Disukai
14
Dilihat
1117
SEPASANG KEKASIH KEMATIAN
Drama

Wajahnya mengawan, sesaat setelah peluit kematian dibunyikan. Mantera-mantera pengasihan seperti lekat di belahan bibirnya yang kian membeku. Ia berharap hitungan detik berselang dari itu adalah miliknya.

“Mudah-mudahan Engkau beri keajaiban, Tuhan.” Semangatku turut menggelora.

“Sebentar!” Kudengar suara itu, pemiliknya mengangkat kelima jarinya ke angkasa. “Sebelum prosesi ini dituntaskan, aku ingin memberikan penghargaan terakhir untuknya.” Dua tepukan tangannya mengisyaratkan sesuatu.

Dua laki-laki bertubuh kekar, dibalut jubah hitamnya memasuki arena. Seorang lagi berpakaian compang-camping. Tubuhnya bersimbah darah. Erangan bertubi-tubi. Suasana mengerikan. Dua pasang penari berkostum aneh berputar, membuat formasi yang tak kumengerti.

“Ayah, aku mohon. Jangan lanjutkan. Pertunjukan ini sungguh membuatnya ketakutan.”

“Ayah bilang, kau tak usah ikut menyaksikan upacara seperti ini. Perempuan memang membosankan. Cengeng, cerewet.”

Aku diam, mengatur debaran jantungku. Aku tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Aku ingin kembali bereaksi, segera.

“Kau tak usah bicara lagi!” sebelum niatku terlaksana.

Kidung-kidungan menggema mengiringi tarian yang semakin lama semakin cepat ritmenya. Seorang pesakitan berlumuran darah itu kembali mengerang panjang, mirip gaung srigala. Suaranya membuat bulu kuduk berdiri.

Gerakan-gerakan cepat yang tak kusadari urutannya, membuat aku sulit memprediksikan kapan dan bagaimana caranya, tiba-tiba sosok sang pesakitan hilang dari arena. Semua penari berpencar. Nampaklah di tengah-tengah gelanggang sebuah benda serupa peti mati ditutup kain berwarna hitam. Isi di dalamnya? Aku mencoba menebak-nebak. Ada suara tak asing lagi. Suara memelas sang pesakitan.

Dua laki-laki berjubah hitam serentak menghunus pedang panjang laksana samurai. Kedua belah sisinya berkilat-kilat diterpa sinar putih keemasan gugusan bintang. Dengan langkah sangar keduanya mendekati peti mati.

Suara tawa yang kukenal menggelegar dekat sekali di telinga. Kulihat kepalanya mengangguk kemudian, mengisyaratkan sesuatu pada kedua mahluk hitam dengan samurai terhunusnya. Sepasang algojo membalas anggukannya lalu serempak mengangkat senjata mereka tingi-tinggi dan…

“Ayaaah…” Sebuah tangan kekar membungkam mulutku. Beberapa saat meronta, tapi sia-sia.

Satu sudut mataku menatap gulana ke arah sosok tak berdaya di antara lilitan tali-tali kekar yang disambungkan pada sebuah tiang besi. Kurasakan dia mendesis-desis. Dia pasti ketakutan walau terlihat tabah dan pasrah.

Pedang panjang berayun-ayun lalu dihempaskan tepat di kedua ujung peti. Jeritan terakhir dari dalam peti yang kudengar, bersamaan dengan muncratnya darah segar ke angkasa.

# # #

“Tuan Putri sudah membuat kesalahan besar. Segeralah minta ampun sebelum para dewa murka.” Suara lembut membangunkanku.

Ketika mataku benar-benar terbuka kulihat seorang wanita separuh baya duduk bersimpuh di samping tempat tidur. Pandang matanya iba mengamati kondisiku yang tergolek tak berdaya. Kedua tangannya memilin kain basah berulang-ulang lalu menempelkannya di atas dahiku beberapa menit. Kepulan asap dupa tiba-tiba menyengat hidungku. Aku terbatuk sesaat dan mencoba bangkit untuk mencari sumber kepulan dupa berasal.

“Perlengkapan sesaji sudah Hamba siapkan untuk Putri. Mengaku dosalah segera pada dewa agar dia tak menghukummu.”

“Apa yang sudah aku lakukan?” Kuharap bisa segera mengingat sesuatu.

“Tuan Putri sudah mencoba menentang titah Baginda. Hukuman mati bagi pendurhaka itu urung dilaksanakan karena Tuan Putri mengacaukan upacara.”

“Aku tidak tahu apa-apa.”

“Tuan Putri pingsan hampir sehari semalam. Sudahlah, lebih baik saran Hamba segera Putri laksanakan.” Perempuan yang tak lain adalah dayang setiaku itu berusaha membantuku turun dari pembaringan. Untuk selanjutnya dia bersimpuh lebih dulu di depan sesaji berhias asap dupa yang berputar-putar di udara. Matanya terkatup rapat, sementara bibirnya berkomat-kamit, menyuarakan kalimat-kalimat doa.

Aku menurutinya duduk bersimpuh tapi aku tak berdoa seperti yang ia lakukan. Kuamati pemandangan di depanku dengan perasaan hambar. Tak ada sesuatu yang ingin kukerjakan kecuali bertemu dengan Tuan Tawanan yang terselamatkan jiwanya karena upacara kematian urung dilaksanakan.

Aku menyebutnya Tuan Tawanan tentu saja setelah Ayahandaku, Baginda raja di negeri ini menetapkan statusnya sebagai tawanan negara. Sebelum itu aku hanya memanggilnya Tuan, tak kurang tak lebih.

Ya, Tuan yang baik hati itu semenjak bertemu tak kuketahui namanya. Dia tak pernah bisa mengenalkan identitasnya padaku karena tak kuasa melafalkan kata-kata. Kuyakini dia adalah laki-laki bisu. Dia juga seperti enggan menorehkan sesuatu pada selembar daun lontar.

Senja itu aku berjalan-jalan seorang diri mengitari hutan kecil di belakang istana sambil tak lupa membawa seperangkat senjata kesayanganku. Di negeri ini cuma aku yang memilikinya. Sebilah busur lengkap dengan puluhan anak panah. Aku sering berburu binatang hutan untuk sekedar mengobati rasa bosanku karena terlalu sering terkurung di dalam istana.

Sore itupun aku kembali berlari secepat kilat mengejar buruanku. Mengendus-endus perlahan ketika kulihat sebuah kelinci berada tinggal beberapa langkah di depanku. Mengatur strategi beberapa saat untuk kemudian meluncurkan anak panah ke bagian dadanya. Kelinci itu kontan menggelepar tanda kesakitan teramat sangat. Racun mematikan berhasil kusarangkan di uluh hatinya. Aku bersorak dalam hati.

Belum puas kunikmati pemandangan menyenangkan itu, tiba-tiba muncul dari balik semak-semak seorang laki-laki kurus berkulit legam bak terbakar matahari. Dia merampas kelinci itu dari kekuasaanku.

“Hai, jangan kau sentuh dia. Panah itu beracun. Nanti kau mati.” Aku berseru mengingatkannya.

Tapi dia tak menggubris teriakanku. Dia malah kian menjauhkan kelinci itu dari jangkauanku. Diletakkannya di atas rumput basah. Sebelah tangannya yang lain mencoba menjangkau sesuatu dari dalam tabung bambu yang menggantung di pundaknya. Sebuah pisau kecil dirapatkan ke leher kelinci. Dielusnya beberapa kali bulu binatang itu, mulutnya menggumam, mengucap sesuatu yang tak jelas. Detik berikutnya darah segar menyembur dari urat nadi kelinci yang terputus.

“Berani sekali Tuan merampas buruan saya.”

Laki-laki itu tak menyahut. Dia malah tersenyum dan melambaikan tangan, mengajakku duduk sejajar dengannya. Dia menunjuk dadaku kemudian membuat bahasa isyarat lain yang kalau tidak salah kuartikan adalah, “Kamu jangan suka menyakiti hewan. Mahluk bernyawa punya naluri seperti manusia.”

Kulirik sesaat kelinci yang tergeletak di tanah. Setelah mata pisau milik laki-laki itu menoreh lehernya, dia mati dengan tenang, tidak menggelepar-gelepar kesakitan seperti yang sering kusaksikan bila mereka terkena mata panahku. Tak kusangka orang asing yang tampak nista itu ternyata berhati mulia. Penyayang sesama yang hidup.

Dari pertemuan itu aku tertarik dengannya. Kami bersahabat. Namun ketika diajak ke istana dia selalu menolak. Dia bilang lebih senang tinggal di hutan untuk sementara waktu. Kutanya hendak melanjutkan perjalanan kemana, dia tersenyum lalu menggeleng. Rupanya enggan bercerita.

Secara diam-diam kami sering bertemu di hutan. Kami sering berkomunikasi walaupun banyak isyaratnya yang kadang tak kumengerti. Betapa dia seorang yang menyayangiku.

 Berjalan beberapa lama, persahabatan kami ternyata tercium juga oleh kalangan istana. Lebih-lebih dayang pribadi yang selalu kelihatan curiga mendapatkanku keluar masuk hutan lebih sering dari biasanya. Dan semenjak aku bersahabat dengan Tuan, aku selalu menolak untuk ditemani siapapun bila menerobos hutan.

“Tuan Putri berbuat kesalahan hari ini. Baginda memanggil Tuan Putri.” Dayang tiba-tiba datang mengagetkanku.

“Maksudmu?” Sahutku gugup sambil buru-buru kusembunyikan sesuatu ke balik bajuku. Sebelum aku pamit meninggalkannya hari ini, Tuan Baik Hati menghadiahi aku lembaran-lembaran lontar kering bertuliskan kalimat-kalimat aneh.

“Putri sering pergi ke hutan tanpa seijin penghuni istana.”

“Aku bisa jaga diri. Bekal yang diberikan Ayah tidak akan membuatku terjerat hal jahat yang menakutkan.” Sergahku membela diri.

“Menurut informasi dari petugas keamanan luar istana ada penyusup berhasil memasuki wilayah kita. Menurut mereka dia seorang yang sangat berbahaya. Gelagatnya, dia adalah penganut aliran sesat, pembangkang ajaran para dewa. Baginda khawatir dia akan menerobos masuk kemudian memusnahkan peradaban negeri kita.”

“Ucapanmu sudah seperti Ayahanda.” Aku tertawa mengejeknya. “Kata-katamu seperti pemuka istana.”

“Putri tak usah mengejek Hamba. Semua penghuni mengkhawatirkan keadaan Tuan Putri yang selalu ingin mengunjungi hutan itu. Ingat Putri, penyelidikan pihak keamanan tidak mungkin salah.”

Ya Tuhan, aku harus segera memberitahu dia agar lekas meninggalkan wilayah negeri. Tapi sial, malam ini aku tak mungkin pergi untuk kedua kalinya. Dayang pasti sudah disuruh untuk mengawasiku.

“Hari ini aku lelah sekali. Aku ingin segera ke peraduan tanpa seorang pengganggupun. Kau boleh pulang ke kamarmu saja,” pintaku kemudian.

Strategiku berhasil. Dia percaya kalau aku benar-benar kelelahan. Hingga malam mulai beranjak larut dia tak mengusikku.

Dengan senang hati aku segera melompat dari tempat tidur. Sejenak berkemas untuk kemudian mulai mengendap-endap keluar gerbang istana melalui jalan rahasia. Dan…sukses! Tak seorangpun menghadang langkahku. Aku berhasil menembus malam menuju hutan tanpa sepotong mahlukpun yang tahu.

Ketika kutemui di tempat biasa, sang Tuan Baik Hati tengah melakukan ritual pribadinya. Aku tak berani mengganggunya. Tak sabar kutunggu dia sejenak menyelesaikan pekerjaannya. Belum sempat kuberitahu soal sesuatu yang mungkin bisa membahyakan dirinya sebuah suara berat namun lantang mengagetkan kami.

“Ayo tangkap dia! Jangan sampai terlepas. Tangkap!” Segerombolan pasukan meringkus Tuan, segera. Sebagian lagi ke arahku.

“Hei lepaskan! Lepaskan dia! Dia sahabatku. Dia temanku. Dia tidak bersalah! Hei! Lepaskan!”

Sekuat apapun teriakanku dan walau terus meronta, mereka tak menggubrisnya. Tangan-tangan kuat mereka membuatku terkulai pasrah.

Sejak saat itulah Tuan berstatus sebagai tawanan negara. Berhari-hari dia ditahan di dalam ruangan pengap hingga pengadilan memutuskan dia harus dihukum mati.

“Tuan Putri benar-benar tidak ingin berdoa?” Suara itu membuyarkan lamunanku. “Kejadian malam itu, Hamba yang melaporkannya.”

“Apa kau bilang?!” Aku terkejut.

“Hamba khawatir terjadi sesuatu dengan Putri.”

“Kau tidak tahu Dayang, aku tersiksa.” Tiba-tiba aku menangis pilu. “Aku menyayanginya. Aku tidak suka ritual ini.” Tanpa ia sangka susunan sesaji itu aku buat berantakan.

“Putri, Putri. Hamba tahu, Hamba sudah tahu sejak lama kalau Tuan Putri tak pernah lagi berdoa seperti biasanya.”

“Apa kau bilang?!”

“Hamba tahu, Putri. Hamba mengerti dengan sesuatu yang Putri rasakan.”

“Mengerti? Benar kau mengerti aku? Benar kau tahu apa yang aku inginkan sekarang?” Dia mengangguk. “Kalau begitu kau harus bantu aku. Malam ini juga aku harus menemui Tuan Tawanan. Aku dan dia harus segera pergi dari sini, sebelum putusan hukuman mati diberlakukan kembali,” ucapku berapi-api.

“Putri yakin? Pikirkan sekali lagi keputusan itu, Putri.”

“Tolonglah aku, Dayang.”

Malam itu, persis ketika hampir semua penghuni terlelap, aku berhasil membebaskan Tuan, berkat bantuan Dayang. Dengan sekuat tenaga kami berdua berlari menembus malam.

Tepat dini hari kami telah berada di perbatasan istana. Aku bernapas lega. Kamipun beristirahat sejenak.

“Tangkap! Tangkap! Jangan sampai lolos.” Langkah-langkah berat dan bayangan hitam berkelebat di kejauhan.

“Tuan, kita harus segera tinggalkan tempat ini.”

Kami mempercepat langkah setengah berlari, karena kami sungguh tak kuat lagi untuk berlari sekencang tadi. Sekujur tubuh kami lemas. Aku ingat sebuah jalan rahasia di sekitar perbatasan yang bisa membuat kami terlepas dari kejaran petugas keamanan.

Ketika pintu rahasia itu berhasil kubuka, tiba-tiba…

“Au..!!” Sesuatu menembus punggungku. Pedih.

Tuan Tawanan tersentak mendengar jeritanku. Buru-buru dia memeriksa kondisiku.

“Pergilah Tuan! Pergilah. Jangan hiraukan aku. Selamatkan dirimu segera. Pergilah, aku akan segera menyusulmu.”

Tuan menggeleng. Dia begitu mencemaskan aku. Digenggamnya erat-erat kedua tanganku seperti memberi kekuatan.

“Tuan, aku mohon, pergilah. Ayo pergilah sebelum mereka semua menemukan kita.” Aku mendorong tubuhnya dengan sisa tenaga yang kumiliki. Aku berhasil membuatnya terhempas ke tempat yang jauh melewati pintu rahasia yang terbuka.

Aku ingin segera menyusulnya. Sayang, sesuatu yang bersarang di punggungku memaksaku diam. Racun mematikan yang ada di ujung anak panah kurasa begitu cepat menjalar.

“Siapa yang melakukan ini. Berani sekali dia menggunakannya tanpa seijinku.” Rintihku tertahan.

“Maafkan Hamba, Putri. Hamba terpaksa melakukan ini demi menyelamatkan negara.” Kalimat terakhir yang kudengar sebelum kurasakan dunia ini menggelap. Pekat.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi