Disukai
20
Dilihat
1,314
PURNAMA TAK BERCAHAYA
Drama

Perjalanan yang melelahkan. Laju kendaraan yang kutumpangi mengendur perlahan. Susunan halte beratap biru tua itu telah dipenuhi orang-orang yang akan menggantikan posisiku di salah satu jok mobil, sementara aku turun.

Seorang bertubuh renta mengenaliku. Tangannya menggapai ke udara di antara kerumunan orang di halte. Kemasan rindu di matanya menampak nyata. Mulutnya bergerak riang walau tak jelas kudengar bunyi apa yang disuarakannya.

“Pur.” Ibu memelukku. “Istrimu?” Aku menggeleng.

“Bapak?” Aku balik bertanya tentang bapak. Seperti aku, ibu menjawabnya dengan gelengan kepala.

“Tak usah banyak bertanya. Jalan ke rumah masih panjang.”

“Kenapa Ibu harus jemput saya di sini?”

“Apa kau masih hapal jalan ke rumah? Kalau nyasar ke tempat lain bagaimana?” Kata-kata ibu membuat wajahku bersemu merah sepertinya.

Ibu masih seperti yang dulu. Rasa sayangnya padaku membuatnya terlihat sangat kuat, berbeda dari orang tua pada umumnya. Usia 78 tahun, ibu masih mampu menempuh perjalanan jauh dengan kondisi raga segar bugar. Tubuhnya tampak kurus. Kulit yang membalut wajah dan lengannya sudah keriput tapi tulang-tulangnya masih kekar menopang tubuhnya.

Beberapa kilometer lagi aku harus menempuh perjalanan untuk sampai ke rumah bapak dan ibuku—persisnya tempat aku dilahirkan dulu—dengan sebuah angkot kemudian jasa tukang ojek.

Senja mengambang di ufuk Barat saat aku menginjakkan ruang tamu rumah ibu. Tanpa basa-basi kuhempaskan tubuhku di atas sofa yang tidak terlalu mewah tapi juga tak selusuh bantalan kursi tamu waktu aku kecil dulu.

Rumah ibu tidak lagi berpagar bambu, berlantai debu dan beratap daun kelapa di sebagiannya. Semua berubah karena tuntutan jaman. Tentu saja berkat kegigihan bapak dan ibu yang menjadikan tempat tinggalnya lebih terlihat modern.

Rumah bapak dan ibu memang sudah semodern rumah-rumah di kota. Akan tetapi kata modern hanya dimiliki oleh orang kota. Tidak dengan bapak dan ibu. Mereka enggan menyebut itu—tepatnya saya katakan mereka agak benci dengan modernisasi. Tak ada untungnya jadi orang modern bapak bilang. Modernisasi hanya akan menghancurkan peradaban bernilai luhur warisan nenek moyang.

Memang benar. modern atau tidak, rumah ini masih menyimpan peradaban lama. Benda-benda bersejarah semasa aku kecil masih dirawat bapak dan ibu dengan baik. Sayangnya, benda-benda itu dibiarkan diam tanpa ekspresi karena kami, anak-anak bapak dan ibu (aku, Maena, Nirma dan Alung) sudah tak lagi kecil dan berumur dua belas tahun. Lebih jelasnya, ketika usia kami rata-rata lima belas tahun, hati dan pikiran kami sudah tak sekuno bapak dan ibu. Sungguh malas menggunakan benda-benda itu dan melestarikan budaya yang sudah tidak pas untuk jaman kami. Bila kami saja tak mau jadi pewaris keahlian yang bapak dan ibu miliki apalagi anak dan para cucu kami. Benda-benda itu terpaksa dimuseumkan.

Teh hangat tanpa ampas disodorkan seorang kepadaku. Sesaat setelah tubuh ibu lenyap di balik pintu menuju dapur.

“Pur, diminum.” Barulah aku mendongak. Suara itu asing di telingaku.

Perempuan itu tersenyum. Bukan Maena ataupun Nirma, kedua adik kandungku yang perempuan. Pembantu rumah ini? Gumam hatiku. O ow, bapak dan ibu sudah jadi orang modern.

“Pur tak ingat aku?” Perempuan itu menunjuk dadanya sendiri. “Akupun sebenarnya tak ingat kau sama sekali kalau ibu tak bilang lebih dulu. Tamu sore ini ternyata kau.” Dia kembali memamerkan sebaris giginya yang putih ketika dilihatnya aku mengerutkan dahi.

“Kita pernah berteman waktu kecil dulu?”

“Tentu saja. Lebih dari itu.”

“Kita pacaran maksudmu?”

Kulihat wajahnya merona. “Maksudku, dulu kita tidak hanya sering main bersama tapi pernah juga belajar menari di sanggar Bapak.”

“Sarinah.” Kutebak kemudian. Perempuan itu sontak berubah sumringah.

Tentu saja aku segera mengingat nama itu dengan sekali tebak tanpa menyebut nama perempuan lain yang pernah jadi teman masa kecilku. Aku pernah merenda sesuatu yang istimewa dengannya ketimbang dengan yang lain.

Sebelum bertemu Laura, aku pernah mencintainya sebagai gadis remaja yang manis. Aku selalu mengingatnya walau kami telah berpisah dulu. Aku pergi ke kota untuk ambil beasiswa, melanjutkan sekolah hingga lulus sarjana. Sementara ia hanya disekolahkan orangtuanya sampai SMP.

Perlahan namun pasti tiba-tiba aku ingin melupakan dan membuang semua benda kenangan yang pernah dia hadiahkan padaku. Terlalu lama kami tak saling bertemu dan saling mengenali diri masing-masing, Laura kujumpai pada suatu ketika. Kami bersua usai menonton konser grup musik ibukota. Kondisinya mengkhawatirkan. Ia berjalan sempoyongan. Kubawa ke tempatku dan semua terjadi tanpa kompromi berkepanjangan.

Sebelum lulus kuliah aku menikahinya walau tanpa restu bapak dan ibu.

Setelah saling mengingat, aku dan Sarinah tak saling banyak bicara. Selain karena ibu menyuruhku segera menjemput kesegaran air pancuran di belakang rumah yang tentu saja dengan desain modern. Setelah itu, aku berganti pakaian dan kami—ibu, Sarinah dan aku—duduk melingkar menghadapi suguhan khas yang tak kujumpai di kota.

“Pelas udang, pecak lele dengan sambal yang banyak tomatnya ini adalah kesukaanmu dulu. Ibu tidak tahu apa lidah kamu masih bersahabat dengan makanan seperti ini.” Ibu mengawali makan di sore ini dengan mencuil pelas udang yang masih terbungkus daun menggunakan ujung telunjuknya. Mulutnya berkecap beberapa kali setelah mencicipi lauk itu pertanda bahwa rasanya memang enak.

Entah sekedar ingin membuktikan bahwa lidahku masih bersahabat dengan makanan buatan ibu atau karena rasa lapar yang mendera sepanjang perjalanan tadi, aku melahap seluruh makanan yang dihidangkan dengan bernapsu. Ini membuat ibu senang kukira.

Namun ada yang aneh. Kenapa bapak tak ikut serta. Apakah dia nggan bertemu denganku?

“Bapak?” Aku tak kuasa menahan rasa penasaranku walau secuil ikan lele yang mampir di mulutku belum usai kukunyah.

“Hus.” Ibu menghardik. “Makanmu belum selesai, dilarang bicara. Itu kebiasaan orang modern yang melanggar etika.”

Ah ibu, aturannya macam-macam saja.

Tapi benar aku memang tak habis pikir, kenapa bapak tak mau menemui aku. Padahal harapan satu-satunya kepulanganku adalah bertemu bapak. Aku ingin bicara soal Laura kepada bapak. Biarpun bapak tidak suka dia, tapi dia tetap menantu bapak. Dalam kondisi hamil tua Laura butuh perawatan ekstra. Aku tak lagi bekerja, di-PHK karena perusahaan hampir bangkrut. Aku tak punya perlindungan selain bapak.

Setelah makan bersama, ibu tak juga bicara soal bapak. Kutahan rasa penasaranku, akhirnya. Yang kutanya kemudian adalah Sari.

“Kenapa Sarinah tidak tinggal dengan suaminya?”

“Baru bercerai setahun yang lalu.”

“Kenapa tinggal di sini? Orangtuanya sudah tak ada?”

“Bapak yang minta. Bapak sudah menganggap Sari seperti anak sendiri. Ingat dulu, Pur. Bapak begitu menginginkan dia jadi istrimu. Kamu malah kepincut perempuan yang tidak jelas asal-usulnya.”

Siapa bilang Laura tak jelas asal-usulnya. Hanya karena bapak dan ibu enggan mengenal Laura maka menganggap keputusanku menikahi Laura selamanya salah.

“Berterus terang saja pada ibu, apa kepentingan kamu datang ke rumah ibu tanpa istrimu?”

“Saya ingin bertemu Bapak.”

“Cuma itu?”

“Ibu aneh. Apa saya tak boleh bertemu Bapak?”

“Kamu yang aneh, Pur. Setelah menikah dengan perempuan itu kamu lupa dengan rumah ini. Cucu ibu sudah segede apa sekarang?”

“Ibu tak pernah tahu?”

“Kapan kau beritahu kami.”

“Anak saya yang pertama tak sampai lahir, Bu. Dia meninggal sejak dalam kandungan. Sekarang Laura tengah hamil anak kedua kami.”

Ibu diam saja, dingin. Tapi aku yakin isi hati ibu tak seburuk ekspresinya. Ibu beranjak meninggalkanku tanpa sempat memberitahu sesuatu tentang bapak. Adzan magrib berkumandang di kejauhan.

# # #

Selepas subuh ibu menyuruhku menemani Sarinah pergi. Berbekal alat-alat kebun, kumengerti bahwa aku dan Sarinah akan menengok sawah dan ladang milik ibu yang tidak begitu luas. Pekerjaan yang tidak menyenangkan. Namun Sarinah membuatku menyukainya. Kami bercanda sesekali. Stresku hilang.

Hari bergeser ke suasana sore. Kurasakan suhu badanku meninggi. Kepalaku pusing dengan mata sedikit berkunang-kunang. Aku mengajak Sarinah pulang.

Di rumah tak kujumpai ibu. Entah ada di mana. Badanku terhuyung, lalu terjerembab dengan terpaksa di atas sofa ruang tamu. Sarinah menjerit, memanggil nama panjangku. Merengkuh tubuhku. Membantuku agar berbaring dengan posisi yang benar. Menyentuh dahiku, menggenggam telapak tanganku sejenak lalu berlari keluar rumah entah apa yang dicari. Dia kembali dengan mangkuk berisi batu es dan lap basah.

Beberapa menit kami tak saling bicara. Hanya tangan Sarinah yang bergerak kesana kemari. Membenamkan lap basah ke dalam mangkuk, memilin lalu menempelkannya di dahiku.

“Sudah.” Kusambar pergelangan tangan Sarinah. “Terima kasih.”

“Kau sakit, Pur.”

“Tak apa. Sudah sembuh. Belum terbiasa saja, barangkali.”

“Ibu tega sekali. Seharusnya kau tidak perlu memaksakan diri. Demi istrimu?” Aku mengangguk pasti tak peduli dengan tatapannya yang mendadak aneh. “Kau yakin saat ini istrimu ada di rumah?” Binar lain memenuhi manik matanya.

Batinku tergunjang seketika, memandang takjub wajah berpeluh Sarinah. Aroma tak biasa tiba-tiba menggelitik hidungku merambah hingga ke dalam sanubari. Sarinah bukan gadis lugu yang pernah jadi teman istimewaku di masa kanak-kanak dulu.

Pintu terbuka tiba-tiba tanpa suara langkah kaki mendahuluinya. Ibu memandangku aneh karena wajah aku dan Sarinah telah begitu dekat. Sosok bapak bersembunyi di balik punggung ibu.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Rekomendasi