Ketika burung-burung induk semang berkicau tak henti-henti di beranda, pada Minggu pagi yang damai di sebuah indekos, Jaka, Badrun, dan Bono berkumpul di kamar Ahmad ketika empunya kamar datang dengan wajah dipenuhi berton-ton pertanyaan, “Ada yang lihat kacamataku?”
Ketiga temannya memandang Ahmad dengan tatapan bingung.
“Itu ada di—“ sebelum Badrun sempat menyelesaikan kalimatnya dengan “di atas kepalamu”, karena kacamata Ahmad memang ada di atas kepalanya, Jaka langsung memotongnya dengan berkata, “Mungkin jatuh di jalan. Kamu habis ke mana?”
Bono mengangguk setuju meski matanya masih tertuju kepada video pemersatu bangsa(t) di layar komputer. “Pasti kamu lupa,” katanya sambil menggaruk-garuk celana. Entah apa yang digaruk.
Aha. Badrun langsung mengerti. Rupanya ada persengkokolan tanpa rencana yang terjadi di antara mereka. Jaka dan Bono pasti sedang mengerjai Ahmad, dan dia pun harus bergabung agar tidak merusak momen eureka. “Don’t worry, kita bantu cari,” kata Badrun sambil menepuk pundak Ahmad. Bono mengerang karena aktivitasnya terganggu padahal dia sebentar lagi mencapai puncak—entah puncak apa yang dia maksud. Jaka pun sama, dengan malas, dia tutup komiknya. Namun, demi darah persahabatan yang mengalir sejak sekolah dasar—kini keempatnya hampir lulus SMA, mereka bangkit untuk membantu Ahmad.
“Tadi ke mana? Kita mulai dari sana,” kata Jaka.
“Toilet,” jawab Ahmad.
Karena tidak ada apa pun di toilet, mereka mencari ke tempat yang lebih jauh.
“Kayaknya jatuh di warung seberang kos,” kata Ahmad. “Aku sarapan di sana.”
“Masuk akal,” jawab Jaka.
“Masuk akal,” Bono mengikuti Jaka.
“Masuk akal,” Badrun mengikuti Jaka dan Bono.
“Sekali lagi ada ‘masuk akal’, kalian dapat piring,” Ahmad kesal.
"Masuk akal," kata Badrun, Jaka, dan Bono.
"Mana piringnya?" kata Badrun, Jaka, dan Bono.
Keempat remaja itu memasuki Warteg di seberang jalan, lalu sibuk mencari kacamata Ahmad. Bono mengangkat wadah sendok—nihil. Jaka mengintip kotak tisu—zonk. Ahmad mengangkat piring pelanggan lain—dipisuhi. Badrun mengambil gorengan, menggigitnya, lalu menaruhnya lagi.
“Kalian ini lagi apa toh, Blung?” gadis pemilik warung yang wajahnya setenang telaga, risih melihat empat sekawan yang tingkahnya tidak pernah wajar itu.
“Anu, Mbak, kita lagi cari kacamata si Ahmad,” jawab Jaka. “Hilang sejak pagi.”
“Lah, itu di kepalanya apa?” kata penjaga Warteg
“Lho, iya, Mad, jebule selama ini ing ndasmu?” Jaka menimpali.
“Oalah, Mad. Isin aku duwe batur kayak kowe,” Bono memanasi.
Ahmad mengelus kepalanya, lalu menemukan benda yang dicarinya selama ini. “Asu kalian.”