Hari itu matahari bersinar terik, seolah sedang menantang siapa pun yang berani memakai baju batik lengan panjang berbahan poliester murah. Dan tentu saja, orang bodoh itu adalah aku.
Aku sedang berada di TPU Tanah Kusir, sebuah kompleks pemakaman yang luasnya ngalahin kompleks perumahan subsidi. Tujuanku mulia: Menghadiri pemakaman ayah dari teman SMK-ku, si Agus "Kecap".
Kenapa dipanggil Agus Kecap? Karena kulitnya eksotis dan dia manis (katanya sendiri).
Info di grup WhatsApp angkatan sangat singkat: "Innalillahi... Telah meninggal Ayahanda dari Agus. Pemakaman jam 10 pagi di TPU Tanah Kusir, Blok AA1. Patokannya pohon kamboja besar dekat gerbang belakang."
Jam menunjukkan pukul 10.15 WIB. Aku memarkir motor dengan tergesa-gesa. Keringat sudah membasahi punggung, membuat batikku lengket seperti stiker kulkas. Aku lari-lari kecil (gaya lari pinguin supaya celana bahan nggak sobek) menuju area pemakaman.
Mataku menyapu area Blok AA1. Di kejauhan, aku melihat kerumunan orang berbaju hitam dan putih. Ada tenda hijau, ada keranda yang sedang digotong menuju liang lahat.
"Nah, itu dia!" batinku. "Untung belum ditutup tanah."
Aku mempercepat langkah. Aku harus terlihat hadir. Ini penting demi menjaga hubungan silaturahmi (dan biar kalau aku nikah nanti, Agus datang bawa amplop tebal). Aku menyelinap masuk ke dalam kerumunan pelayat. Suasananya hening, khidmat, dan sedih. Suara isak tangis terdengar samar-samar.
Aku mencari sosok Agus. Tapi karena kerumunan ini padat banget kayak antrean bansos, aku nggak bisa nemuin dia.
"Mungkin Agus lagi di depan, di pinggir liang lahat," pikirku.
Sebagai teman yang baik, aku merasa harus menunjukkan empati maksimal. Aku menerobos pelan ke barisan depan, berdiri tepat di belakang seorang ibu-ibu paruh baya yang sedang menangis histeris dipeluk anak perempuannya.
Jenazah sudah dimasukkan ke liang lahat. Tali pocong dilepas. Adzan dikumandangkan.
Aku menunduk dalam-dalam. Memasang wajah paling sedih yang kupunya. Wajah "Cicilan Motor Nunggak 3 Bulan Dan Ditarik Leasing". Agar terlihat lebih dramatis, aku sesekali mengusap mata (padahal cuma kelilipan debu makam).
Di sebelahku, ada bapak-bapak tua yang menatapku. Dia tampak bingung. Aku mengangguk sopan ke arahnya sambil berbisik lirih, "Orang baik... Beliau orang sangat baik..."
Bapak itu mengangguk pelan, "Iya, Mas. Sabar ya."
Yes! Aktingku berhasil. Bapak ini mengira aku kerabat dekat yang sangat kehilangan. Citraku sebagai sahabat sejati aman.
Prosesi penguburan dimulai. Tukang gali kubur mulai mencangkul tanah.
Tiba-tiba, rasa bersalah karena telat tadi membuatku ingin berkontribusi lebih. Aku nggak mau cuma jadi penonton. Aku maju selangkah.
"Biar saya bantu, Pak," kataku pada salah satu keluarga yang memegang cangkul. Orang itu, laki-laki seumuran denganku yang matanya sembab, menatapku bingung. Tapi dia menyerahkan cangkulnya. Mungkin dia kira aku sepupu jauh dari luar kota.
Dengan semangat '45, aku mulai menyekop tanah merah, menutup liang lahat itu. Crak... Wush... Setiap cangkulan adalah dedikasiku untuk persahabatan dengan Agus.
"Tenang, Gus. Ayahmu kuburkan dengan layak," batinku heroik.
Setelah liang tertutup rapi dan gundukan tanah terbentuk, tabur bunga dimulai. Si Ibu yang nangis histeris tadi menaburkan bunga mawar dan melati. Dia nyaris pingsan. Aku, yang posisinya masih di ring satu (barisan paling depan), refleks memegangi bahu si Ibu agar tidak ambruk.
"Ikhlaskan, Bu... Ikhlaskan..." bisikku lembut, penuh wibawa. Ibu itu menoleh ke arahku, tatapannya kosong tapi berterima kasih. Dia bersandar di lenganku.
Bayangkan: Aku, orang asing, kini menjadi sandaran utama janda almarhum. Agus mana sih? Kok dia nggak kelihatan? Ah, mungkin Agus lagi ngurus administrasi atau pingsan di tenda.
Saatnya doa bersama. Ustadz memimpin di depan nisan yang baru dipasang. Aku mengangkat kedua tangan, siap mengaminkan doa.
"Mari kita doakan almarhum, semoga dilapangkan kuburnya..." suara Pak Ustadz menggema lewat toa.
"Amiin..." jawabku lantang, paling keras di antara yang lain.
"Khususon ila ruhi..." Pak Ustadz membaca kertas kecil di tangannya.
Jantungku berdebar. Selamat jalan, Ayahanda Agus.
"...Almarhum Bapak Haji ZULKARNAIN bin SOMAD."
Hening. Otakku korslet.
Tunggu sebentar. Zulkarnain? Siapa Zulkarnain? Bukannya Bapaknya Agus namanya Bambang Sutrisno?
Aku membeku. Tanganku masih menengadah, tapi jiwaku melayang keluar dari raga. Mataku melirik ke papan nisan kayu yang baru tertancap. Tulisannya jelas, dicat putih: H. ZULKARNAIN. Wafat 2025.
Mampus. Salah makam.
Keringat dingin yang tadi cuma di punggung, sekarang banjir sampai ke sela-sela jari kaki. Aku melihat sekeliling dengan panik. Wajah-wajah di sekitarku asing semua. Nggak ada Agus. Nggak ada teman-teman SMA. Nggak ada satupun yang kukenal.
Aku baru saja:
- Mencangkul kuburan orang asing.
- Menjadi sandaran hidup janda orang asing.
- Menangis untuk orang yang nggak ku kenal.
Otakku berteriak: PERGI! CAHYO! PERGI SEKARANG!
Tapi nggak bisa. Doa belum selesai. Kalau aku kabur sekarang, aku bakal jadi pusat perhatian. Aku terjebak dalam doa tahlil yang panjangnya minta ampun.
"Amiin... Amiin..." mulutku komat-kamit, tapi dalam hati aku berdoa untuk keselamatanku sendiri. "Ya Tuhan, hilangkan aku dari sini. Jadikan aku butiran debu."
Selesai doa, Pak Ustadz menutup acara. "Terima kasih kepada para pelayat yang sudah hadir."
Saatnya bubar. Ini kesempatanku untuk moonwalk mundur pelan-pelan dan menghilang.
Tapi takdir berkata lain. Si Ibu janda tadi yang tadi kusandaran berbalik badan menghadapku. Dia memegang tanganku erat.
"Nak..." suaranya serak. "Terima kasih ya."
JLEB. Duh, Bu. Jangan berterima kasih. Saya ini penipu. Saya ini penyusup.
"Sama-sama, Bu," jawabku dengan senyum kaku, mirip senyum orang yang lagi cepirit.
"Maaf Ibu lupa... Nak ini... temannya almarhum Bapak dari kantor mana ya? Atau murid ngaji Bapak?"
Mati aku. Interogasi dimulai. Aku harus bohong. Kalau jujur "Maaf Bu saya nyasar, saya cari makam Pak Bambang", bisa-bisa aku dikubur hidup-hidup di sebelah Pak Zulkarnain.
"Sa... saya..." otakku loading lambat banget. "Saya dulu sering... sering dibantu Bapak, Bu. Waktu Bapak masih... anu... aktif."
Jawaban diplomatis yang aman. Nggak jelas aktif apa. Aktif kerja? Aktif ronda? Aktif main gaple? Terserah tafsir Ibu saja.
"Masya Allah..." mata Ibu itu berkaca-kaca lagi. "Bapak memang orang baik. Sampai ada anak muda yang segitu sedihnya kehilangan Bapak."
Si anak laki-laki (yang tadi cangkulnya kupinjam) datang membawa kresek hitam. "Mas, ini ada sedikit bingkisan. Nasi kotak sama air. Dimakan ya. Makasih udah bantuin nyangkul tadi. Tenaganya Mas kuat banget."
Aku dipuji karena nyangkul kuburan orang asing. Prestasi macam apa ini?
"Eh, nggak usah Mas, nggak usah repot-repot..." tolakku basa-basi, padahal perut emang lapar. "Harus diterima, Mas. Rejeki anak soleh. Buat amal Bapak," paksa dia.
Akhirnya, di tanganku kini ada kantong kresek berisi Nasi Kotak Ayam Bakar + Aqua Gelas. Tanda mata dari pemakaman Pak Zulkarnain.
Aku pamit dengan gerakan mundur teratur, membungkuk sopan berkali-kali kayak pelayan restoran Jepang. "Mari Bu, Mas, saya duluan. Assalamu’alaikum."
Aku berjalan cepat menjauhi kerumunan itu. Jantungku masih mau copot. Setelah cukup jauh, aku mengeluarkan HP. Menelepon Agus.
"Halo, Gus! Lu di mana? Gue udah di pemakaman nih!"
"Halo, Yo? Gue di Blok AA1 nih. Lu di mana?"
"Gue juga di Blok AA1! Patokannya pohon kamboja kan?"
"Iya! Kamboja yang gerbang depan. Lu di gerbang mana?"
Aku melihat sekeliling. Ternyata aku masuk lewat gerbang belakang. Pohon kamboja ada banyak, Mas Cahyo! Namanya juga kuburan!
Aku lari ke arah gerbang depan. Jaraknya lumayan jauh, sekitar 300 meter. Sesampainya di sana... Aku melihat gundukan tanah yang masih merah dan basah. Sepi. Tenda sudah dibongkar. Kursi plastik sudah ditumpuk. Tinggal ada Agus dan satu orang pamannya yang lagi ngerokok di pinggir makam.
Acara sudah bubar 20 menit yang lalu.
Aku mendekat dengan napas ngos-ngosan, menenteng kresek nasi kotak dari kuburan sebelah.
"Woi, Yo! Telat lu!" sapa Agus, matanya sembab tapi nadanya datar. "Sorry banget, Gus... Macet... Terus nyasar..." kataku jujur setengah bohong.
Agus melihat kresek di tanganku. "Wih, bawa apaan tuh? Nasi kotak? Wah thanks banget lho Yo! Tau aja lu kita kelaperan, konsumsi dari katering kita habis tadi."
Agus mengira aku beli nasi kotak buat dia. Agus mengira aku teman yang sangat perhatian.
Tanpa rasa berdosa (atau mungkin karena sudah kepalang absurd), aku menyerahkan nasi kotak "haram" milik Pak Zulkarnain itu ke Agus.
"Iya, Gus. Makan deh. Gue... gue sengaja siapin buat lu. Biar lu kuat," kataku penuh drama.
Agus membuka kotak itu. Melahap ayam bakar itu dengan lahap. "Enak banget ayamnya, Yo. Makasih ya. Lu emang sahabat terbaik gue."
Aku menatap Agus yang sedang makan rejeki dari jenazah sebelah. Aku menatap makam Pak Bambang. Lalu menatap ke kejauhan, ke arah makam Pak Zulkarnain.
Dalam hati aku bergumam: "Maaf Pak Bambang, saya telat. Tapi tenang aja, anak Bapak sudah saya kasih makan pakai berkat dari Pak Zulkarnain. Semoga amal ibadahnya mengalir ke kita semua. Amin."
Hari itu aku pulang dengan perasaan campur aduk. Merasa berdosa, tapi juga merasa jadi pahlawan pangan. Dan yang paling penting: Keluarga Pak Zulkarnain selamanya akan mengenangku sebagai "Pemuda Misterius yang Jago Nyangkul".