan ke rumah sakit karena keracunan makanan. Hanya satu hari di ruang perawatan, nyawanya tidak tertolong.

Naasnya aku. Sebagai ibu tak becus urus anak. Umpatan paling menyakitkan dari salah seorang kerabat jauh mas Mul. Untuk menjadi perempuan terhormat di mata keluarga mas Mul hampir tak ada lagi kesempatan. Tidak ada wanita sesial aku di keluarga mas Mul, katanya.

Ujian tidak berhenti pada anak ketiga kami. Bahkan sebelum ia mampu menghirup udara segar dunia dan memiliki nama yang indah. Entah sebab faktor apa, ia lahir dalam kondisi tidak menangis dan nampaknya memang sudah tidak bernapas.

Aku putus asa. Aku tidak peduli dengan apa saja yang orang bilang karena mungkin inilah kebenarannya. Aku tidak becus jadi seorang ibu. Atau bahkan ini vonis Tuhan untukku bahwa aku wanita yang tidak pantas jadi ibu.

Sementara itu, mas Mul tak menunjukkan reaksi berbeda di semua rangkaian kejadian menyedihkan yang menimpaku. Wajahnya selalu datar, tangispun tiada. Biasa saja. Ujarpun biasa saja, tanpa basa-basi yang kurang penting.

Namun pada suatu malam, beberapa hari setelah kabar kehamilanku yang keempat itu, untuk pertama kalinya kudengar mas Mul menangis penuh pilu. Entah seperti apa perasaan yang menyertai isak tangisnya itu. Wajahnya tersungkur begitu dalam di atas sajadah panjang yang dibentangkan dekat tempat tidur kami.

Mungkin berkat tangisannya yang ratusan kali sampai ribuan kali, yang dilakukannya setiap malam, yang walaupun tidak kudengar seluruhnya itu, aku memiliki semangat baru dan berhasil melewati hari-hari hingga ke posisi ini.

Sesi menunggu di ruang operasi telah usai. Seorang dokter berperawakan cantik mengulum senyum. Seorang dokter anasthesi bertubuh tegap menyiapkan perlengkapan operasi. Mereka berceloteh sekenanya saat melihatku masuk dengan seorang perawat yang mendorong ranjangku.

"Jangan tegang ya, bu." suaranya halus di telinga. Dokter cantik yang pada setiap bulannya kukunjungi di tempat prakteknya sebelum ini memberiku semangat.

"Dibius dulu ya, bu." kalau yang satu ini suara dokter anasthesi. Menurut rekomendasi dokter, aku harus disteril untuk mencegah kehamilan selanjutnya. " Ini operasi cesar yang terakhir ya bu." lanjutnya kemudian.

Sebuah jarum menusuk punggungku dan serta merta ada sesuatu yang menjalari seluruh persendian tubuhku. Memang hanya bius lokal, namun kurasakan seluruh tubuhku kini melemas dan didera kesemutan. Inilah saat yang paling menakutkan, seperti hendak dicabut nyawa,

Antara sadar dan tidak aku selalu mengucap doa dalam hati agar aku diselamatkan demi melihat anak dan suamiku.

Tapi untuk kali ini, aku hanya minta satu hal pada Tuhan. Semoga Dia menyelamatkan anakku. Hidupkan ia lebih lama di dunia. Hidupkan ia untuk seseorang yang merelakan lengan dan kakinya berlumur peluh dan darah, menjadi penopang hidupku, demi seseorang yang telah melindungiku dengan doa-doa sepanjang malam. Jadikan aku ibu sempurna meski untuk pertama dan terakhir kalinya. Jika hari ini adalah ajalku, matikan aku dalam keadaan husnul khotimah.

Kutenggelamkan diri dalam doa berulang-ulang dengan mata terpejam dan telinga yang menuli tiba-tiba.

Orang pertama yang kulihat setelah kupejamkan mata adalah suamiku. Bibirnya bergumam, melantunkan ayat suci dari sebuah mushaf saku yang digenggamnya. Beberapa jam lalu ternyata aku tak sadarkan diri, sekarang aku sudah berada di ruang perawatan.

Di sebelah ranjangku terdapat box bayi yang masih kosong. Kupandangi bergantian antara box itu dan wajah suamiku. Dalam hati kupanjatkan doa yang sama seperti saat di ruang operasi tadi.

"Alhamdulillah. Dia lahir selamat. Wajahnya cantik seperti ayahnya."

Masya Allah, aku terkejut dengan kelakarnya. Sekali lagi dengan ekspresi yang tidak lucu sama sekali.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Wah crtanya ada fee nya...
Rekomendasi