Disukai
1
Dilihat
932
KABULKU
Slice of Life

Ini dimulai saat usiaku 9 tahun. Waktu itu, di malam menuju ulang tahunku, aku bermimpi. Seseorang mendatangiku yang sedang duduk di bangku panjang. Sepertinya ini di sebuah stasiun kereta, hanya saja semua temboknya bercat putih bersih. Tidak ada sampah, tidak ada tempat sampah. Hanya ada bangku-bangku panjang dan pohon dalam pot-pot beton saja.

“Kamu besok ulang tahun?” tanya orang itu.

Aku mengangguk ragu. Aku tidak kenal dia, tapi wajahnya sangat ramah padaku. Padahal Mama selalu mengatakan jangan pernah bicara dengan orang asing. Tapi wajah ramahnya membuat pertahanan diriku hilang.

“Kamu mau kado ulang tahun apa?”

Ini sangat aneh. Mengatakan keinginanku pada orang asing, jelas sesuatu yang aku tahu sangat tidak boleh. Dia bisa saja ingin menculikku. Tapi lagi-lagi, wajah ramahnya membuatku menjawab kali ini.

“Aku mau Papa pulang,” ucapku.

Orang asing itu menarik napas panjang.

“Itu sulit, karena Papamu sudah tidak bisa pulang lagi. Ada keinginan lain?”

Rasa kecewa melanda diriku. Aku kira, dengan meminta kepada orang ini, Papa bisa pulang. Mama selalu bilang suatu saat di hari uang tahunku, Papa akan pulang. Tapi ternyata bukan di tahun ini.

“Aku mau sepeda,” jawabku asal-asalan.

“Oke, hadiah sepeda untuk ulang tahunmu besok,” katanya lalu tersenyum.

Hanya itu percakapan terakhir kami, lalu tiba-tiba aku terbangun. Kulihat sudah jam 6 lewat. Dari jauh, aku mendengar suara teriakan Mama memanggil namaku

“Pan….. Topaaaann….!!”

Aku bangun dari tempat tidur, keluar kamar, dan mencari suara Mama. Mama ada di teras. Aku menghampirinya, dan melongo ketika Mama dengan muka panik berdiri di samping sebuah sepeda berwarna merah.

“Topan, ini ada sepeda buat kamu,” kata Mama dengan suara kebingungan.

Kuhampiri Mama dan sepeda yang ada di sampingnya. Kulihat sepeda merah tersebut. Ini sama bagusnya dengan sepeda Hasan, teman sekelasku. Di bagian stang, aku melihat sebuah kartu ditempelkan. Kuambil kartu tersebut dan kubuka.

Selamat Ulang Tahun, Taufan. Selalu jadi anak baik demi Mamamu ya…

Aku kebingungan. Kupandangi Mama. Ia juga sama bingungnya. Tidak mungkin Mama diam-diam membelikan aku kado sebuah sepeda keluaran terbaru. Uang kami tidak sebanyak itu.

“Ini dari siapa, Ma?” aku bertanya.

“Mama juga nggak tahu, Pan. Begitu buka pintu, mau nyapu, sepeda ini udah ada di sini. Mama kira punya orang, tapi pas baca kartunya, ini buat kamu,” jelas Mama.

Aku teringat mimpiku semalam. Aku tahu, tidak mungkin orang asing dalam mimpiku datang dan benar-benar memberikan kado sebuah sepeda yang kuminta secara asal. Ini sangat aneh.

“Bu Tati, udah ada uang ya buat beli sepeda. Berarti bisa dong bayar kontrakan bulan ini nggak ngaret,”

Tante Wina, tetangga seberang rumah, yang juga pemilik kontrakan langsung berkomentar di tengah kebingungan kami. Mama hanya tersenyum salah tingkah sambil menuntun sepeda dan diriku masuk ke rumah.

“Kamu benar nggak tahu ini dari siapa, Pan?” tanya Mama sekali lagi saat kami sudah di rumah.

Aku menggeleng.

“Ya sudah, kita tunggu seminggu ya. Kalau seminggu ini benar-benar nggak ada yang datang ke sini buat ambil sepeda ini, kamu boleh pakai sepedanya,” kata Mama.

Aku hanya mengangguk ragu.

***

Setahun berlalu, aku sudah tidak ambil pusing dengan kejadian kado sepeda dari orang asing. Seminggu setelah kejadian itu, tidak ada yang datang untuk mengambil sepeda. Aku akhirnya memakai sepeda itu untuk pergi ke sekolah. Sepeda itu berhasil menekan pengeluaran ongkosku, dan membuat Mama bisa membayar uang kontrakan tepat waktu.

Malam ini, di malam ulang tahun menuju usia 10 tahun, aku tidak ada pikiran aneh sama sekali. Hanya tidur saja sambil berdoa, semoga aku bisa terus menjadi juara kelas agar semua buku paket dan uang SPP bisa gratis lagi.

Tapi, seperti dipaksa untuk mengingat, aku kembali bermimpi kejadian setahun yang lalu. Aku duduk di bangku panjang, di sebuah stasiun yang sangat bersih bercat putih. Pohon yang ditanam di pot beton, sudah lebih tinggi dari pertama kali kulihat setahun kemarin. Lalu datang lah dia, orang asing dengan wajah yang sangat ramah itu.

“Kamu besok ulang tahun?”

Pertanyaannya sama persis dengan tahun lalu. Dan sama seperti tahun lalu, aku hanya mengangguk ragu.

“Kamu mau kado ulang tahun apa?”

Dan jawabanku masih sama, “Aku mau Papa pulang.”

“Papamu tidak bisa pulang, Taufan. Ada permintaan lain?”

Tanpa mau bertanya kenapa Papa tidak bisa pulang, rasa kecewa kembali melandaku.

“Aku mau roller blade,” ucapku asal seperti tahun lalu.

“Oke, hadiah roller blade untuk ulang tahunmu besok,” ucapnya lalu tersenyum.

Dan sisanya, sama seperti tahun lalu. Aku bangun tidur, Mama berteriak memanggilku dan sudah ada kotak berisi roller blade dengan kartu ucapan.

Selamat Ulang Tahun, Taufan. Selalu jadi anak baik demi Mamamu ya…

***

Tahun-tahun berikutnya, selalu seperti itu. Sampai usiaku 15 tahun, setiap tahun permintaan pertamaku selalu ingin Papa pulang. Tapi orang asing itu selalu mengatakan tidak bisa. Akhirnya aku hanya menyebutkan keinginanku secara asal-asalan, dan selalu terkabul.

Selalu seperti itu. Setiap tahun. Tanpa berhenti. Dengan orang asing yang sama. Dengan lokasi yang sama.

Dan tidak terasa, sudah lebih dari dua puluh tahun ini, akhirnya aku demanding setiap tahunnya. Tidak hanya barang-barang impianku yang aku sebutkan, tapi terkadang keinginan yang sedang aku perjuangkan. Seperti waktu aku ujian masuk perguruan tinggi, dua bulan sebelum ulang tahunku. Aku meminta agar aku lolos seleksi kampus negeri jurusan kedokteran. Walaupun harus menunggu 2 bulan dari janji si orang asing dalam mimpiku, toh ternyata aku lolos juga.

Enak bukan, memiliki satu jatah kabul setiap tahun yang tidak mungkin meleset. Kalau menurutmu enak, ayo tukar nasib denganku, dan memohon untuk sebuah kematian. Apakah masih enak?

***

Aku baru saja selesai mengoperasi pasienku sore ini. Walaupun masih menjadi asisten dokter bedah senior, tetapi pengalaman operasi selalu bisa membuatku menghargai hidup. Ada banyak air mata yang tumpah selama operasi berjam-jam.

“Pan, piket malam?” tanya Wildan, salah satu teman seangkatan di rumah sakit tempatku bekerja.

“Iya, gantiin Seno, dia ada urusan keluarga.”

“Nikah, Pan. Selama lo single, lo bakalan jadi sasaran buat ngegantiin piket mulu,” kata Wildan.

Aku hanya mendengus saja,malas berdebat. Sudah menjadi rahasia umum, dokter-dokter yang belum menikah, sering kelimpahan tugas tambahan atau jadwal piket pengganti. Mungkin mereka melihat kami, para single, tidak memiliki seseorang yang menuntut untuk diperhatikan.

Hidup berdua dengan Mama membuatku merasa terhimpit. Semua harapan Mama menjadi beban tersendiri untukku. Seperti menjadi dokter bedah ini. Kalau bukan karena aku mendengar doa-doa Mama yang diucap sambil menangis, menginginkan aku untuk jadi dokter, mana mungkin aku menghilangkan satu tiket kabulku untuk lolos ujian masuk kampus negeri jurusan kedokteran. Padahal kalau saja Mama tidak memintaku jadi dokter, aku pasti sudah bekerja di perusahaan IT di luar negeri dengan gaji lebih besar daripada harus membelah tubuh orang.

Mama memang tidak pernah memintaku untuk membelikannya tas-tas mahal, atau rumah yang besar, atau mobil yang bagus. Ia hanya memintaku untuk membahagiakannya lewat doa-doanya saat menangis sehabis solat.

“Ya Allah, semoga Topan bisa mengangkat derajat keluarga ini, agar tidak direndahkan lagi oleh para tetangga…”

Tiket kabulku kupakai untuk meminta rumah sendiri agar bisa pindah dari kontrakan. Empat bulan setelah permintaan itu, aku diterima bekerja di rumah sakit tempatku bekerja saat ini, dengan gaji lumayan dan insentif yang cukup besar. Belum lagi, karena aku masih mengasah kemampuan IT-ku dan sering menerima side job coding, ada banyak tawaran coding masuk dan dalam waktu empat bulan, aku bisa melunasi uang muka sebuah rumah sederhana yang saat ini cicilannya sudah kulunasi.

“Ya Allah, semoga Topan punya rezeki untuk bisa membeli mobil, agar tidak naik angkutan umum lagi. Di antara teman-temannya, hanya Topan yang belum punya mobil…”

Tiket kabulku untuk doa itu, kuminta untuk diberikan sebuah mobil. Tidak sampai satu bulan, temanku dipindah tugas ke rumah sakit daerah, dan ia berencana menjual mobilnya dengan harga miring. Langsung kubeli mobilnya saat itu.

“Ya Allah, semoga anakku punya rezeki untuk memberangkatku umrah ke Tanah Suci. Aku ingin berkunjung ke rumahmu, ya Allah…”

Tentu saja, tiket kabulku tahun itu kupakai untuk meminta agar Mama bisa berangkat umrah. Satu minggu setelah permintaan itu, aku terpilih dari kantor untuk berangkat umrah bersama Mama.

Dan masih banyak “Ya Allah…” lainnya yang setiap tahun kupakai untuk tiket kabulku. Kalau saja aku tidak pernah dewasa, kalau saja aku tidak pernah mengerti bagaimana sulitnya perjuangan Mama untuk membesarkanku, pasti semua tiket kabulku akan kugunakan sesuai dengan keinginanku.

Drrrtttt….drrrttt… Handphoneku bergetar. Kulihat Mama mengirimkan pesan singkat.

·  Pan, kamu piket malam ya? Jangan lupa makan ya sayang. Mama selalu doain semoga kamu sehat dan sayang terus sama Mama

Aku mendengus tersenyum. Harusnya kata-kata sayang seperti ini menjadi obat penenang yang ampuh untukku. Aku lalu membuka sosial media dan mencari nama Valin Hainandar. Ku-klik nama tersebut dan mendarat di halaman media sosialnya. Ku-scroll pelan semua foto-fotonya, tanpa berani melakukan dua kali klik pada fotonya. Dadaku bergemuruh.

Dua bulan lagi ulang tahunku. Tahun ini, apakah harus memakai tiket kabulku untuk membuat hatiku mati rasa agar hanya bisa menyayangi Mama, atau meminta agar Valin bisa jadi milikku?

***

Kamis ini aku libur. Lucu kan hari liburku. Aku tidak mungkin libur weekend, karena weekend justru jadwal terpadatku. Biasanya hari liburku kuhabiskan untuk seharian di depan laptop, mengerjakan side job atau sekadar melakukan coding. Mama tidak pernah protes dengan apa yang kukerjakan di hari liburku.

“Libur gini nggak pergi, Pan?” tanya Mama saat aku selonjoran di sofa dengan laptop dipangkuanku.

“Mau pergi ke mana, Ma? Males keluar,” jawabku singkat.

“Eh, kamu jadi seminar ke Kanada bulan depan?” tanya Mama.

“Kayaknya jadi, Ma. Di divisi bedah yang jadwalnya fleksibel buat dikirim-kirim kayaknya aku doang,” ujarku, sambil memancing obrolan ke arah ‘sana’.

“Emang kamu nggak punya jadwal operasi?”

“Jadwal operasi sih ada, cuma yang bisa pergi berminggu-minggu tanpa diprotes keluarga, kayaknya Topan doang,”

“Kenapa gitu?”

“Soalnya Topan doang yang masih single. Jadi dianggap masih bisa pergi lama tanpa diprotes sama keluarga. Kalau yang lain kan udah punya anak-istri. Kalau dikirim pergi lama-lama, ada pertimbangan keluarga juga kali, Ma,” jelasku, semakin menjurus ke arah ‘sana’.

“Emangnya yang kayak gitu bisa jadi alasan? Lagian, emang kamu udah siap buat punya keluarga sendiri?”

Akhirnya, Mama mengeluarkan pertanyaan pamungkasnya. Ini yang dari dulu aku tunggu-tunggu.

“Kalau Topan kenalin teman perempuan Topan ke Mama, mau nggak?”

“Kamu udah punya pacar?”

“Kalau Mama restuin, ya pacarannya nggak usah lama-lama. Lagian Topan tahun ini udah 30 tahun, Ma,”

“Yang mau kamu kenalin ke Mama, dokter juga?”

“Bukan, Ma. Dia desain grafis,”

“Kamu kenal di mana?”

“Dulu sempat jadi klien Topan, Ma,”

“Berhijab?”

Aku menggeleng.

“Mama percaya, laki-laki baik itu pasti ketemunya perempuan baik juga. Kalau nanti sudah ketemu perempuan baik, baru dibawa ke rumah ya, kenalin ke Mama,”

Pembahasan ini di skak mat oleh Mama. Rasa-rasanya kalau aku ceritakan tentang Valin, Mama pasti bisa jantungan. Bagaimana bisa, anak laki-laki yang selama ini dipikiran Mama adalah anak baik super penurut dan seorang dokter bedah, bisa kenal bahkan jatuh cinta setengah mati dengan Valin, perempuan dengan rambut warna-warni, perokok, night club sana-sini, dengan dandanan kerja memakai baju menerawang, celana pendek dan boots. Bisa-bisa Mama pingsan.

Aku kenal Valin sekitar 3 tahun lalu, waktu perusahaannya membutuhkan jasa web developer untuk sebuah program. Aku yang waktu itu menyempatkan diri datang ke kantornya, tidak langsung suka pada pandangan pertama. Apalagi dia sama sekali tidak bersingungan dengan pekerjaan yang aku terima.

Beberapa kali datang ke kantornya, dan selalu melihat penampilannya yang stunning sendirian, membuatku berpikir kalau perempuan ini pasti bahagia. Ia bisa bebas memilih gayanya dengan nyaman. Sampai pada satu kejadian, saat aku pergi ke rooftop kantornya, aku melihatnya sedang menelepon sambil merokok. Bukan bermaksud menguping, tetapi posisiku serba salah. Kalau berjalan mundur, aku takut ia melihatku. Jadilah aku berdiam mematung di dekat pintu.

“Emang uang yang gue transfer waktu itu udah abis…? Ya lo juga punya otak dikit dong, ini kan belom akhir bulan, gue belom gajian. Tanggal segini lo minta duit lagi sih, gila namanya. Udah, lo akalin aja dulu gimana nutupinnya. Gaji gue juga nggak gede-gede amat buat hidupin keluarga kita ya. Lagian gue cuma anak kelima, dan nggak pernah minta dilahirin. Jadi jangan kasih beban kayak gini ke gue doang. Lo telfon tuh yang nomor satu sampe empat!!”

Ia menutup teleponnya dengan kasar. Obrolan ketusnya, entah dengan siapa, yang mengisyaratkan protes karena dia menanggung beban keluarga, ingin kuberi tepuk tangan meriah. Aku ingin sekali protes selepas dia, tapi entah kepada siapa. Ia lalu menghisap rokoknya dalam, lalu berbalik cepat ke arah pintu, tempatku berdiri mematung. Aku salah tingkah.

“Kalau mau ngerokok juga, di sini aja, jangan di depan pintu. Jodoh lo jauh nanti,” ucapnya santai.

Dengan ragu, aku jalan pelan ke arahnya. Sial, aku kan tidak merokok. Lalu buat apa aku jalan ke arahnya? Setelah berdiri dekat dengannya dan bersandar pada tembok beton, aku kembali salah tingkah.

“Mana rokok lo?”

“Gue…nggak ngerokok,”

“Terus ngapain ke sini?”

“Cari angin…”

Ia tersenyum mengejek. Saat itu lah, saat aku melihat perubahan raut wajahnya dari marah lalu tersenyum, aku jatuh cinta. Aku tidak pernah merasakan debaran seperti ini sebelumnya. Debarannya terlalu kuat dan dalam.

“Tadi lo denger gue pas telfonan, ya?” tanyanya, masih sambil merokok.

Aku mengangguk canggung.

Curse me!” katanya.

“Maksudnya?”

“Ceramahin gue dong. Biasanya kalau orang-orang lagi dengerin gue maki-maki keluarga gue, semuanya pada ceramahin gue. Atau kalau yang udah sebel sama mulut gue, pada ngatain gue anak durhaka,”

“Gue gak nggak kenal lo. Aneh banget kalau tiba-tiba ceramahin lo,”

“Orang-orang di sosmed juga nggak saling kenal. Tapi kalau ada satu orang yang bikin salah, menghujatnya udah kayak paling kenal sedunia akhirat,”

Aku tertawa mendengar penjelasannya. Aku tahu dia pasti pintar. Di balik rambut warna biru metaliknya saat itu, pasti ada banyak argumen pintar dan segar yang ingin sekali kuketahui.

“Kalau boleh jujur, gue malah mau kasih tepuk tangan buat lo,” ucapku padanya.

“Kenapa?”

“Sampe sekarang, gue masih percaya kalau anak itu tanggung jawab orang tua, tapi jangan dijadikan kebalikan, orang tua juga harus jadi tanggung jawab anak. Buat gue, harusnya kalau mau punya anak, ya karena mau dan mampu punya anak. Karena mau dan mampu merawat sampai besar dan karena mau kasih cinta ke anak sampai mati. Kalau alasan punya anak karena mau pas nanti anaknya besar dia diurusin, buat gue itu egois. Karena nggak ada satu anak pun di dunia ini yang minta untuk dilahirkan. Jadi jangan kasih beban itu ke mereka,” jelasku.

Perempuan itu melihatku serius sambil mengernyit.

“Lo berapa bersaudara?” tanyanya.

“Tunggal,” jawabku.

Ia hanya tertawa cekikikan, tapi makin lama tawanya makin renyah dan menjadi terpingkal. Aku ikut tertawa kecil, padahal tidak tahu apa yang ditertawakannya.

“Kok ketawa sih?” tanyaku bingung, tapi masih sambil mengikuti ritme tawanya.

Your life sucks!! Pantesan ceramah lo isinya bagus banget,”

“Emangnya lo berapa bersaudara?” aku balik bertanya, walaupun tidak tahu tujuannya ke mana.

“Tujuh. Gue anak kelima,” jawabnya santai.

“Bukannya hidup lo lebih sucks, ya? Tujuh bersaudara dan harus berkompromi sama tujuh kepala????”

“Justru karena tujuh bersaudara, gue bisa anjing-anjingin mas-mas sama mbak-mbak gue. Gue bisa bilang ke mereka, kalau orang tua yang gue urus tiap hari, tiap bulan, tiap tahun, orang tua mereka juga. Gue bisa dengan santai keluar dari rumah, dan bilang ke mereka kalau gue udah nggak mau ngurus orang tua yang tiap hari kerjaannya main judi sama tukang ngutang. Gue juga bisa bebas nolak kirim uang tambahan kalau mereka udah mulai merongrong minta duit lagi lewat adik gue,”

Aku terdiam. Dia benar, hidupku sangat menyebalkan. Tidak ada satu orang pun yang bisa kuajak berdebat atau protes bahwa aku tidak ingin lagi menjadi perantara doa-doa Mama agar semua bisa terkabul. Aku selama ini, menanggung semuanya sendirian.

You’re right, my life sucks,” ucapku pada akhirnya.

Ia tertawa lagi, menghisap rokoknya sekali lagi, lalu membuang puntungnya dan menginjaknya. Ia lalu pergi dari hadapanku.

“Nama lo siapa?” tanyaku dadakan, karena merasakan aku akan melewatkannya.

“Valin…”

“Gue Topan,”

Take a deep breath. Jangan lompat dari sini. Ada CCTV, nanti gue dituduh abis berdebat sama lo dan lo bunuh diri. Gue nggak mau masuk penjara,” katanya.

Ia lalu menarik pintu rooftop, dan pergi meninggalkanku. Meninggalkan gemuruh jantung yang berlomba berdetak paling kencang.

***

Sejak saat itu, entah dengan cara bagaimana, aku menjadi dekat dengan Valin. Ia memberikanku kehidupan baru yang tidak pernah aku temui sebelumnya. Jam-jam malam di night club, waktu suntuk yang kami lalui dengan high, minum bersloki-sloki sampai muntah dan merasa lega luar biasa. Bersama Valin, aku merasa hidup. Bersama Valin, aku merasa bisa menjalani hidup normal tanpa harus menunggu satu malam, setiap tahun untuk mengucap keinginan. Bersama Valin, semua keinginanku tidak perlu menunggu satu tahun.

Tapi aku tahu, kami tahu, bahwa untuk bersama, ada tembok tinggi yang harus kami lalui. Mama. Aku menceritakan tentang Mama pada Valin. Valin tidak ambil pusing. Bagi Valin, jika aku ingin mengenalkannya pada Mama, ia siap saja untuk ikut. Tapi kalau aku bilang belum waktunya, ia juga tidak menuntut apa-apa.

Setahun pertama hubunganku dengan Valin berjalan tenang. Masuk tahun kedua, kami mulai sering bertengkar, karena mulai ada tuntutan darinya untuk menjalani hubungan ini ke arah serius. Sedangkan aku masih belum siap mengenalkannya dengan Mama. Hanya bertahan satu setengah tahun saja, akhirnya kami berpisah. Perpisahan yang hanya status sebenarnya, karena setelah putus, walaupun Valin gonta-ganti pacar beberapa kali, aku selalu jadi ujungnya. Zona nyamannya ada padaku.

Sekarang, setelah tiga tahun mengenalnya, aku ingin agar ia hidup dalam zona nyamannya, denganku. Tapi bagaimana caranya agar perempuan yang aku cintai ini bisa masuk dan diterima Mama. Meminta Valin untuk berubah akan membuatku merasa bersalah. Aku mencintai Valin karena dia Valin. Kalau aku memaksanya berubah demi Mama, aku tidak yakin aku masih mencintainya.

***

Dua bulan sebelum ulang tahunku, malam ini, aku bermimpi kejadian yang harusnya masih belum terjadi. Aku duduk di sebuah stasiun kereta, seperti tahun-tahun sebelumnya. Orang asing yang selama puluhan tahun ini selalu datang di malam yang tepat, kali ini datang dua bulan terlalu cepat.

“Halo, Taufan…”

“Besok bukan hari ulang tahun saya…” ucapku buru-buru.

“Saya tahu. Saya datang lebih awal. Karena ingin berterima kasih padamu,”

“Terima kasih? Untuk apa?”

“Terima kasih, karena selama ini semua keinginan yang kamu ucapkan hampir semua untuk ibumu. Terima kasih, karena membuat saya percaya, bahwa manusia yang keinginannya dituruti pun, masih bisa menjadi seorang hamba yang taat untuk ibunya,”

Aku terdiam. Dipuji seperti ini membuatku merasakan beban yang sangat berat. Tahun ini, aku tidak ingin mengalah pada keinginan Mama.

“Dua bulan lagi, kita akan ketemu lagi, kan?” tanyaku padanya.

“Saya ingin mempercepat keinginanmu. Kamu boleh memintanya sekarang,” jawabnya.

Aku menarik napas panjang. This is it. Aku akan mengutarakan keinginanku.

***

“Innalillahi wa inna ilaihi raji’un….Telah berpulang Ibu Tati Sumaryani usia 62 tahun, alamat jalan Swadaya RT 08 RW 03….”

Aku mendengar pengumuman kematian Mama saat Mama sedang dimandikan oleh petugas masjid. Air mataku masih mengalir sesekali. Wajahku datar bukan main. Penampilan luarku sangat berduka.

Saat di pemakaman, aku menjadi satu-satunya yang duduk sampai semua pelayat pulang. Keadaan fisikku masih berduka. Seseorang datang dan menyodorkan sebotol air mineral.

“Kamu dari tadi belum makan dan minum apa-apa,”

Aku melihat mata Valin yang sembap. Waktu aku memberitahunya kalau Mama meninggal, ia langsung datang ke rumahku dan menemaniku hingga saat ini. Ia duduk di sampingku, di samping kubur Mama. Aku menatapnya. Ia melihatku dengan tatapan sendunya.

“Kenapa ngeliatin aku kayak gitu?” tanyaku.

“Aku gak tahu gimana rasanya jadi kamu. Di hari ulang tahun kamu, Mama malah pergi ninggalin kamu. Aku juga nggak tahu harus bilang apa, karena pasti semua ucapan simpati udah kamu dengar dari tadi. Yang harus kamu tahu, aku bakal terus temanin kamu,”

Hanya seperti itu saja kata-kata yang aku butuhkan. Aku hanya butuh ditemani oleh perempuan ini. Aku teringat kembali mimpiku dua bulan lalu, saat didatangi oleh orang asing berwajah ramah itu.

“Saya ingin mempercepat keinginanmu. Kamu boleh memintanya sekarang,”

“Saya mau Tuhan memanggil Mama pulang. Saya memohon untuk tempat terbaik di sisi-Nya untuk Mama. Saya mau proses yang cepat dan tidak menyakitkan sama sekali…”

“Haruskah meminta sebuah kematian untuk sebuah kado?”

“Anak laki-laki akan selalu menjadi milik ibunya, sampai kapan pun. Dengan menjadi milik Mama, ada satu perempuan yang harus saya lepaskan. Hampir 30 tahun ini, saya sudah mengabdikan diri menjadi milik Mama. Kepemilikannya hanya bisa dihentikan lewat kematian…”

“Baiklah, sebuah kematian untuk kado ulang tahunmu, akan kuberikan. Dua bulan lagi, saat kamu bangun pagi di hari ulang tahunmu, kamu akan kehilangan ibumu…”

Air mataku masih sesekali kubiarkan meleleh. Wajahku datar cenderung ke sedih. Semua orang pasti melihat rasa kehilangan dari fisikku. Yang mereka tidak tahu, hatiku bersorak riang. Pikiranku sudah merancang masa depan dengan perempuan yang saat ini sedang merangkulku.

Mulai saat ini, kabulku akan kuberikan untuk diriku sendiri.

***

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Slice of Life
Rekomendasi