SHUMATSU ( 終末 )

"Datanglah, datanglah, datanglah. Aku sendiri di tepi samudra, menunggumu datang bersama senja sang surya. Datanglah, datanglah, datanglah. Aku ingin bercerita."

Gelombang laut membelai telapak kakiku. Matahari mulai tenggelam. Tetua desa kami juga bilang manusia akan tenggelam sebentar lagi. Orang-orang tak tau apa maksudnya, tak ada yang peduli juga. Tapi sejujurnya aku memikirkan sesuatu yang menarik. Jika ini benar, maka aku tak akan menyia-nyiakan waktuku mulai sekarang ini.

"Datanglah, datanglah, datanglah. Detik jam terasa samar, pecahan ombak terus kudengar. Datanglah, datanglah, datanglah. Simfonimu sangat kuharapkan."

Belum ada jawaban. Aku pun memutuskan untuk merebahkan tubuhku. Seluruh pandanganku hanya menatap langit saat ini. Gradasi merah muda dan oranye sekarang sungguh indah. Hingga satu cahaya putih yang familiar melintas membelahnya. Aku yang tau apa yang akan terjadi duduk dan tersenyum.

"Rael!"

Aku memutuskan untuk membalikkan badan, aku sengaja mencebikkan bibirku dan memandangnya datar.

“Tuan Nami, kau terlambat.”

Aku melihat dia menggeleng pasrah. Aku sangat bahagia dia datang. Dia Nami, satu-satunya teman yang kupunya.

“Yah, aku terlambat. Kuharap kita bisa memanfaatkan pertemuan terakhir ini.”

Aku mengerutkan dahi. Dia di sana sedang tersenyum miris. Aku membuka mulutku, hendak menanyakan apa yang ia maksudkan. Namun segera, dia mengangguk, seakan mengetahui apa yang akan aku tanyakan padanya.

“Benar, akhir untukmu dan akhir pula untukku”

Aku paham. Aku tersenyum tipis, aku tak tau harus apa sekarang. Aku takut, bingung, dan gusar. Aku ingin berlari sekuat mungkin. Namun aku tak bodoh untuk menyadari bahwa itu semua akan percuma. Aku pun berdiri dan berjalan ke pantai, aku bermain air di sana dan menghadap Nami kembali, aku berteriak.

“Kapan?”

Dia berdiri dan berlari menghampiriku. “Setengah jam lagi,” Jawabnya sembari menyiramku dengan air.

Aku terdiam, memikirkan perkataannya barusan. Aku masih tak menyangka akan terjadi secepat ini. Aku yang sadar bajuku sudah basah pun membalasnya.

“Yah, kita tak akan bisa bermain seperti ini lagi,” celetukku yang ditanggapi anggukan olehnya. Kami bermain sepuasnya saat ini. Hingga air laut terasa menyurut. Aku mengerutkan dahiku tanda heran. Nami yang ada di belakangku menepuk pundakku.

“Sepertinya sebentar lagi.”

Aku yang mengerti pun mengangguk. Aku berbalik dan tersenyum. Aku tau dia terkejut saat aku memeluknya, tapi aku tak berniat melepaskan pelukanku. Aku berbisik.

“Terimakasih sudah menemaniku di sini. Terimakasih sudah membuatku merasakan adanya teman dan keluarga. Terimakasih sudah menjadi sahabat yang sempurna. Terimakasih untuk semuanya.”

Aku tersenyum saat dia balas memelukku. “Kuharap kau akan baik-baik saja. Aku tunggu kau di sana. Laut di sana jauh lebih bersih, kau akan bertemu dengan banyak teman. Kau bahkan bisa bertemu dengan orang tuamu. Mari segera bersiap dan jangan berpikir semua akan berakhir.”

Aku tersenyum saat tau dia memberiku sedikit harapan. Tapi aku lebih tau bahwa dia tak pernah berbohong. Jadi aku merasa bahwa itu akan benar-benar terjadi. Aku melepas pelukannya dan tersenyum lebar. Dia merangkul pundakku dan menarikku untuk menghadap ke lautan. Aku tidak terkejut saat di depan kami sudah ada gelombang yang besar, sangat besar hingga aku lupa untuk takut dan sibuk mengaguminya. Nami merangkulku erat, aku terkekeh saat menoleh dan mendapati dia sedang menangis.

“Sampai jumpa di surga, Kawan.”

8 disukai 1 komentar 5.6K dilihat
Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
rangkain kata-katanya indah, plotnya apik dan dalam. mantap. 🌟🌟🌟🌟🌟/🌟🌟🌟🌟🌟 alias 5/5. 🤗
Saran Flash Fiction