Semua bencana besar dalam sejarah manusia selalu diawali oleh keputusan sepele yang bodoh. Titanic tenggelam karena menyepelekan gunung es. Pompeii hancur karena penduduknya enggan pindah rumah. Dan aku, Cahyo, hancur lebur hari ini karena menyepelekan sebuah menu bernama: "Mie Ayam Rica-Rica Level Kiamat Sugro + Es Susu Soda Gembira".
Kombinasi itu adalah terorisme gastronomi. Mie pedas yang cabainya diimpor langsung dari neraka lapis ketujuh, dicampur dengan susu soda yang fungsinya mengocok perut layaknya mesin cuci bukaan atas.
Pukul 13.00 WIB. Matahari Jakarta sedang lucu-lucunya. Aspal Margonda rasanya bisa dipakai buat goreng kerupuk tanpa minyak. Aku sedang terjebak di tengah kemacetan lampu merah Juanda, mengendarai motor matic yang joknya sudah tipis, membuat getaran mesin langsung memijat area pantat dengan intensitas yang tidak diinginkan.
Awalnya, perutku hanya berbunyi pelan. Kruyuuuuk... Seperti suara anak kucing mengeong minta makan. Aku masih tenang. "Ah, cuma gas biasa," pikirku naif. Aku mencoba membuang gas itu sedikit. Teknik silent but deadly. Pffft. Aman. Hangat, tapi aman.
Namun, sepuluh menit kemudian, suaranya berubah. Bukan lagi anak kucing, tapi suara monster Godzilla yang sedang berkumur.
GROOOOK... BLUBUB... DUG DUG DESS...
Keringat dingin sebesar biji jagung mulai muncul di dahi. Pandanganku mulai berkunang-kunang. Tangan kananku mencengkeram stang motor begitu kuat sampai kuku-kuku jariku memutih. Tangan kiriku memegang perut, mencoba melakukan diplomasi dengan usus besar.
"Tahan, Bro. Tahan. Kita cari masjid atau pom bensin. Jangan bikin malu keluarga."
Tapi ususku adalah negosiator yang buruk. Dia membalas dengan kontraksi dahsyat yang membuatku reflek berdiri di atas motor alias standing sesaat.
"KELUARKAN ATAU KITA LEDAKKAN SEKARANG!" teriak ususku.
Aku butuh toilet. Sekarang.
Pemberhentian 1: SPBU Pembawa Petaka
Mataku yang sudah buram karena menahan sakit menangkap plang merah-putih Pertamina sekitar 300 meter di depan. Itu dia! Sebuah harapan!
Aku bermanuver gila-gilaan. Menyalip angkot, memotong jalur Gojek, bahkan hampir menyenggol gerobak tahu bulat. Masa bodoh... prioritasku sekarang cuma satu: Lubang Kloset.
Aku masuk ke area SPBU dengan kecepatan tinggi, memarkir motor sembarangan di dekat mushola, dan lari dengan gaya jalan penguin, kaki rapat, pantat dikepit, langkah kecil-kecil tapi cepat. Ini adalah teknik lari kuno untuk mencegah kebocoran dini.
Di depan toilet pria, pintunya tertutup rapat. Aku gedor. Dok dok dok! "Mas! Masih lama?!" teriakku histeris.
Hening. Aku gedor lagi lebih keras. Tiba-tiba pintu terbuka.
Yang keluar bukan orang yang habis buang hajat. Yang keluar adalah asap putih tebal dan bau... vape rasa stroberi?
Di dalam toilet ukuran 2x2 meter itu, ternyata ada LIMA ORANG REMAJA berseragam SMA. Mereka membawa ring light, tripod, dan speaker bluetooth yang sedang memutar lagu jedag-jedug kencang sekali.
"Yah, Om. Ganggu aja," kata salah satu remaja yang rambutnya model mullet. "Kalian ngapain di dalem?!" bentakku. "Lagi bikin konten TikTok, Om. Trend joget di toilet. Lighting-nya bagus di sini, estetik temboknya dapet," jawab temannya santai sambil membetulkan posisi HP.
Aku melongok ke dalam. Kloset duduknya... Masya Allah. Tutup klosetnya dipakai duduk oleh salah satu remaja buat pose cool. Lantainya penuh dengan tas sekolah dan jaket. Ini bukan toilet lagi, ini studio syuting.
"Bubar nggak lu semua! Gue mau boker! Udah di ujung tanduk nih!" ancamku. "Yah, bentar Om, satu take lagi. Nanggung fyp nih," tawar mereka tanpa dosa.
Satu take? Dalam hitungan detik, pertahananku bisa jebol. Aku tidak mungkin boker ditonton lima remaja Gen-Z sambil diiringi musik DJ remix. Bisa-bisa aku jadi konten viral: "Seorang Bapak-bapak Mencret Saat Syuting konten TikTok, Netizen: Kasian Banget."
Aku mundur. Aku kalah oleh algoritma media sosial. "Minggir lu semua!" Aku lari kembali ke motor sambil menyumpahi penemu TikTok.
Pemberhentian 2: Minimarket Zona Perang
Satu kilometer berlalu. Rasa mulasnya kini bermutasi. Rasanya bukan lagi sekadar ingin buang air besar. Rasanya seperti ada alien yang ingin menetas keluar dari perutku. Setiap kali motor melindas kerikil sekecil apapun, rasanya seperti kiamat kecil.
Di kiri jalan, ada minimarket berlogo biru-merah-kuning. Tanpa pikir panjang, aku belok. Aku lari masuk, menabrak pintu kaca (untung pintu dorong), dan langsung berteriak pada kasir.
"TOILET! MANA TOILET?!" Kasir itu, seorang mbak-mbak yang sedang makan siang, kaget setengah mati sampai sendoknya jatuh. "Di... di gudang belakang, Mas. Tapi..."
Aku tidak peduli kata "tapi". Dalam kondisi darurat tinja, kata "tapi" tidak ada dalam kamus. Aku lari menerobos tumpukan kardus mie instan di gudang. Di sudut ruangan, ada pintu plastik warna cokelat. Itu dia.
Aku dorong pintunya. Terkunci. Aku gedor. "Woi! Buruan woi!"
Terdengar suara dari dalam. Suara kresek-kresek aneh dan geraman rendah. Grrrhhh... kresss... kresss...
"Siapa di dalem?!" teriakku.
Tiba-tiba si Mbak Kasir lari menyusulku. "Mas... Mas... Jangan dibuka!" "Kenapa?! Ada orang?!" "Bukan, Mas! Itu lagi ada Biawak masuk!"
Hah? "Biawak?!" "Iya tadi ada biawak nyasar dari got samping, lari masuk toilet. Terus pintunya kami ganjel dari luar biar nggak keluar. Lagi nunggu Damkar dateng."
Aku menatap pintu itu. Di dalamnya ada biawak yang mungkin sedang stres.
Pilihannya:
A. Masuk, bertarung one-on-one melawan reptil purba itu demi bisa boker, dengan risiko pantat digigit.
B. Menyerah dan cari tempat lain.
Bayangan pantatku digigit biawak saat sedang dalam posisi paling rentan (jongkok) adalah mimpi buruk yang terlalu absurd. Aku tidak mau headline koran besok berbunyi: "Pria Tewas Kehabisan Darah Digigit Biawak Saat BAB di Minimarket."
"Ya Tuhan... cobaan macam apa ini..." rintihku. Aku lari keluar lagi. Kali ini sambil memegangi pantat dengan kedua tangan, posturku persis seperti orang yang habis disunat tapi versi bungkuk.
Pemberhentian 3: Masjid
Aku kembali ke jalan raya. Air mataku sudah menetes. Bukan karena sedih, tapi karena menahan sakit yang luar biasa. Fesesku rasanya sudah mengetuk pintu gerbang anus, berteriak "MISI! PAKET!"
Di depan ada masjid besar yang sedang direnovasi. Kubahnya belum dicat, menaranya masih kerangka bambu. Tapi biasanya masjid punya toilet yang banyak.
Aku parkir motor, lari terpincang-pincang. Ada tulisan "TOILET" dengan tanda panah ke arah area belakang yang penuh puing bangunan. Aku ikuti tanda panah itu.
Dan sampailah aku di sebuah bilik toilet darurat yang dibuat oleh tukang bangunan. Klosetnya ada. Airnya mengalir deras dari ember. TAPI...
Dindingnya cuma setinggi dada orang dewasa. Dan yang paling fatal: Toilet ini menghadap langsung ke lapangan tempat bapak-bapak warga sekitar sedang kerja bakti mengaduk semen.
Jarak antara kloset jongkok itu dengan kerumunan bapak-bapak cuma sekitar 10 meter. Tanpa pintu. Tanpa penutup depan.
Jika aku jongkok di situ, aku akan bertatapan langsung dengan Pak RT yang sedang mandor. Kami bisa saling menyapa. "Eh, ada tamu... Boker, Mas?" "Iya Pak RT. Semennya kurang air tuh."
Ini bukan toilet. Ini panggung pertunjukan. Aku membayangkan diriku jongkok di sana, mengejan dengan wajah merah padam, disaksikan oleh puluhan pasang mata warga yang sedang istirahat minum kopi.
"Nggak... nggak bisa..." bisikku lemah. Harga diriku masih tersisa sedikit, sekitar 2%. Dan 2% itu melarangku untuk buang hajat secara live show di depan warga.
Aku berbalik arah. Berjalan gontai kembali ke motor. Kakiku gemetar hebat. Rasanya ada batu bata seberat 5 kilo yang menggantung di ujung ususku.
The Final Destination: Tragedi Polisi Tidur
Aku naik motor lagi. Tapi kali ini berbeda. Aku sudah tidak punya tenaga untuk mengebut. Aku pasrah.
Otot lingkar analku sudah bergetar hebat, mengalami spasme otot yang tak terkendali. Dia sudah bekerja lembur bagai kuda selama 45 menit non-stop menahan tekanan hidrolik yang setara dengan bendungan Katulampa siaga satu.
"Mas Cahyo," kata ototku dalam hati. "Maafkan aku. Aku lelah. Aku menyerah." "JANGAN!" teriak batinku. "SEDIKIT LAGI! KOSAN KITA TINGGAL 2 KILOMETER!"
Tapi jalanan tidak kenal ampun. Di depan, ada gundukan aspal jahanam. Bukan polisi tidur standar yang melengkung indah. Ini adalah polisi tidur buatan warga yang bentuknya lancip dan tinggi, seolah didesain khusus untuk menghancurkan shockbreaker dan pertahanan iman.
Aku mencoba ngerem. Tapi tangan kiriku yang satu lagi sibuk memegangi perut, jadi refleks ngeremku telat.
Ban depan motor menghajar polisi tidur itu.
JDAK!
Guncangan itu merambat dari ban, ke suspensi, ke jok, ke tulang ekor, dan akhirnya... menekan tombol EJECT pada sistem pencernaanku.
Waktu seakan berhenti. Slow motion. Aku bisa mendengar suara krek pelan dari pertahananku yang runtuh.
Dan kemudian... terjadilah.
PROT... BROSOT...
Rasanya seperti ada lava pijar yang tumpah. Hangat. Sangat hangat. Basah. Dan penuh sesak.
Dalam hitungan detik, celana dalamku berubah fungsi dari penyangga menjadi penampung. Celana jeans-ku yang ketat dipaksa melebar menampung volume materi yang tak terduga.
Di tengah jalan raya, di atas motor yang masih melaju pelan, aku merasakan sensasi yang paling memalukan sekaligus paling melegakan dalam hidup manusia. Tekanan di perut hilang seketika. Digantikan oleh rasa hangat yang menjalar sampai ke paha dan betis.
Aku tidak berteriak. Aku tidak menangis. Wajahku datar. Kosong. Stoic.
Seorang ibu-ibu naik motor di sebelahku menoleh. Dia mengernyitkan hidung. "Bau apa nih? Kayak septitank bocor," gumamnya pada anaknya yang dibonceng.
Aku tidak menoleh. Aku menatap lurus ke depan dengan pandangan nanar. Bukan Bu. Itu bau kehancuran seorang pria.
Sisa perjalanan 2 kilometer menuju kosan adalah perjalanan paling sunyi dalam hidupku. Setiap kali motor bergoyang, aku bisa merasakan "muatan" di celanaku ikut bergoyang. Cairan hangat itu mulai merembes, membuat jejak basah yang samar di jok motor abu-abuku.
Aku melewati pos ronda tempat bapak-bapak nongkrong. Mereka menyapaku. "Sore, Mas Cahyo! Tumben pelan amat bawa motornya?" Aku hanya mengangguk kaku. Takut kalau aku buka mulut, aku akan menangis meraung-raung. "Iya Pak. Lagi menikmati senja," jawabku dalam hati. ‘Menikmati senja dan tinja’.
Sesampainya di kosan, aku melakukan operasi militer senyap. Parkir motor jauh dari jangkauan pandangan orang. Jalan mengangkang seperti kakek-kakek encok, memastikan tidak ada materi yang jatuh tercecer dari ujung celana. Masuk kamar mandi kosan (yang ironisnya, kosong dan bersih).
Di bawah guyuran shower, aku melihat celana jeans favoritku. Celana merek Levi's KW Super yang kubeli dengan nabung dua bulan. Kini, celana itu teronggok di lantai kamar mandi, berlumuran dosa dan aib. Tidak ada deterjen di dunia ini yang bisa membersihkan noda memori itu. Aku mengambil kantong kresek hitam. Memungut celana itu dengan ujung jari. Mengikatnya rapat-rapat. Dan membuangnya ke tempat sampah di depan kosan malam itu juga.
Malam harinya, aku duduk di kasur, memakai sarung, menatap langit-langit kamar. Perutku sudah lega. Tapi hatiku trauma.
Sejak hari itu, aku membuat sumpah sakral: Aku tidak akan pernah makan sambal rica-rica level kiamat lagi. Dan yang terpenting: Aku tidak akan pernah meremehkan kekuatan sebuah polisi tidur.
Karena bagi orang lain, polisi tidur hanya penghambat laju kendaraan. Tapi bagiku, itu adalah tombol peluncur nuklir yang menghancurkan martabatku sebagai manusia dewasa.
Tamat (Tapi baunya abadi).