Disukai
0
Dilihat
6
Cintaku Bertepuk Sebelah Treadmill
Komedi
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Hari ini adalah Hari pertamaku nge-gym. Tujuannya tentu saja cari cew... eh, ralat, maksudku biar sehat. Klise banget, kan? Tapi jujur saja, motivasi utamaku muncul beberapa minggu lalu saat aku iseng naik ke timbangan badan di rumah. Melihat angka timbangan rasanya kayak nonton film horor gore : dilihat bikin ngilu, enggak dilihat bikin penasaran. Andai timbangan itu bisa ngomong udah maki-maki aku mungkin “Timbang-timbang mulu, turun kagak, makin berat bangsad”

Akhirnya, dengan sisa-sisa harga diri yang ada, aku membulatkan tekad. Aku harus berubah. Aku harus menjadi pria jantan yang berotot, bukan pria yang perutnya duluan masuk ruangan sebelum orangnya.

Aku memarkir motor beat karbuku di parkiran gym yang isinya mayoritas mobil mengkilap dan motor sport 250cc. Minder? Jelas. Tapi aku melangkah masuk dengan gaya sok asik, orang tidak dinilai dari kendaraannya, yang penting isi rekening, walaupun saldo rekeningku juga bikin mata perih sih.

Begitu membuka pintu kaca, aroma keringat bercampur pengharum ruangan lavender menyambut hidungku. Aku langsung mendaftar ke meja resepsionis. Dan... wow. Resepsionisnya cantik banget. Mbak-mbak berkemeja seragam ketat ini punya senyum yang bisa bikin diabetes mendadak.

Otakku langsung bekerja cepat menyusun strategi PDKT. Apakah ini jodohku? Apakah ini ibu dari anak-anakku? Apa aku harus tanya "Mbak, bapak kamu maling ya?" Ah, basi.

Saat aku sedang sibuk merangkai kata-kata mutiara di kepala, dia menoleh ke teman di sebelahnya.

“Eh, Jeng, anakku semalam ngerjain tugas matematika susah banget, lho. Sampai aku harus telepon gurunya,” keluhnya.

Duar. Harapan satu musnah. Oke, fix bukan jodohku. Dia jodoh (dan istri) orang lain. Aku langsung tanda tangan formulir pendaftaran dengan hati teriris tipis-tipis.

Selain mendaftar member, aku memutuskan untuk menyewa jasa PT (Personal Trainer). Jujur saja, aku butuh orang yang mengajari cara pakai alat. Aku ini tipe orang yang bisa cedera cuma gara-gara salah posisi tidur, apalagi kalau disuruh angkat besi. Takutnya salah angkat barang, bukannya sehat malah diteriaki maling, atau lebih parah, kejepit alat gym dan masuk akun Instagram dagelan.

Tak lama menunggu, sang PT pun muncul. Namanya Adit.

Sosoknya membuatku ingin pulang saat itu juga. Dia tinggi, badannya kekar seperti digambar pakai aplikasi AI, memakai kaos hitam ketat yang mencetak otot dada, dan celana training bermerek. Kami bersalaman.

“Halo, Mas. Saya Adit,” sapanya ramah.

“Saya... Cahyo,” jawabku lirih.

Genggaman tangannya terasa sangat kuat, kontras sekali dengan tanganku yang lembek dan berlemak ini.

“Targetnya apa nih, Mas Cahyo? Bulking? Cutting? Atau mau kompetisi?” tanya Adit antusias sambil melihat formulirku.

Aku bingung. Istilah apa itu? Cutting stiker?

“Eh, anu, Mas. Target saya simpel. Saya cuma pengen kalau pakai kaos, perut saya enggak mendahului dada saya. Itu aja,” jawabku jujur.

Adit tertawa, suara tawanya nge-bass dan maskulin. “Oke, siap! Kita bikin Mas Cahyo jadi Spartan. Yuk ganti baju dulu.”

Setelah ngobrol sebentar, aku masuk ke ruang loker. Kelar ganti kostum ke mode olahraga (versiku: kaos partai gratisan sisa jalan sehat pas kampanye pemilu dan celana bola zaman SMA), aku kembali menuju kumpulan alat-alat berat itu.

Waduh... aku merasa salah kostum. Orang-orang di sini pakaiannya bagus-bagus, branded, dan matching. Ada yang pakai legging mengkilap, ada yang pakai headphone segede gaban, ada yang pakai sarung tangan kulit. Kalau aku bercermin, tampilanku lebih seperti orang yang mau nongkrong di pos ronda tapi salah belok, kira-kira kalau aku pakai headset bluetoothku kedengeran ga ya? waktu konek ke hp 'The Bluetooth device is connected Succesfully', ketahuan harganya ntar!

“Pemanasan dulu ya, Mas. Treadmill 5 menit, jalan santai aja,” perintah Coach Adit.

Aku menurut. Aku naik ke atas mesin treadmill. Arah treadmill-ku kebetulan menghadap ke deretan alat beban bebas (free weight). Di sana, mataku menangkap pemandangan indah. Seorang cewek sedang melakukan pemanasan dengan dumbbell kecil.

Jiwa lelakiku langsung meronta, berteriak, dan bertepuk tangan. Cakep, Coy!

Dia berkulit putih, rambut panjang diikat kuda, pakai kaos ungu ketat, dan celana pendek hitam. Badannya bagus banget, tipe yang membuktikan kalau dia rajin olahraga, bukan tipe diet kelaparan. Aku curi-curi pandang lewat cermin besar yang mengelilingi dinding gym.

Dari tempatku berjalan di treadmill, cewek itu ada di arah jam dua. Aku melihat pantulannya di cermin: wow banget. Bidadari turun dari squat rack. Tapi bencana terjadi begitu aku menggeser bola mataku sedikit ke kiri dan melihat pantulanku sendiri di cermin yang sama.

Astaga naga...

Perbandingannya terlalu kejam. Melihat dia rasanya seperti nonton film romance Korea dengan budget miliaran. Melihat diriku sendiri rasanya seperti nonton video amatir rekaman CCTV kecelakaan lalu lintas. Buram, menyedihkan, dan bikin orang ingin memalingkan muka.

Tapi... ah, namanya juga usaha. Kali aja selera dia memang yang unik-unik antik kayak aku, kan?

Setelah treadmill aku langsung diajak gerakan pemanasan, sesekali aku curi-curi pandang ke cewek itu, sampai aku curi-curi napas, pemanasannya juga lumayan.

“Oke, stop! Yuk, kita latihan beban,” suara Coach Adit .

Sesi penyiksaan dimulai. Adit membawaku ke alat bernama Lat Pulldown.

“Tarik ke arah dada ya, Mas. Jangan pakai otot tangan, tapi kunci belikatnya. Rasakan back-nya ketarik,” instruksi Adit.

Aku mengangguk sok paham. Padahal di kepalaku: Kunci belikat? Belikat itu yang mana? Kuncinya ditaruh di mana?

Aku menarik besi itu. Beratnya naudzubillah. Padahal Coach Adit cuma memasang beban di angka 15 kg. Tanganku gemetar hebat seperti orang yang kebanyakan minum kopi.

“Satu... Dua... Ayo Mas, lima belas repetisi!” seru Adit.

Di hitungan ke-delapan, nyawaku rasanya sudah melayang separuh. Mataku berkunang-kunang. Aku memang tidak pernah olahraga. Terakhir kali aku keringatan begini waktu mendorong motor mogok dua tahun lalu.

“Masih kuat, Mas?” tanya Adit.

“Ku... at...” jawabku berbohong. Padahal aslinya aku ingin teriak memanggil Ibu...

Sesi berlanjut ke angkat beban lain. Chest press, Leg extension, dan entah apa lagi namanya. Sebagai pemula, napasku benar-benar nyaris habis setiap selesai satu set. Paru-paruku rasanya menyusut jadi seukuran kuaci. Rasanya ingin menyerah, pura-pura pingsan, lalu minta digotong ambulans.

Tapi, keajaiban terjadi. Tiap kali mataku menangkap sosok cewek berbaju ungu tadi lewat, semangatku bangkit lagi secara magis. Adrenalin cinta (atau nafsu) mengambil alih. Aku jadi sok kuat, menegakkan punggung, dan memasang wajah “ini enteng banget”. Padahal sendi-sendiku menjerit minta cuti. Labay sih, sebenarnya motivasinya lebih ke sayang duit, sudah bayar mahal masa pulang cepat.

Kelar sesi beban yang rasanya seperti simulasi siksa neraka, Coach Adit memberikan saran-saran nutrisi.

“Kurangi karbo ya Mas, perbanyak protein. Tidur cukup, jangan begadang.”

Aku cuma mengangguk-angguk cepat, mengiyakan semua ucapannya. Padahal telingaku berdenging dan fokusku kabur. Napasku sudah kayak dikejar kecoak terbang: pendek, cepat, dan panik.

“Oke, last one. Penutup. Treadmill lagi 30 menit untuk pembakaran lemak maksimal,” vonis Adit.

Aku menyeret kakiku yang terasa seperti gelondongan kayu jati menuju area kardio. Aku memilih treadmill yang kanan-kirinya kosong agar bisa menderita dengan tenang. Aku menekan tombol Start. Mesin berdengung. Kakiku mulai melangkah gontai.

Baru jalan tiga menit, keajaiban (atau kutukan) datang lagi.

Cewek berbaju ungu tadi naik ke treadmill tepat di sebelah kananku.

DEG!

Jantungku yang tadinya sudah mau meledak karena olahraga, sekarang berdetak dua kali lebih cepat karena gugup. Wajahku langsung kupasang ke mode Cool & Misterius, bibir dikatupkan rapat, pandangan lurus ke depan. Padahal aslinya wajahku pucat.

Kakiku berjalan, tapi otakku 100% memproses keberadaan dia. Wangi parfumnya tercium samar-samar, wangi vanila yang manis, mengalahkan bau keringatku yang asem.

Cewek ini langsung menekan tombol-tombol di mesinnya dengan agresif. Beep beep beep. Dia menyetel kecepatan tinggi. Kakinya berlari lincah. Dug dug dug dug.

Sementara aku? Aku cuma jalan santai di kecepatan 3. Seperti kura-kura yang sedang jalan-jalan sore.

Harga diriku terusik.

Masak cowok kalah sama cewek? batinku. Oke, kutunjukkan kalau aku juga pejantan tangguh.

Dengan jari gemetar, aku menekan tombol Speed Up. Angka naik jadi 6. Lalu 7. Aku mulai berlari kecil. Napasku mulai memburu, tapi aku berusaha mengaturnya agar tidak terdengar seperti sapi ngamuk.

Aku berjanji dalam hati: Aku pantang berhenti sebelum dia berhenti.

Sepuluh menit berlalu. Keringatku sudah bercucuran membasahi kaos partai gratisan kesayanganku. Cewek di sebelahku masih terlihat segar bugar, lari dengan elegan, rambut kudanya bergoyang-goyang indah.

Lima belas menit berlalu. Kakiku mulai mati rasa.

Dua puluh menit berlalu.

Mataku mulai melihat bintik-bintik hitam. Napasku habis total. Betisku rasanya pedas luar biasa seolah-olah baru diolesi balsem satu kilo. Tenggorokanku kering, astagah air liurku mana.

Astaga, apakah ini akhir hidupku? Mati di atas treadmill demi gengsi? Berita koran lampu merah besok pasti konyol: Seorang Pria Tewas Akibat Gengsi Lari Dikejar Bidadari.

Aku ingin berhenti tapi gengsi setengah mati. Terjadi perdebatan sengit ala sidang DPR di dalam kepalaku.

Hati 1 : "Udah, Bang! Woy! Berhenti aja! Jantungmu udah mau copot itu! Liat tuh mukamu di kaca udah ungu!"

Hati 2 : "Gengsi, dong! Tuh cewek udah 20 menit lari kencang enggak kelihatan capek. Tapi kamu udah sekarat gitu, berhenti bangsad...!!!"

Oke, kedua hatiku tumben kompak.

Dengan tangan gemetar, aku menekan tombol merah besar. STOP.

Mesin melambat. Aku turun dari treadmill dengan gaya sempoyongan seperti orang mabuk laut. Aku mengambil handuk, lalu duduk di sebuah kursi panjang di belakang deretan treadmill untuk melakukan pendinginan (baca: mencoba untuk tidak pingsan).

Sambil mengatur napas yang ngik-ngik bunyinya, aku memperhatikan punggung cewek itu lagi dari jauh. Dia masih lari. Luar biasa staminanya.

Sambil menyeka keringat, imajinasiku mulai berkelana liar. Efek kekurangan oksigen di otak mungkin membuatku makin halu.

Aku membayangkan skenario masa depan: Setelah ini dia selesai lari. Handuknya jatuh. Aku mengambilkannya. Kami berkenalan. "Hai, aku Cahyo," kataku. "Aku Sari (nama ngarang)," jawabnya malu-malu. Kami tukaran WhatsApp. Minggu depan kami date makan bakso sehat. Bulan depan jadian. Dua tahun lagi menikah dengan pesta outdoor.

Kami memiliki dua anak yang lucu-lucu. Yang cowok, wajahnya mirip aku tapi versi ganteng, kuberi nama Bambang. Yang cewek, cantik mirip ibunya, kuberi nama Chyntia. Kami hidup bahagia, lari pagi setiap hari Minggu, menua bersama...

Belum selesai khayalanku sampai ke cucu, tiba-tiba seorang wanita lain datang menghampiri cewek itu. Cewek berbaju ungu itu memelankan treadmill-nya dan melepas earphone.

“Ehh... Siska! Apa kabar? Maaf ya aku enggak bisa datang ke wedding-mu kemarin!!” seru wanita yang baru datang itu.

Cewek baju ungu (Siska/Sari/Ibu dari anak-anakku) tertawa renyah. “Ah santai aja kali. Iya nih, badan pegel semua habis resepsi seharian berdiri. Makanya hari ini dipaksa suami olahraga biar seger lagi.”

JEDER.

Bagai disambar petir di siang bolong.

Bayangan indah di kepalaku musnah seketika. Gedung pernikahan runtuh. Bambang dan Chyntia lenyap menjadi butiran debu sebelum sempat lahir ke dunia. Wedding? Suami?

Aku menatap nanar ke arah botol minumku. Air mata rasanya ingin menetes, tapi cairan tubuhku sudah habis keluar jadi keringat.

Akhirnya, dengan sisa tenaga yang ada, aku bangkit dari kursi. Aku berjalan kembali ke ruang loker dengan langkah terseok-seok.

Hari ini aku pulang dengan kondisi mengenaskan. Terpincang-pincang menahan sakit di betis karena lari sok jagoan, dan terpincang-pincang menahan perih di hati karena ditinggal nikah oleh cewek yang bahkan namanya saja aku belum tahu.

Selamat tinggal, Bambang. Selamat tinggal, Chyntia. Ayah pulang dulu.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Komedi
Rekomendasi