Disukai
15
Dilihat
1227
ISTRI PAPAKU
Drama

Kuberanikan diri menyentuh pundak dan merangkul punggungnya. Tak kusangka dia membalasnya. Tangisnya menggema di telingaku, kemudian.

“Aku telepon Papa?” tawarku padanya.

“Nggak usah. Nanti kalau Papa pulang saja, kita kasih tahu.

Selama itu? Bulan depan Papa baru akan pulang. Untuk urusan bisnis ke luar negeri, papa memang sering meninggalkan kami. Aku dan mama, dulu.

“Biaya perawatannya?”

Dia tak menjawab, hanya menyodorkan kartu ATM yang dikeluarkan dari dompetnya. Disebutkannya enam digit nomor rahasia. Tapi aku tak segera menyambutnya.

“Ini uang halal,” katanya tanpa kuduga.

Jujur, aku memang sempat berperasangka kalau uang yang akan kuambil nanti adalah tabungannya dari hasil kerja yang tidak halal.

Ah, kuharap dia mengerti dengan keragu-raguanku. Baru beberapa bulan aku dan wanita ini hidup bersama. Tentu belum cukup waktu untuk mengenal pribadinya lebih jauh. Sudah benar-benar kembali ke jalan yang benar atau masih menyimpan kebiasaan lama secara diam-diam.

Aku pun masih menyimpan keragu-raguan tentang kenyataan yang sebenarnya terjadi. Kesepakatan macam apa yang membuat papa begitu yakin untuk menikahi wanita itu di usia yang hampir satu tahun meninggalnya mama.

“Dia seorang janda beranak satu.” Papa mengenalkan identitas wanita yang hendak dinikahinya waktu itu. “Setiap malam dia harus datang ke bar.”

“Maksud Papa, dia itu…?”

“Cuma pelayan yang mengantar minuman pada pelanggan.”

“Papa…yakin?” Suaraku parau hampir menangis. Posisi mama digantikan oleh orang yang bertolak belakang sifatnya?

“Papa tahu kamu tidak akan terima dia untuk saat ini. Kalau kalian sudah saling kenal, kamu pasti mengerti.”

“Kenapa Papa tak mau dengar pendapat Nayla dulu?”

“Sayang, percayalah. Semuanya akan baik-baik saja. Tante Inggrid tidak sejelek yang kamu kira.”

Aku menangis.

“Sayang, tolong Papa ya. Izinkan Papa menolong tante Inggrid agar tidak terperosok lebih jauh ke jalan yang tidak diridhai Allah.”

“Berarti Papa sebenarnya tahu kalau dia bukan cuma pelayan yang mengantar minuman, tapi…”

“Nayla percaya sama Papa kan?”

Aku memeluk Papa. Semoga niat papa memang tulus untuk menolong sesama.

“Dia cantik?”

“Papa akan berusaha membuatnya secantik mamamu. Cantik lahir batin”

Aku tersenyum samar, mencoba mendamaikan hatiku sendiri.

“Papa janji, semua akan baik-baik saja?”

Papa mengangguk pasti.

Aku berusaha percayai janji papa. Pun ketika keadaan tidak sesuai dengan yang aku harapkan, aku tetap menunggu sesuatu membahagiakan segera datang.

Tante Inggrid memang bukan tipe ibu tiri yang bengis nan culas. Walaupun papa jarang berada di rumah, dia tak pernah menyiksa fisikku seperti cerita-cerita di sinetron.

Dia tidak galak, akan tetapi juga tak pernah ramah terhadapku. Hampir tak ada senyum setiap kali kami beradu pandang. Huh, sungguh membuatku tak nyaman.

Aku semakin merasa sendiri. Rasaku terasing setiap saat. Aku rindu mama kembali di sisiku, tapi itu hanya angan-angan yang mustahil menjadi kenyataan.

O, iya papaku dulu bilang wanita itu memiliki seorang anak. Ternyata dia seorang anak laki-laki. Usianya sekitar empat tahun di atas aku. Kuliah semester enam, katanya. Dia sebenarnya baik tapi wanita itu sepertinya kurang suka kalau aku terlalu dekat dengan anaknya, layaknya saudara kandung.

Tante Inggrid terlihat marah ketika dipergokinya aku pulang sekolah bersama anaknya.

“Nayla. Jangan kolokan. Minta dijemput segala.” Bicaranya sengit padaku.

“Dia nggak kolokan Ma. Dika yang sengaja mampir ke sekolah Nayla.” Mas Andhika membelaku.

Mata tante Inggrid membelalak.

“Ya sudah. Lain kali tidak boleh. Biar anak perempuan harus mandiri, Nayla.” Aku hanya mengangguk setuju, tidak berminat untuk beradu mulut dengannya.

“Awas kau anak nakal, sekali lagi ketahuan melakukan perbuatan tidak baik. Mama tidak akan memaafkanmu.” Ups, tante Inggrid mengira aku sudah benar-benar berlalu jauh.

“Mama kok masih nggak percaya sama Dika.” Kudengar Mas Andhika menyahut.

“Mama tahu jalan pikiranmu.”

“Hiburan lah Ma, daripada bete.”

“Dia bukan perempuan yang selama ini ada dalam pikiranmu.”

O-oo…perempuan yang dimaksud, akukah?

“Mama takut sama papanya, ya? Mama egois. Kalau Mama bebas main dengan laki-laki kenapa aku nggak boleh sama perempuan-perempuan?”

“Bicaramu semakin lama semakin kurang ajar.” Lalu “Plak!” Mas andhika ditamparkah?

Aku meringis seperti merasakan ngilu di rahangku. Beberapa detik berselang aku tak mendengar pembicaraan mereka lagi dengan jelas karena aku putuskan untuk tidak melanjutkan menguping. Rasa lelah hari ini membuatku penat. Aku tak mampu memcerna sesuatu yang mereka suarakan.

Tante Inggrid benar. Aku harus mandiri. Walau papa menikah dengan wanita itu bukan berarti mamaku sudah kembali. Aku putuskan menjaga jarak, terutama dengan mas Andhika.

Namun tidak demikian halnya dengan mas Andhika. Dia tak mengindahkan larangan mamanya untuk dekat denganku.

Jam lima sore waktu itu baru pulang. Ada les bahasa Inggris untuk pemantapan ujian akhir nanti. Aku kelimpungan saat angkot yang kunanti tak kunjung datang, padahal katanya 24 jam angkot di sini beroperasi.

Mas Andhika muncul dengan motornya. Melalui perdebatan kecil aku akhirnya bersedia mengikuti saran mas Andhika untuk pulang bersama.

“Mas Andhika kok tahu Nayla masih di sekolah?”

“Tahu lah. Tiap hari Selasa ada les bahasa Inggris kan?”

“Lho kok tahu juga.”

“Lah non, kan kamu sendiri yang pernah bilang.”

“O, iya? Kenapa Nayla lupa ya.”

Kami pun sampai ke rumah hanya dalam waktu lima belas menit. Rumah sepi. Apa karena mas Andhika tahu mamanya tak ada di rumah sehingga berani menjemputku ke sekolah. Batinku menerka.

“Mama kok nggak ada di rumah ya,” gumamku setelah membuka pintu dan masuk ke ruang tengah.

“Selepas asyar, setiap hari Selasa Mama ikut pengajian sekarang.”

O…begitu. Alhamdulillah. Aku kok nggak tahu.

“Nay, sudah di dalam rumah kerudungnya nggak dilepas juga sih. Nggak gerah tuh?” ucap mas Andhika mengejutkanku. Kalimatnya membuatku risih. Aku hanya tersenyum membalas ucapannya.

Aku ngeloyor meninggalkan ruang tengah hendak mengganti seragam sekolah dengan pakaian sehari-hari.

“Nay!” Aku menoleh. Dia memandangku lekat sekali entah apa maksudnya. Aku terkesiap, bulu kudukku meremang. Buru-buru kualihkan mata ke arah lain.

“Boleh nggak Mas Andhika yang bukain jilbab Nayla?” Aku tersentak tak percaya.

“Mas Andhika!” Kutepis tangannya yang beberapa senti lagi mapir ke leherku. Wajahku memerah. Takut. Marah. “Nayla nggak suka dengan candaan Mas Andhika.” Kemudian kuayunkan langkah cepat.

Naas, tangannya terlanjur merengkuh lenganku kuat-kuat lalu menarik tubuhku dalam pelukannya dengan paksa. Aku semakin takut. Meronta sekuat tenaga.

“Mas tidak bercanda. Mas sungguh-sungguh.” Kurasakan dengus napasnya menyapu wajahku. Wajah kami hampir mendekat.

“Jangan Mas, ini dosa. Kita saudara.” Aku mencoba mengingatkannya.

“Aku tidak peduli, kita saudara atau bukan. Ayolah. Sekali ini saja. Aku tahu sebenarnya kau juga menyukai aku sejak lama.”

“Istighfar Mas, istigh…aw!” Dia menjambak kerudungku.

Hanya dalam hitungan detik dia akan benar-benar melampiaskan nafsunya padaku. Aku berusaha melewati detik-detik itu dengan diam mendesiskan doa. Ya Allah, tolong hamba-Mu.

Tiga detik sebelum sampai ke puncak kemenangan mas Andhika, pintu ruang tengah terbuka setengah didobrak seseorang. Tubuhku terjerembab membentur tembok karena mas Andhika mendorongku tiba-tiba.

“Plak! Plak!” Dua tamparan telak menghajar wajah mas Andhika. Badannya limbung, terhuyung lambat-lambat dan…”Brak!” Tubuh tegap itu menabrak pintu dengan keras. Kepalanya membentur gagang pintu dari besi kuning kokoh.

Darah segar berhambur ke udara lalu bercecer kemana-mana. Tante Inggrid melolong panjang lalu menubruk mas Andhika. Merengkuh tubuhnya yang terkulai bersimbah darah. Aku memekik tertahan, tak kuasa berkata-kata. Apalagi bergerak. Sendi-sendiku melemas. Aku hanya sanggup menangis.

“Kenapa menangis? Menyesali sesuatu? Sudahlah. Ini kecelakaan, bukan kesalahanmu.” Tante Inggrid mengejutkanku ketika dua tetes air mata menimpa lantai. Kartu ATM masih di tangannya.

“Kalau waktu itu Nayla…” Sesuatu menyedak hidungku.

“Setelah menjadi istri papamu, aku berjanji akan menjaga kehormatan wanita.” Wajahnya mengawan sesaat. Tak ayal dua tetes bergulir dari sudut matanya. “Percayalah.” Kembali disodorkannya kartu ATM itu.

Aku terharu. Luluh. Kusambut uluran tangannya.

Seorang berpakaian serba putih keluar dari ruang ICU. Menghampiri kami dengan roman muka tenang.

“Ibu harus bersabar. Apa boleh buat, kita sudah terlambat. Bukan kami tak bisa menangani pasien, tapi…memang sudah terlambat.”

Tante Inggrid mematung. Dia terpana, memandang lurus ke suatu tempat, tanpa berkedip. Kusadari akhirnya, tatapan mata itu berubah kosong.

Kuguncang tubuhnya, tetap diam.

“Mama…!” Tangisku memecah. Dia pun tak bereaksi.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi