Disukai
14
Dilihat
1477
SARANG MALAIKAT
Drama

Sarapan pagi baru dimulai. Wajah-wajah tak berselera. Bang Yos membiarkan sendok dan garpunya bertumpuk saling diam. Begitu pula mbak Alida. Beberapa kali terlihat menelan ludah. Kedua tangannya meremas lambung, menahan mual teramat. Sudah tentu sepiring nasi goreng beraroma sedap tak disentuhnya sama sekali.

"Kalau tidak suka masakan kampung, tak usah tinggal di sini." Ibu menghardik. "Kalian tidak menghargai jerih payah orang lain."

Bang Yos dan mbak Alida serempak menatapku. Kilatan penuh prasangka. Prasangka yang cukup beralasan, kukira. Mereka cemburu.

Sudah diduga, mereka akan kembali mencercaku diam-diam karena sikap ibu yang menurut mereka terlalu menganakemaskan aku dan menganaktirikan mereka. Sejak kedatangan mereka tiga hari yang lalu, ibu sama sekali tak memperlihatkan sikap bersahabat. Sering menghardik tidak jelas seakan Bang Yos dan mbak Alida bukan anak kandungnya. Sebaliknya, ibu selalu membanggakan aku di depan keduanya.

Semasa Bang Hilman, anak bungsu ibu masih hidup, aku adalah istri yang baik. Pun kepada Bapak dan Ibu, aku satu-satunya menantu yang tahu diri, santun, sayang mertua, dan sebagainya. Begitu yang ibu tuturkan.

Sungguh tepat bila hati bang Yos dan mbak Alida tergores luka. Bukan hanya karena lontaran puji dan sanjung ibu untukku tetapi lebih dari itu. Seluruh fasilitas rumah ini hanya aku yang ibu ijinkan memilikinya. Dua pertiga harta kekayaan peninggalan bapak dilimpahkannya padaku. Sedangkan sepertiganya, tentu untuk mbak Alida dan bang Yos yang dibagi dua.

"Kalian tidak perlu bertanya kenapa pembagiannya jadi seperti itu." Demikian kata ibu beberapa waktu silam.

"Saya ini anak sulung Bapak." Protes bang Yos. Ibu tak menggubris.

"Alida kan anak perempuan satu-satunya. Kenapa Ibu begitu tega." Mbak Alida hampir menitikkan air mata. Namun ibu tetap bersikeras dengan keputusannya.

"Sari sebatang kara. Tak berayah dan ibu. Hilmanpun tiada. Kalian jangan egois."

"Tapi dasar hukumnya tidak seperti itu, Bu." Bang Yos memandangku penuh kebencian.

"Ibu tidak peduli. Berbesar hatilah sedikit Yos, Alida. Ibu tidak bermaksud pilih kasih."

"Kalau bukan itu, lantas apa namanya?" Isak mbak Alida tidak kian mereda.

"Kalian sudah jadi orang sukses di kota. Harta peninggalan Bapakmu mungkin cuma setengahnya saja. Kalau kalian bersikeras minta jatah yang lebih, Ibu sama adik iparmu mau hidup dengan apa?" Giliran ibu berkaca-kaca. Satu tetes yang hampir luruh menimpa lantai disekanya dengan segera.

"Baiklah. Kali ini kami menyerah. Kami terima keputusan Ibu ."

Ibu mendengus lega. Apalagi aku yang sejak tadi tegang membisu. Kerongkonganku terasa lebih nyaman karena perdebatan akhirnya diselesaikan.

Rasa nyaman itu berlanjut selama bertahun-tahun. Aku hidup bahagia. Mbak Alida dan bang Yos tak lagi datang untuk menuntut haknya. Sejumlah uang untuk ibu hanya dikirimnya tiga bulan sekali melalui wesel.

Namun ternyata tidak dengan tiga hari ini. Sejak mereka kembali menyatroni rumah ibu, ketidaknyamanan itu selalu menggelayuti pikiranku. Aku berpikir keras setiap saat bagaimana caranya agar penatku sirna.

Seperti pagi ini. Tatkala kami sama-sama menciptakan kebisuan itu, aku sendiri tengah merasai kenikmatan penat yang kian memuncak. Bila sedikit saja kupaksakan menggerakan kaki menuju tempat lain, mungkin ragaku akan limbung. Untuk itu aku putuskan untuk tetap diam sambil menanti reaksi yang aku harapkan.

Kegelisahan yang kualami saat ini berasal dari guncingan bang Yos dan mbak Alida selepas isya di beranda rumah ibu, sehari yang lalu. Awalnya telingaku acuh saja menangkap suara-suara mereka yang tak kentara perkalimatnya. Namun ketika di beberapa kata yang diucapkannya adalah tentang aku, suamiku dan bapak mertuaku, aku menguping obrolan mereka diam-diam.

“Anak babu itu sudah seperti juragan di rumah kita. Bapak dan Hilman tidak ada. Dia pikir akan bebas begitu saja. Selama ini ibu tak pernah hirau siapa dia sebenarnya.” Kudengar dengusan napas mbak Alida menahan emosi. “Kita harus lakukan penyelidikan ulang. Kenapa Bapak dan Hilman bisa meninggal pada waktu yang hampir bersamaan.”

Yang Mbak Alida sebut anak babu tentulah aku. Mereka memang begitu. Bertahun-tahun jadi menantu keluarga ini aku tetap dianggap pembantu yang harus patuh seperti halnya ibuku dulu yang bekerja setiap pagi dan sore, mengerjakan pekerjaan rumah di rumah mereka.

Dulu mbak Alida juga yang paling bersikap tidak manusiawi padaku ketika tanpa sengaja ditemukannya sepucuk surat cinta milik adik bungsunya di bawah bantal tempat tidurku. Dituduhnya aku sebagai anak babu yang tidak tahu diri.

Ibu (mertua) datang membelaku. “Anak muda kalau jatuh cinta ya begitu, Alida. Barangkali Hilman memang menyukai Sari.”

Beda lagi dengan reaksi bang Yos. ”Apa yang sudah Hilman lakukan padamu?” sambil mencengkeram lenganku.

Bang Yos cemburu, itu pasti. Sudah lama kutahu kedua anak majikanku itu bersaing untuk mendapatkan aku. Aku tidak cuma cantik tapi menarik. Itulah komentar ibuku setiap kali melihatku berhias di depan cermin di ruang tidur kami.

“Siapapun kau, Hilman tetap menganggapmu pembantu.” Aku tak menggubris. Aku berlalu tanpa jawaban yang bang Yos inginkan.

Di tengah-tengah gejolak emosi mbak Alida dan bang Yos terutama, juga ibuku yang melarang tindakan konyolku mencintai anak bungsu majikan, tiba-tiba Hilman melamarku. Tanpa pikir panjang aku menerimanya. Satu-satunya orang yang mendukung aku dan Hilman tak lain hanya majikan perempuanku yang kemudian jadi ibu mertuaku. Sementara bapak tak berkata sepatahpun. Bicara tak setuju tidak, berkata iya pun tidak pernah.

Beberapa bulan menikah, aku seperti cinderella. Tapi benar kata bang Yos. Semua kebahagiaanku menjadi istri pangeran tak bertahan lama. Hilman mengabaikanku berbulan-bulan. Sudah hampir satu tahun menikah aku tak juga memberinya seorang anak, itulah masalah utama yang sering ia lontarkan sebagai alasan saat kutanya tentang perlakuannya yang menyakitkan perasaanku itu.

Ibuku tak lagi jadi pembantu. Sebuah gubug layak huni berjarak tiga puluh kilometer dari rumah majikan dihadiahkan bapak mertuaku untuknya, sehingga kami jarang bertemu. Beberapa waktu kemudian aku diberi kabar kalau ibu meninggal. Hidupku sudah tak punya tumpuan. Ibu mertuaku yang lalu jadi malaikat pelindungku.

Hilman kutemui suatu hari dengan seorang wanita, akhirnya. Hilman memintaku tidak berkomentar bila kemudian dia akan menikah lagi. Seandainya aku menentang, aku harus rela diceraikannya.

Saat bingung mendera aku memang tak sanggup berucap tentang hatiku pada siapapun. Malaikat pelindungku waktu itu sedang tak berada di rumah. Satu minggu yang lalu mbak Alida meminta ibu tinggal di rumahnya di kota sampai mbak Alida melahirkan. Bapak mertuaku yang dahulu tak banyak bicara tiba-tiba muncul sebagai pengganti ibu. Tuhan Maha Adil. Setiap ada yang menyakitiku, Dia selalu siapkan penolongnya untukku.

Bapak mengerti kesedihanku. Ia mengajariku melupakan hal-hal yang tak penting untuk diratapi. Bapak mengajakku mengerjakan banyak pekerjaan bersama karyawannya di pabrik. Melelahkan, tapi obat yang diberikan bapak benar-benar mujarab.

Suatu sore tiba-tiba bapak mengabari sesuatu. “Mbakmu sudah melahirkan. Kamu ikutlah dengan Bapak menjenguk Alida sore ini.”

“Sore ini? Apa tidak sebaiknya kita berangkat pagi, Pak? Sekarang sudah sangat sore, bisa-bisa kita baru sampai tengah malam.”

“Tidak masalah.”

“Bang Hilman?”

“Tak usah diajak, ada urusan di pabrik yang harus diselesaikan hari ini juga.”

Tak ada diskusi selanjutnya, aku dan bapak akhirnya pergi tanpa Hilman.

Kami telah lama di perjalanan, bapak duduk di belakang kemudi dengan santainya. Namun ternyata ia mengingkari kata-katanya. Perjalanan berbalik arah, padahal malam sudah mulai menjelang. Mobil malah melaju menuju pabrik.

Pabrik lengang. Tiba-tiba bapak memaksaku keluar dari mobil, menyeretku hingga menjauh dari pantulan cahaya bolham-bolham di pabrik. Aku tak sanggup berteriak karena mulutku dikuncinya. Namun jerit hatiku sampai ke arasy-arasy dan permintaan tolongku pada Tuhan didengarkan. Sebelum puncak nafsu bapak diderakannya padaku, bapak ambruk setelah beberapa kali menggelapar. Penyakit jantung bapak kumat. Bapak masuk rumah sakit.

"Teng, teng!"

Aku menoleh dengan segera ke arah sumber suara. Lamunanku terusik. Sendok dan garpu bang Yos goyah dari diamnya. Aku tersenyum lega. Ketegangan seperti mereda dengan sendirinya.

Satu suapan kecil hinggap juga ke mulut bang Yos. Satu suapan kecil usai dikunyah, mendadak bang Yos seperti kehilangan kendali. Dia makan dengan lahapnya.

"Masakan mantuku tidak pernah yang tidak enak." Ibu tersenyum bahagia. Dadaku membusung.

Melihat kelahapan bang Yos, kesombongan mbak Alida luruh. Tangan yang sejak tadi bersarang di lambungnya, secepat kilat dihantarkannya ke tempat sendok dan garpu bertahta.

"Saya harap ini bukan sogokan untuk kami. Biarpun kami dijamu dengan berbagai makanan enak, bukan berarti masalahmu selesai. Kau harus bertanggung jawab." Kata-kata bang Yos membuatku kembali menoleh ke arahnya. Tak kusangka pandangan kami bertumpu. Batinku bergidik sejenak. Aku seperti sedang menatap mata Hilman.

"Kalian ini tidak pernah tulus menghargai jerih payah orang lain," ucap ibu sambil mengunyah.

"Ini bukan soal ketulusan, Bu. Tapi soal tanggung jawab."

Ibu terkekeh. "Macam-macam saja istilahmu, Yos."

"Ibu jangan selalu mengejek saya dan Alida." Bang Yos tiba-tiba berdiri. Kusaksikan kilatan durga di matanya benar-benar nyata. Bang Yos tak kuasa menahan marah. Untunglah, kami sama-sama telah mengakhiri makan pagi. Aku berdiri memamerkan senyum kepuasan.

"Saya memang melakukannya, tapi tidak berarti saya harus bertanggung jawab." Semua terperangah tidak terkecuali ibu.

Mata bang Yos terbeliak. Menunjuk dengan pasti benda spesial serupa bumbu dapur yang dihaluskan. Terbungkus tabung kecil, terselip dalam genggamanku. Kembali aku tersenyum. Senyum kemenangan. Bang Yos mendekat dengan emosi meledak-ledak tapi lalu dia melemas, tak kuasa tegak berdiri.

"Saya memang yang membunuh Hilman karena dia menghianati saya...Saya yang memutuskan selang oksigen Bapak di rumah sakit karena dulu dia hampir merenggut kehormatan saya...Saya tidak ingin membunuh lagi. Tapi kalian terlalu sering mengusik ketenangan saya...Ibu...Saya sayang ibu. Saya tidak tega menyuruh ibu turut bersama mereka, tapi saya lebih tidak tega melihat hidup ibu tersiksa karena tahu saya adalah pembunuh keluarga ini..."

Kuusaikan ceritaku. Dilanjutkanpun sia-sia. Mata-mata itu sudah terpejam meyakinkan. Tubuh-tubuh beku. Membiru.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi