Akui saja. Profesi sebagai PNS, alias pegawai negeri sipil, hingga kini masih menjadi primadona. Kalau tidak percaya, lihat saja sendiri. Setiap kali dibuka lowongan penerimaan CPNS, yang mendaftar pasti berbondong-bondong. Bahkan, seandainya pun ujian dilakukan pada tengah malam buta, eh … bahkan lewat tengah malam dan baru selesai pukul empat pagi menjelang subuh, tetap saja banyak yang bersedia.
Kau adalah termasuk yang beruntung karena sudah berhasil menjadi PNS. Bahkan, kau masuk tanpa harus melalui jibaku ujian tengah malam hingga dini hari itu. Dan posisimu kian mengilap karena instansi yang kau masuki bukanlah instansi ecek-ecek. Dalam arti, instansi tempatmu bekerja adalah termasuk penerima porsi anggaran negara tiga besar teratas. Ya. Instansi tempat kerjamu memang amat sangat strategis. Prestisius. Gengsi tinggi. Dengan nilai proyek yang aduhai.
Padahal, latar belakang pendidikanmu bukan termasuk yang paling dicari di tempat kerjamu. Instansi tempatmu bekerja terkenal dengan pekerjaan-pekerjaan teknis di bidang infrastruktur, yang tentunya membutuhkan para sarjana di bidang teknik. Kau bukan sarjana teknik. Bahkan bidangmu jauh dari teknik. Namun, kau bisa memasukinya. Makanya, tak jarang orang heran. Pertanyaan-pertanyaan tentang bagaimana caranya kau bisa lolos sudah terlalu akrab di telingamu. Bahkan, tak jarang pertanyaan-pertanyaan tersebut mengarah tendensius, seperti, BAYAR BERAPA sehingga kau bisa diterima bekerja di sana?
Kau sendiri diterima melalui tes resmi. Tanpa bantuan siapapun karena kau memang tidak punya siapa-siapa. Serius! Kau benar-benar berhasil lolos karena nilaimu mencukupi … eh … malah sangat tinggi ketika ujian. Sinkron dengan kuliahmu yang termasuk jurusan favorit dari universitas ternama dan kau lulus sarjana dengan nilai cum laude, bahkan dengan waktu super singkat: tiga setengah tahun. Kau memang jenius dan luar biasa.
Hanya saja, siapa yang mau percaya? Soalnya, kau masuk ketika sogok-menyogok dan meminta bantuan “orang dalam” masih menjadi hal lumrah. Dan ingat, instansi tempatmu bekerja sangat prestisius, incaran hampir semua sarjana karena nilai proyek yang sungguh menggiurkan. Yang sarjana teknik saja sulit tembus, apalagi yang non teknik. Jelas, keberhasilanmu menimbulkan tanda tanya. Setidaknya, banyak yang menanyakan tips dan trik agar bisa bekerja di sana sepertimu.
Kisahmu sendiri sebenarnya tidak istimewa. Kau dulu mendaftar karena butuh pekerjaan. Namanya sarjana baru lulus, ada lowongan, lalu kau mendaftar, dan ikut ujiannya. Ternyata kau lolos. Jadilah kau PNS. Dan selama menjalani profesi sebagai PNS, kau juga tidak banyak tingkah. Kau ikuti alurnya saja, apalagi mengingat keahlianmu yang bukan sarjana teknik. Kau pun terima saja ditempatkan di mana saja. Sesuai dengan doktrin yang kau terima sejak menjalani masa orientasi dulu, bahwa yang namanya PNS itu “harus bersedia ditempatkan di mana saja”.
Unit organisasi tempatmu bekerja bukan termasuk yang “favorit”. Dalam arti, bukan termasuk yang menjadi incaran para pegawai. Bukan hanya karena nilai proyek yang tidak terlalu besar untuk ukuran instansimu, melainkan juga karena produk yang dihasilkan bukan merupakan produk yang menjadi citra dari instansi. Toh, kau tetap menerimanya. Bahkan ketika kau ditempatkan di bidang yang bukan core unit organisasi sekalipun, kau tidak masalah. Sekalipun proyek-proyek yang dikerjakan bidangmu tidak seberapa nilainya dibandingkan unit yang lain, kau tetap bersyukur. Apa yang lebih penting daripada bersyukur? Bisa jadi PNS di tengah persaingan seleksi kerja yang sangat ketat saja sudah bagus. Diterima di instansi bergengsi yang termasuk penerima anggaran negara tertinggi sudah lebih dari cukup. Dan meski bidangmu tidak mendapatkan proyek sebesar bidang-bidang lain yang mengurusi pekerjaan inti, penghasilanmu sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhanmu sehari-hari, dan kau masih sanggup untuk menabung dan mengirim uang untuk orang tuamu di kampung halaman.
Meski demikian, atasanmu tidak buta. Kau memang bukan sarjana teknik. Bidang kerjamu pun bukan bidang inti. Namun, fakta bahwa kau adalah lulusan universitas paling ternama dari jurusan favorit yang masuknya harus dengan passing grade tinggi lalu lulus cum laude hanya dalam waktu relatif singkat untuk ukuran S-1 jelas berbanding lurus dengan kemampuanmu. Atasan tertinggi unit organisasimu yang pengalamannya sudah bertahun-tahun, lulusan luar negeri pula, jelas bisa melihatnya. Kau akhirnya direkrut menjadi tim khusus bersama pegawai-pegawai muda lainnya yang jenius dan potensial. Negara ini sedang berlari. Maka, instansi pun butuh sumber-sumber daya manusia super yang juga mampu berlari kencang. Kau adalah salah satunya. Dengan kemampuanmu yang luar biasa, tak pelak kau pun menjadi tangan kanan atasan. Kau juga begitu populer di jajaran petinggi lainnya. Bahkan, pernah suatu ketika kaulah yang membuatkan draf pidato untuk menteri. Lihat, bahkan menteri saja percaya padamu!
Tentu saja ada kalanya orang iri padamu. Statusmu masih pegawai muda. Termasuk baru pula. Kadang, kau dianggap seperti anak bawang. Pernah ada yang tidak suka padamu, saking jengkelnya, ia sampai memberikan penilaian jelek. Untunglah, atasan tertinggimu tahu. Ia langsung menganulir penilaian terhadapmu. Sembari “mengancam” bahwa yang paling tahu kapasitasmu adalah dia. Sejak saat itu, tak ada lagi yang berani padamu.
Selama di kantor, sikapmu sangat kalem. Kau tidak ikut geng manapun. Tentu saja ada kalanya kau ikut ketika diajak nongkrong. Namun, kau tetap menjaga jarak. Bagimu, kantor adalah tempat bekerja. Dan kau menyibukkan dirimu dengan kerja, kerja, dan kerja. Orang-orang mengenalmu sangat disiplin karena kau selalu datang pagi. Dan ketika jam kerja sudah berakhir, kau juga belum tentu langsung pulang. Takut kalau-kalau atasanmu masih membutuhkanmu. Reputasimu pun semakin bagus.
Mungkin karena pembawaanmu yang kalem, dan juga tanpa tendensi, lama-lama orang mulai mendekatimu. Tentu saja bukan karena ada maunya atau ingin mengambil keuntungan darimu (karena kau memang tidak punya apa-apa). Melainkan untuk menjadikanmu sebagai teman bercerita, kadang teman diskusi pula. Kau sering diminta untuk menanggapi berbagai macam isu. Baik yang terkait dengan instansi tempat kerjamu ataupun bidang keilmuanmu. Tidak terkait keduanya pun sering juga. Pendeknya, kau lama-lama mampu mendapatkan kepercayaan dari teman-temanmu. Mereka betah curhat denganmu.
Waktu berlalu. Tak terasa tahu-tahu sudah pemilu. Dan pimpinan puncak pun berganti. Apalagi dua periode sudah berlalu. Tentu tidak mungkin sang pimpinan kembali menduduki posisi puncak. Puncak harus ditempati orang lain.
Banyak yang menaruh harapan pada sang pemimpin puncak. Janji-janji perubahan menuju perbaikan pun mulai dijalankan. Sayangnya, perubahan itu termasuk juga yang menimpa tempat kerjamu.
Sebenarnya, sih, tidak ada yang salah. Hanya saja, kadang beda kepala beda persepsi juga. Entah dapat masukan dari mana, tiba-tiba saja unit organisasimu diputuskan untuk pindah ke instansi lain. Peraturannya bahkan sudah diketok palu. Sebagai aparat pelaksana, para pegawai di tempatmu jelas wajib mengikutinya.
Dalihnya adalah untuk efektivitas kerja. Namun, kau juga tidak menutup telinga terhadap selentingan-selentingan yang beredar. Bahwa beberapa pejabat dan pegawai di tempatmu memiliki kepentingan tertentu dan berpikir bahwa mungkin saja proyek-proyek yang mereka pegang akan lebih lancar dan anggarannya bertambah jika dipindah ke instansi lain. Ingat, kan? Unit organisasimu bukan unit “favorit”. Anggarannya, meski besar, tetapi masih kalah dibandingkan unit organisasi lainnya. Wajar jika kemudian beberapa orang yang merasa berkepentingan jadi berpikir, mungkin anggaran justru akan bertambah jika unit organisasi berpindah ke tempat lain. Lagipula, mumpung lagi pembentukan kabinet baru, nih.
Orang-orang inilah yang disinyalir rajin melobi. Sehingga akhirnya … VOILA! Muncullah peraturan yang memisahkan unit organisasimu dari instansi induk. Artinya, kau dan orang-orang di unit organisasi tempatmu bekerja harus bersiap pindah status menjadi pegawai instansi lain.
Hanya saja, sebagian yang lain justru tidak setuju. Apalagi instansi tempatmu bekerja ini termasuk salah satu yang bergengsi—masih ingat juga, kan? Mereka tidak mau melepaskan status sebagai PNS dari instansi bergengsi. Ada jiwa korsa yang sudah telanjur melekat kuat. Dan ketika menteri terpilih sempat melontarkan bahwa unit organisasi tidak akan pindah, tarik-menarik kepentingan pun terjadi dan mau tidak mau membuat suasana kerja menjadi tidak nyaman. Suara terpecah.
Kau sendiri sebenarnya ada di posisi netral. Setidaknya, begitulah menurut pandangan teman-temanmu. Kau tidak terlalu ambil pusing. Karena, toh, sedari awal kau mendaftar di instansi ini juga dalam rangka mencari pekerjaan. Jadi, dipindah ke mana pun, kau tidak masalah. Yang penting kau tetap bisa bekerja.
Masalah muncul ketika kau dimasukkan ke dalam tim untuk menyusun unit organisasi yang baru. Ada dua calon unit organisasi yang akan disusun di instansi lain dan pastinya keduanya membutuhkan rancangan struktur yang kuat. Kau sudah terbiasa dalam menganalisis organisasi. Makanya, kau ada dalam tim. Bahkan, kau lagi-lagi menjadi tangan kanan kepercayaan para pejabat. Persoalannya adalah, ternyata ada unit organisasi ketiga yang rencananya akan tetap berada di instansi tempat kerjamu saat ini. Ini artinya, tim harus memilih siapa yang akan dipindah dan siapa yang akan tetap berada di instansi.
Sejak itu, kau menjadi orang yang paling dicari di kantor. Mereka mencoba mendekatimu dan melobi agar tidak ikut dipindah. Kau pun pusing. Bagaimana tidak? Dihitung dari jumlah rancangan unit organisasinya saja, sudah bisa ditebak kalau nantinya akan lebih banyak orang yang dipindah ketimbang dipertahankan. Berdasarkan informasi yang kau terima, paling hanya sekitar lima puluhan saja yang akan ditempatkan di organisasi ketiga. Padahal, jumlah keseluruhan pegawai di unit organisasi ini ada lima ratusan. Lima puluh dari lima ratus. Berapa persen itu? Akhirnya, kau tidak bisa menjanjikan apa-apa.
Posisimu kian lama kian terjepit. Kedua belah pihak sama-sama memiliki kepentingan. Kau bisa melihatnya dengan jelas. Kubu pro pemisahan terus berusaha melobi instansi baru agar mau menerima. Sementara kubu kontra berusaha mencari jalan untuk tetap bertahan. Para “aktivis” pro pemisahan tampaknya sudah tidak sabar dengan pundi-pundi proyek yang terpampang di depan mata. Kau bisa melihat itu dari setiap diskusi yang mereka lakukan baik di ruang rapat maupun obrolan makan siang. Namun, taktik yang dilakukan kubu kontra pun tak kalah canggih. Misalnya, beberapa pejabat tahu-tahu ada yang dicopot dan dilantik di tempat lain. Mereka yang sudah telanjur dilantik tentu saja tidak akan ikut dipindah.
Yang kasihan adalah para staf biasa. Beberapa tiba-tiba mengajukan pindah. Dan tentu saja permohonan mereka semuanya ditolak. Bahasa halusnya, di-pending. Ini adalah istilah yang politically correct. Benar secara politis. Bahasa halus untuk “tidak disetujui” karena begitu organisasi terbentuk, pejabat yang mengurusi kepegawaian akan berganti dan belum tentu permohonan-permohonan pindah itu akan disetujui.
Tarik-menarik kepentingan jelas terpampang dengan gamblang. Para pendukung pemisahan tidak ingin gagal. Makanya, mereka dengan segala macam cara berusaha menarik pindah para pegawai. Mau tidak mau, suka tidak suka, pokoknya harus pindah. Begitu menurut mereka. Karena, kalau tidak ada pegawai yang dipindah, siapa yang mau mengerjakan segala macam proyek tersebut?
“Kita harus menyelamatkan organisasi!” Begitu salah satu pejabat—pro pemisahan—di tempatmu dengan heroik berkata.
Dan langsung disambar dengan yang lain yang menentang pemindahan. “Menyelamatkan organisasi atau proyek? Bilang saja tidak mau kehilangan proyek! Ujung-ujungnya DUIT!”
Suatu ketika, ada seseorang yang mendatangimu. Dia adalah orang yang kesekian kalinya mengajukan permohonan pindah ke unit organisasi lain. Kau yang suntuk pun langsung melontarkan kalimat andalan sebagaimana yang sering didoktrinkan di kepalamu ketika masa-masa dulu menjalani orientasi pegawai baru.
“PNS itu harus bersedia ditempatkan di mana saja.”
Ucapanmu lalu dianggap sebagai tantangan debat.
“Sebelum bicara tentang ‘bersedia ditempatkan di mana saja’, tolong jawab ini dulu: apakah pegawai melekat pada tugas dan fungsi organisasi?” Begitu kata salah seorang pegawai yang menolak dipindah.
“Peraturan sudah ditandatangani presiden. Maka tugas kita adalah melaksanakannya.” Atasan eselon IV-mu yang menjawab.
“Memang kata siapa organisasi kita pindah? Itu intepretasi Anda sebagai orang yang haus akan proyek! Yang sudah pasti, organisasi bubar. Dan jika organisasi bubar, maka logikanya kita dikembalikan ke sekretariat. Bukan otomatis pindah ikut pindah ke instansi lain.” Pegawai itu kembali mendebat.
“Kamu itu orang unit organisasi ini, bukan?” Eselon IV-mu tampak terpancing.
“Saya orang kementerian!” jawab si pegawai semakin sengit.
“Pakai logikamu!”
“Saya selalu pakai logika. Logika Anda itu yang SOMPLAK! Gara-gara ngiler ngebayangin duit, sih!”
Nyaris saja terjadi baku hantam jika kau dan teman-teman di ruanganmu tidak sigap mencegah. Namun, memang beginilah suasana yang terjadi di kantormu. Nyaris setiap hari. Selalu panas dengan debat dan tarik-menarik kepentingan.
Lalu suatu hari kantor kembali heboh ketika muncul broadcast dari salah seorang pejabat. Pejabat tinggi eselon II. Direktur. Yang kau tahu persis merupakan salah seorang yang sangat vokal menyetujui pemisahan unit organisasi.
“Jadilah jiwa-jiwa petarung, pelaut air asin yang bersedia ditempatkan di mana saja. Bukan pelaut air tawar yang suka memilih-milih tempat. Berpikirlah seperti pasukan khusus yang siap ditugaskan di mana saja. Jangan gunakan pola pikir yang hanya mau ditempatkan di level kecamatan. Kapan mau maju? Orang-orang yang menolak dipindah sama sekali tidak memiliki jiwa taruna.”
Entah apakah maksudnya memotivasi atau justru menyindir. Karena, broadcast itu malah membuat suasana tambah membara.
“Omongan kentut! Kayak gini, kok, dijempolin? Jangan mentang-mentang direktur lalu omongannya dianggap selalu benar! Ini omongan orang gila! Coba baca kata-katanya: ‘pelaut air tawar’. Sejak kapan air laut itu tawar? Sok motivator tapi ngawur! Kayak gini, nih, idola kalian?”
Salah seorang pegawai terang-terangan datang melabrak.
“Ayo keluarin SK[1] mutasinya! Begitu SK keluar, saya langsung resign! Makan, tuh, status PNS! Makan, tuh, proyek!”
Dan suara bantingan pintu langsung terdengar begitu pegawai itu keluar ruangan dengan penuh emosi.
Lama-lama kau pun goyah. Kau hanya ingin menjalankan tugas dengan baik. Namun, kau lama-lama juga tidak bisa menutup mata dan telinga terhadap apa yang terjadi. Mereka semua teman-temanmu. Dan mereka galau. Dan jangan lupa juga dengan nasibmu sendiri. Kau masih mau bekerja, kan?
Waktu berjalan. Beberapa bulan telah berlalu sejak awal mula huru-hara wacana mutasi. Kini, mutasi bukan lagi sekadar wacana. Mutasi adalah nyata. Sebagian besar pegawai unit organisasi harus pindah ke instansi baru. Hanya sebagian kecil yang ditinggal. Tentu saja termasuk para pejabat yang sudah ditarik ke tempat lain. Ah, enak benar jadi pejabat, ya?
Dan kau pun terbelalak ketika mendapati nama direktur yang begitu vokal menyetujui pemisahan, ternyata termasuk yang tidak ikut dimutasi!
“Ini berdasarkan analisis jabatan yang sudah dibuat. Dan menurut hasil analisis, Pak Direktur termasuk yang masih dibutuhkan di instansi ini. Ini dinilai dari kapasitas, kompetensi, dan latar belakang pendidikan beliau. Instansi ini masih membutuhkan beliau.”
Begitu argumen dari para petinggi tim penyusun struktur organisasi.
“Kita harus lihat tugas dan fungsi dari organisasi yang akan dibentuk ini. Cocok tidak dengan para pegawainya? Harus dilihat secara komprehensif, mulai dari latar belakang pendidikannya, juga posisi mereka saat ini.”
“Yang sudah terbiasa mengurusi core di unit lama sebaiknya termasuk yang dimutasi saja. Supaya mereka bisa membawa aspirasi di instansi baru. Kita, kan, tidak tahu juga seperti apa orang-orang di instansi baru nanti. Jangan sampai malah nanti proyek-proyek ini terbengkalai.”
“Tapi, unit organisasi yang tetap berada di instansi ini juga membutuhkan orang-orang yang paham dengan pekerjaan di unit terdahulu. Pembangunan, kan, tetap butuh perencanaan. Kalau semua perencana pindah, nanti koordinasinya malah jadi susah.”
“Ya kalau instansi kita memang masih butuh fungsi perencanaan, kenapa malah dipindah? Kenapa tidak tetap saja di sini?”
“Karena peraturannya sudah ditandatangani presiden.”
“Kenapa draf aturan seperti itu bisa muncul? Siapa perancangnya?”
“Pak Menteri yang baru terpilih sempat berkata bahwa orang-orangnya tidak akan pindah. Kenapa keputusannya malah jadi pindah?”
“Karena kalau tidak ada orang dari sini, nanti malah pekerjaannya berantakan.”
“Kalau begitu, kenapa tidak semuanya saja pindah? Kenapa malah ada yang dipertahankan?”
“Ya, kan, karena di instansi ini juga masih butuh perencana.”
“Kalau begitu harusnya dari awal tidak usah ada pemindahan tugas dan fungsi saja.”
“Siapa, sih, konseptor peraturannya?”
“Siapa, sih, yang melobi?”
“Kenapa ada orang yang melobi?”
“Orang-orang yang melobi itu sebenarnya punya kepentingan apa?”
“Demi efektivitas kinerja.”
“Bullshit!”
“Efektivitas kinerja apa? Mana analisisnya?”
“Sudahlah. Peraturannya sudah ketok palu. Mau tidak mau harus dilaksanakan.”
“Kacau kalau seperti ini.”
Kau hanya terdiam mendengarkan diskusi para pejabat itu. Pembicaraan-pembicaraan seperti ini bukan barang baru bagimu. Makanya, kau pun sebenarnya sedikit banyak tahu dengan yang tengah terjadi. Namun, semua itu kau simpan rapat-rapat. Kau banyak tahu pun memangnya bisa apa? Kau bukan pengambil keputusan, apalagi kebijakan.
Dan soal pejabat yang main kabur ke unit organisasi lain supaya tidak dimutasi … oh, jangankan pejabat. Salah seorang temanmu sesama staf bahkan ada yang begitu vokal juga dan sangat bersemangat untuk pindah instansi. Namun, ternyata malah namanya termasuk yang dipertahankan. Sekarang suaranya kicep. Mulutnya mingkem. Entah apakah dia masih berani beredar dengan omong besarnya. Paling juga setali tiga uang dengan si direktur yang sejak namanya dipertahankan di instansi jadi tidak pernah terlihat lagi di ruangannya. Takut dicegat dan digebuki orang. Paling begitu.
“Sob, bisa nggak lo bikin nama gue termasuk ke yang nggak dimutasi?”
Salah seorang pegawai suatu hari berusaha merayumu. Lagi-lagi kau didatangi seperti ini oleh pegawai yang berusaha agar tidak ikut dimutasi.
“Kan lo pegang daftarnya. Lo tinggal pindahin nama gue. Gampang.” Ia kembali merayu.
Kau tidak menjawab. Memangnya dikira gampang memindahkan nama orang? Bagaimana dengan pertanggungjawabannya? Bagaimana kalau nanti ditanya alasannya? Lagipula, memangnya kau punya wewenang?
“Tolong berikan daftar nama para pegawai di unit organisasi ini semuanya.” Suatu hari kau mendapat perintah seperti itu dari atasanmu. Kali ini atasan tertinggi, pejabat eselon I. Kau pun dengan sigap segera mencetak daftar nama-nama tersebut ke dalam beberapa lembar kertas yang kemudian kau serahkan kepada atasanmu. Yang tidak kau duga, ternyata atasanmu memintamu untuk duduk dan lalu mengajakmu berdiskusi.
“Menurut Anda, siapa saja yang seharusnya pindah dan siapa saja yang sebaiknya tinggal?” Tiba-tiba ia bertanya padamu. Kau pun bingung menjawabnya.
“Selama ini Anda begitu cekatan menyusun organisasi. Termasuk membuat SOP[2] dan analisis jabatan, termasuk juga untuk pengembangan pegawai-pegawainya. Cara Anda menyusun dan menaruh pegawai sesuai dengan kapasitasnya sudah tidak diragukan lagi. Organisasi selama ini bisa berjalan efektif salah satunya karena Anda.” Atasanmu mulai memuji. Itu memang pekerjaan yang selama ini kau lakukan. Meski bukan yang menjadi inti unit organisasi, pekerjaanmu ternyata memegang peranan penting.
“Itu sebabnya, saya butuh opini Anda untuk menentukan mana saja pegawai yang harus dimutasi, dan mana yang tetap tinggal.” Atasanmu mengulangi permintaannya.
“Dan saya yakin, Anda pun pasti tahu seperti apa kondisi di sini. Tentu bukan berarti saya membenarkan yang terjadi. Namun, instansi ini memang memiliki gengsi tinggi. Sangat prestisius dan menjadi incaran para sarjana. Semua yang bekerja di sini hampir pasti memang mengimpikan untuk bekerja di sini. Itu sebabnya proses mutasi ini menjadi penuh gejolak. Siapa pun rasanya tidak mau pindah dari sini.” Atasanmu berkata panjang lebar.
Betul, kecuali orang-orang yang mengincar kepentingan tertentu, ujarmu dalam hati.
“Saya juga tidak menutup mata terhadap dinamika yang terjadi di sini. Ya … saya tahu ada beberapa orang yang melakukan sesuatu. Lobi tingkat tinggi sehingga keluar peraturan yang memisahkan unit organisasi ini dari instansi induk. Isu ini semakin lama semakin santer. Hanya saja, karena saat ini peraturan sudah disahkan, kita tidak punya pilihan selain mematuhinya.”
Atasanmu menghela napas, lalu menyerahkan kembali lembaran-lembaran kertas yang dipegangnya kepadamu.
“Coba Anda tandai nama-nama yang menurut Anda layak. Mana yang sebaiknya pindah dan mana yang sebaiknya tinggal.”
Kau menerima kertas itu dengan tangan gemetar. Benakmu bertanya-tanya. Masakkan harus kau yang memutuskan?
“Anda tahu apa yang harus Anda lakukan, bukan? Anda tinggal lingkari saja nama orang-orang yang menurut Anda harus pindah. Tentu berdasarkan kriteria yang saya yakin Anda sudah hafal di luar kepala. Disesuaikan dengan kompetensi, kapasitas, latar belakang pendidikan, pekerjaan yang mereka tangani saat ini, dan kriteria-kriteria lain yang menurut Anda tepat.”
Atasanmu lalu berdiri ketika ponsel di sakunya berdering.
“Ya? Halo?” Ia berjalan menjauh untuk menerima telepon. Meninggalkanmu yang terbengong-bengong dengan daftar nama sebanyak lima ratus orang di tanganmu.
“Eh, iya. Saya harus bertemu sebentar dengan Pak Menteri. Tolong, ya? Gampang, kan? Nanti saya kembali lagi.” Atasanmu kemudian keluar ruangan.
Kau akhirnya mau tidak mau berkutat dengan pekerjaanmu. Melingkari daftar-daftar nama yang menurutmu harus pindah. Dan menandai nama-nama lainnya yang sebaiknya tinggal. Tentu saja termasuk juga namamu. Sesuai dengan kompetensi. Jangan lupa, kau adalah ujung tombak untuk menganalisis organisasi selama ini. Organisasi baru jelas butuh orang sepertimu. Supaya tugas dan fungsinya terarah, efektif, dan efisien seperti yang diinginkan untuk memaksimalkan kinerja.
…
“Sob, lo bisa bantu gue buat balik lagi ke instansi lama, nggak?”
Berbulan-bulan berlalu sejak mutasi massal, kau akhirnya bertemu lagi dengan salah satu temanmu yang kini sudah beda instansi. Ya. Kau ternyata termasuk yang ditinggal di instansi lama.
“Kenapa?” tanyamu.
“Nggak enak. Lebih enak di tempat lama. Kulturnya beda.”
Dan karena proyeknya ternyata tidak berjalan seperti yang dibayangkan? Tanyamu dalam hati.
“Lagipula, gue dari dulu, kan, memang pengen masuk ke instansi lama. Gue ikut ujian di situ. Dan lulus. Gue nggak milih instansi yang sekarang.”
“Coba dulu saja. Ini, kan, baru beberapa bulan.” Kau menanggapinya. “Lagipula, tim sudah bekerja keras untuk memilih para pegawai. Semua diseleksi dari kompetensi keahliannya. Kalau lo ada di sana, itu artinya lo kompeten,” ujarmu.
Temanmu terdiam.
“Ini pun juga sudah dianalisis berdasarkan beban kerja dan jabatannya. Artinya, ini adalah keputusan terbaik. Lagipula, bukankah PNS itu harus bersedia ditempatkan di mana saja?”
Temanmu lagi-lagi terdiam. Meski kau bisa melihat betapa raut wajahnya penuh dengan ketidakpuasan.
“Lo bisa ngomong begitu karena posisi lo enak. Lo nggak termasuk yang dimutasi.” Ia akhirnya kembali berkata.
Kali ini giliran kau yang terdiam.
“Sebenarnya apa, sih, kriterianya?” Ia penasaran.
Kau mengangkat bahumu. “Keputusan pimpinan. Hanya beliau yang tahu.”
Temanmu tertawa tertahan. Raut wajahnya begitu sinis. “Memangnya pimpinan itu Tuhan?” Ia kemudian berdiri dan melengos pergi.
Kau masih di tempatmu sambil memandang punggung temanmu yang berangsur menghilang. Segala keputusan memang tidak bisa menyenangkan semua pihak. Pasti akan ada yang tidak puas dan merasa dikorbankan. Itu juga sebabnya kenapa kau akhirnya memutuskan untuk mengambil kesempatan. Daripada kesempatan itu diambil orang lain. Ya, kan?
Betul, bahwa pemilihan nama adalah keputusan pimpinan. Yang orang tidak tahu, sang pimpinan menyerahkan wewenangnya kepadamu. Kau pun mengambil kesempatan itu untuk tidak melingkari namamu sendiri. Itu sebabnya kau masih di sini. Di instansi lama impian banyak orang, yang gengsinya tinggi, begitu pula anggaranannya.
Realistis saja. Kau butuh gengsi, kan? Juga uang, kan?
---
[1] Surat Keputusan
[2] Standard Operational Procedure (Prosedur Operasional Standar)