Disukai
15
Dilihat
1,351
LUHITO
Drama

Sentuhan hangat sang surya membuatku selalu rajin membuka jendela. Dulu tidak pernah. Sewaktu aku masih tinggal di kota, aku lebih suka membiarkan kamarku tertutup rapat hingga matahari hampir meninggi. Maklum, asap knalpot kendaraan selalu datang bercampur di udara lebih dulu ketimbang tetesan embun. Hawa di pagi hari pun tidak hanya hangat tapi malah panas, berdebu pula.

Semua berubah ketika aku pindah tempat tinggal sementara di rumah nenek, di daerah pegunungan. Udaranya sejuk? Tentu saja. Itu yang membuatku sudi berlama-lama di bawah jendela, memandangi fajar merekah sampai mentari tersembul di ufuk Timur. Lebih-lebih karena tetangga nenek adalah paman Luh.

Kupanggil paman Luh hanya karena orang-orang di sini memanggilnya juga demikian. Aku tidak tahu alasannya. Padahal bila kuterka, usianya belum begitu tua. Kira-kira lima tahun di atasku. Wajahnya saja masih setampan remaja umur dua puluh tahunan.

Jujur saja perasaanku tiba-tiba jadi aneh. Sumringah, berbunga-bunga. Sungguh menyebalkan. Aku selalu berharap pada detik yang sama ketika aku membuka jendela kamarku, jendela kamar di seberang ikut terbuka dan muncullah senyum menawan yang semalaman kurindukan.

“Dia itu orangnya ramah, biasa tersenyum pada siapa saja,” bisik hatiku menyadarkanku.

“Jangan-jangan dia naksir. Kamu kan cantik, Ky,” bisik yang lain memberiku semangat.

Duh…bingung. Kalau senyumnya adalah ketidaksengajaan, kenapa dia selalu membuka jendela rumahnya tepat ketika aku mebuka jendela pula, kemudian memamerkan senyum manis itu untukku seorang? Seandainya dia benar-benar naksir, apakah tandanya aku beruntung?

Uh…menyebalkan. Pikiran macam itu membuatku hampir lupa dengan tujuanku semula datang ke tempat nenek.

“Kamu yakin Ky, bakal betah tinggal dua bulan di rumah nenek?”

“Mama jangan khawatir.”

“Di tempat nenek itu sepi lho, Ky. Nanti kamu bosan.”

“Justru, Eky lagi cari tempat yang sepi-sepi, Ma. Biar tenang. Kalau nggak ada gangguan kan skripsinya cepet kelar.”

“Kalau temen-temenmu nanyain?”

“Nah itu dia masalah utama kenapa Eky mesti hijrah sementara ke rumah nenek. Temen-temen kan suka reseh. Ky jadi nggak bisa konsen buat nyelesaiin tugas, kalau diajakin main terus.”

Mama tertawa senang. Dipikirnya aku sudah bisa berpikir dewasa. “Ya…terserah kamu deh. Bahan-bahannya udah terkumpul semua? Biar nggak cape bolak-balik kan.”

“Tenang aja, Ma. Eky udah siapin semua. Di sana ky cuma tinggal menggarap data-data yang udah ada, hasil penelitian kemarin.”

# # #

 

“Nggak kerasa ya Ky, udah dua minggu kamu tinggal sama nenek. Mamamu nggak khawatir?”

“Ih Nenek. Eky kan tinggal sama Nenek, bukan sama orang lain. Nggak mungkinlah mama berpikir macam-macam.” Rambutku bermanja di bawah telapak tangannya.

Mudah-mudahan mama benar tidak khawatir. Aku di sini tidak kurang satu apapun. Merasa bosan walau sesaatpun tidak. Aku bahagia. Itu semua karena paman Luh.

Uh…menyebalkan. Kenapa itu lagi yang jadi alasannya? Aku baru dua minggu tinggal di desa ini. Itu berarti kurang dari dua minggu aku mengenalnya. Sulit dipercaya. Kenapa aku harus terpesona dengan sesuatu yang sama sekali belum kukenal. Hanya sekali aku sempat bertemu langsung dan saling bicara dengannya, selebihnya kami cuma bisa saling bertatapan di jendela.

Waktu itu kira-kira sudah sepuluh hari aku tinggal. Aku diajak nenek menengok palawija di ladang. Ketika aku duduk-duduk di pematangnya sambil mengamati nenek yang sedang mengecek tanaman, seorang laki-laki menghampiriku.

“Sendiri?”

Aku tergagap menyaksikan senyum orang itu melebar begitu saja. Kurasa jantungku melompat-lompat.

“Saya Luhito.”

Ini dia wajah asli paman Luh yang kemarin-kemarin hanya mampu kulihat dari jarak jauh.

“Eky,” kusebutkan namaku tanpa menyambut uluran tangannya.

Belum sempat kami bertutur lebih jauh, nenek memanggilku. Dijulurkannya beberapa tangkai tanaman ke arahku. Sebuah wadah terbuat dari bambu kuserahkan pada nenek. Sudah pasti pembicaraan kami berakhir di situ saja karena kemudian aku sibuk membantu nenek.

“Luhito memang begitu pada semua orang, terutama para gadis.” Tak kusangka nenek akan bicara soal paman Luh.

“Wah diam-diam Nenek ngintip ya tadi?” Nenek tak memandangku juga tak menjawab pertanyaanku. Yang kemudian dikatakannya adalah lanjutan cerita tentang paman Luh.

“Orang kampung sini sebagian besar hormat sama Luh. Apalagi mereka yang punya anak-anak yang masih sekolah. Karena Luh, rata-rata anak mereka pinter di sekolahnya.”

“Dia seorang guru, Nek?”

“Pengusaha yang bangkrut.”

Aku mengerutkan dahi. Nenek tahu keherananku kemudian melanjutkan ceritanya. Sementara orang yang dibicarakan sudah tak nampak. Entah kapan dia beranjak dari pematang. Yang pasti kulihat bayangan tubuhnya menghilang sesaat tadi di tikungan. Anehnya, kenapa ada seorang wanita yang mengiringinya dari belakang.

“Dulu, Luhito pengusaha sukses di kota. Menikahi sinden dari kampung sebelah. Eh…baru satu tahun menikah, hartanya ludes. Istrinya pergi dengan laki-laki lain. Dia pulang ke kampung lalu memilih mengajar bahasa Inggris untuk anak SD di kampung tanpa bayaran. Panggilan paman Luh itu pemberian anak didiknya karena Luh tidak suka dipanggil bapak. Terkesan sudah tua, katanya.” Nenek terkekeh.

“Jadi sekarang dia tidak punya istri, Nek?”

“Kenapa?”

Wajahku serasa merona tiba-tiba saat nenek memandangku curiga. “Wanita yang tadi?” Aku mencoba mengalihkan prasangka nenek.

“Namanya Larasati. Cantik ya? Sayangnya dia itu bisu. Dia tetangga kita juga. Nenek kurang paham kenapa akhir-akhir ini dia begitu dekat dengan Luh. Yang nenek tahu dia sering mengantar anak juragan Haris untuk ikut belajar bahasa Inggris di rumah Luh. Kenapa? Cemburu?”

“Ah Nenek. Kenapa menerka begitu?” Aku yakin kali ini wajahku benar-benar memerah.

“Jatuh cinta itu tidak berdosa, Ky. Yang dilarang itu, kamu melakukan hal yang tidak baik atas nama cinta.”

“Nenek jangan bikin Eky malu. Eky sekedar ingin tahu, tak lebih.”

“Oh iya?” Nenek mencuil hidungku. “Kamu boleh naksir siapa saja. Tapi mesti jelas dulu siapa dia. Jangan tertipu dengan pandangan mata. Dan…semasa Nenek muda dulu tidak ada yang namanya pacaran. Mama sama papamu juga.”

“Nenek…Eky tidak sedang jatuh cinta sama siapa-siapa.”

“Ya…mudah-mudahan kamu bisa nenek percayai. Luhito itu calon menantu juragan Haris, majikan Larasati.”

Deg! Akhirnya aku harus mengakui kalau aku memang cemburu.

# # #

 

Berselang dari pertemuan dengan paman Luh di pematang sawah, aku sedikit enggan membuka jendela pada detik yang sama seperti hari-hari yang lalu. Tidak terasa sudah satu bulan kami tak bersua. Ini hari-hari terakhir aku tinggal bersama nenek. Kuakui perasaanku galau, kian tersiksa. Tidak melihatnya sehari saja seperti tidak makan seharian. Badanku lemas, tak bergairah melakukan apapun.

“Ingat tujuan awalmu, Ky. Jangan terpengaruh sesuatu yang tidak pasti. Itu godaan, percayalah,” bisik hatiku mencoba memperingatkan. Akan tetapi tidak dengan sisi batinku yang lain. Ia malah bersemangat agar aku berani berjuang demi perasaanku.

“Jangan bodoh, Ky. Kalau tidak sekarang kapan lagi. Sebentar lagi kamu akan pergi.”

“Jangan dengarkan dia. Itu hawa nafsu. Sadar, Ky. Jangan korbankan dirimu.”

Ah…menyebalkan. Kenapa seperti ini? Aku tersungkur, membenamkan diri di antara bantal-bantal.

“Ky, sedang apa nak? Ikut Nenek yuk!” Itu suara nenek di antara ketukan pintu di luar kamarku. Wajahnya menyembul setelah pintu terbuka.

“Lekas pakai kerudungmu. Ikut nenek ke rumah Luhito.”

Luhito! Hatiku bersorak.

Tanpa basa-basi aku langsung turut perintah nenek. Setelah itu aku segera berjalan di belakang nenek dengan langkah bergegas.

Ketika pintu rumah nenek terbuka tiba-tiba ada asap tebal menerobos. Nenek terbatuk sebentar namun tak hirau karena ternyata langkah nenek dibuat panjang-panjang. Kalau nenek masih muda mungkin ia ingin berlari. Pandang matanya lurus tak lagi menoleh kepadaku seperti hendak memburu sesuatu.

“Hei, hentikan api itu!” teriak nenek.

Kepulan asap yang tadi menerobos rumah nenek ternyata berasal dari kobaran api di rumah paman Luh.

“Juragan, tolong perintahkan penduduk untuk memadamkan api. Ini berbahaya,” ucap nenek lagi kepada seorang laki-laki tua yang dihampirinya. Masih dengan nada tinggi setengah berteriak.

“Saya tidak bisa, Nek. Biarkan penduduk melampiaskan kemarahannya.”

“Saya tahu. Tapi ini berbahaya. Api itu bisa merembet ke rumah-rumah lain. Rumah saya bisa ikut terbakar.”

Aku hanya tertegun menyaksikan perdebatan nenek dengan seorang laki-laki yang disebut juragan itu. Yang tidak aku mengerti apa yang dimaksud dengan melampiaskan kemarahan. Apa salah paman Luh sehingga penduduk harus menyampaikan kemarahannya dengan cara seperti ini. Membakar rumah paman Luh. Lalu di mana pemilik rumah itu?

“Lebih baik hentikan dari sekarang.” Kata nenek. “Percuma melampiaskan kemarahan dengan cara seperti ini. Luh sudah pergi jauh sejak subuh tadi.”

“Nenek tahu kemana dia pergi?” Raut wajah juragan memerah. Matanya membelalak.

“Saya tak sempat menegurnya. Saya hanya melihat dia menuju jalan besar sambil menenteng tas kulit.”

Dengan perintah juragan, penduduk segera memadamkan api yang hampir merembet kemana-mana.

“Maafkan saya, Nek. Saya tidak sadar kalau tindakan saya ini bisa membahayakan rumah penduduk lain. Saya yang memprovokasi penduduk agar membakar rumah Luh. Saya kalap karena saya begitu marah. Larasati dihamilinya sementara dia akan saya nikahkan dengan anak sulung saya. Untunglah, anak saya selamat. Tak jadi menikah dengan Luh.” Juragan mengurut dada.

“Untuk cucuku masih dilindungi.” Nenek mendesis lirih.

Aku kian terpaku tanpa mampu berkata-kata. Jiwaku meremuk tiba-tiba. Aku ingin sekali menangis, memohon ampun atas khilaf yang hampir aku perbuat, dan berterima kasih atas perlindungan-Nya padaku.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Rekomendasi