Hukum Alam Nomor 1 bagi laki-laki: Jangan pernah menaruh hati pada cewek yang friendly kepada siapapun. Karena saat kamu nembak, bukannya dapat pacar, kamu malah dapat malu.
Dulu waktu SMK, aku punya teman sekelas bernama Widi. Hubungan kami itu dibilang akrab enggak, dibilang musuh juga enggak. Aku berteman dengannya cuma karena dia satu kos dengan temanku yang punya akses internet unlimited dan makanan melimpah. Simbiosis parasitisme, lah.
Masalah utama Widi adalah dia merasa dirinya setara dengan Raditya dika. Dia merasa humoris, padahal jokes-nya garing setengah mati, saking garingnya, kalau jokesnya dijadiin makanan pasti bikin gusi berdarah. Tiap dia melawak, aku tertawa bukan karena lucu, tapi untuk menghormati usahanya. Pipiku sampai kram karena kebanyakan akting ketawa.
Suatu hari, bencana dimulai. Widi curhat kalau dia baru saja SMS-an dengan Reni, salah satu teman sekelas kami.
Dengan wajah berseri-seri, Widi menyodorkan HP-nya. "Lihat nih, Yo. Dia manggil aku 'Sayang'."
Otakku langsung memutar memori. Reni. Cewek yang saking friendly-nya, mungkin tukang cimol depan gerbang pun dia panggil "Sayang". Reni punya kosakata ajaib: Sayangku, Cintaku, Bebiku. Dia menebar kata itu kepada siapapun selagi dia makhluk hidup.
Tapi, melihat wajah Widi yang sedang kasmaran, aku tak tega merusak kebahagiaannya.
Suatu sore, saat aku sedang asyik main di kamar kos temanku, Widi muncul di ambang pintu. Dia memberi kode mata, mengajakku mojok.
Njir... kok ambigu. Dua cowok mojok sore-sore itu kalau dilihat warga bisa menimbulkan fitnah akhir zaman.
Ternyata dia mau pamer SMS lagi. "Kayaknya dia suka sama aku lho, Yo," ucap Widi sambil nyengir lebar, memperlihatkan deretan giginya yang kuning. Astagfirullah, itu gigi apa jagung rebus? Sikatan napa, Bangsat!
Aku yang sudah malas meladeni cuma menjawab, "Ya, mungkin aja, Wid. Jodoh nggak ada yang tahu."
Sejak itu, Widi makin gencar memberi laporan pandangan mata, SMS 'sayang, Widi dan Reni makan bareng (Reni yang bayarin). Widi diajak main ke kosan Reni. Bagi Widi, ini sinyal cinta. Bagi aku dan teman-teman sekelas, ini adalah Reni yang sedang menjadi Reni, si Social Butterfly yang menganggap semua manusia adalah sahabat.
Karena sudah bosan mendengar curhatan Widi yang tak berujung, sisi jahatku muncul. Aku memutuskan untuk jadi kompor.
"Wid," kataku dengan nada serius. "Daripada hubungan kalian menggantung, mending kamu tembak aja."
Dan ajaibnya, si manusia yang jokes-nya garing ini tiba-tiba berpikir visioner. Jauh lebih jauh dari sekadar pacaran.
"Iya juga ya... Tapi orang tuanya gimana ya, Yo? Mau nerima aku apa adanya nggak? Terus habis SMK, kalau dia kuliah dan aku kerja, LDR gimana? Nanti kalau kita nikah, anaknya mirip siapa?"
Aku ingin sekali menimpuk kepalanya pakai monitor tabung. "HEH! LU MASIH SMK, BUJANG! KTP AJA BELUM KERING!"
Tapi, bukannya ngerem, aku malah makin ngegas. "Nah, itu harus dipikirin, Wid. Kalau nikah nanti mau pakai Wedding Organizer atau gotong royong warga?"
Widi termakan umpan. Dia beneran ke warnet, browsing rincian biaya pernikahan adat Jawa lengkap dengan harga sewa tenda terop. Aku kasihan, tapi ini terlalu lucu untuk dihentikan.
Hari penentuan pun tiba.
Pelajaran terakhir di Lab Komputer. Widi berencana nembak Reni setelah kelas bubar. Karena guru sedang rapat, jam pelajaran dipotong jadi 30 menit. Murid-murid lain langsung bubar jalan, menyisakan kami bertiga: Aku, Reni, dan Widi.
Aku berkemas, bersiap memberikan ruang privasi untuk tragedi ini.
"Eh, kok buru-buru sih, Yo... Temenin aku sini dong..." ucap Reni manja.
Di kupingku, itu kalimat basa-basi. Di kuping Widi, itu terdengar seperti ada orang ketiga yang mengganggu momen sakral. Widi mulai gelisah. Aku mendekat ke kupingnya dan mengisi otaknya dengan kata-kata.
"Tenang, Wid," bisikku pelan. "Dia cuma gugup kalau ditinggal berdua denganmu.. Aku cabut dulu, biar kalian leluasa... semangat, berikan kata-kata paling indah yang pernah kamu miliki"
Widi mengangguk mantap, wajahnya kembali penuh tekad.
"Enggak ah, Ren. Mumpung pulang cepet, aku mau Dota-an dulu di warnet," tolakku, lalu melesat keluar Lab.
Aku menunggu di koridor yang agak jauh, bersembunyi di balik tiang seperti intel melayu. Sekitar 15 menit kemudian, Widi muncul.
Dia tersenyum. Tapi senyumnya aneh. Kaku. Seperti orang yang baru saja menelan biji kedondong utuh.
Aku menghampirinya. "Gimana? Diterima?"
Tanpa menjawab, tangan Widi langsung menyambar tanganku. Dia menarikku berjalan cepat menuju belakang sekolah.
Anjir! Bayangkan pemandangannya: Dua cowok SMK, bergandengan tangan erat, berjalan tergesa-gesa dengan wajah tegang. Kalau ada yang lihat, pasti menyeramkan.
Sesampainya di belakang sekolah yang sepi, pertahanan Widi runtuh. Senyum kakunya berubah menjadi air bah. Dia menangis sesenggukan.
"Ditolak, Yoo..." raungnya.
Jahatnya aku, aku malah ingin tertawa. Sumpah. Widi pas ngelawak itu garingnya minta ampun, tapi pas nangis, mukanya jauh lebih lucu daripada semua materi lawakannya selama di sekolah. Hidungnya kembang kempis, ingusnya mulai meler. Ini komedi sejati.Aku memasang wajah kaget (pura-pura). "HAAAHH?? Kok bisa?! Bukannya kalian sudah sedekat nadi? ingat lho kalian udah sampai sayang-sayangan"
"Iya, Yo... Ternyata dia nganggep aku cuma Bestie. Teman biasa. Nggak lebih," ratap Widi sambil mengelap ingus.
"Oke, sabar ya Wid. Masih banyak cewek lain. Dunia belum kiamat," hiburku seadanya.
Kami berjalan gontai menuju parkiran. Dan di sanalah, punchline dari Tuhan terjadi.
Kami melihat Reni sedang berlari kecil menghampiri seorang siswa laki-laki dari kelas lain yang baru menyalakan motor.
"Ehh, Cintakuuu! Aku numpang ya sampai kosan!" teriak Reni riang.
"Boleh, tapi isiin bensin ya," jawab cowok itu santai.
"Iihh... perhitungan banget sih, Sayang! Harus ikhlas dong, biar gantengnya nambah!" balas Reni sambil mencubit lengan cowok itu manja.
Kemudian, Reni naik ke boncengan cowok itu. Saat motor melaju melewati gerbang kantin yang penuh siswa nongkrong, Reni melambaikan tangan bak Miss Universe.
"Duluan ya, Sayang-sayangkuuu! Bye-bye Cintakuuu!"
Hening.
Aku menoleh ke Widi. Dia mematung. Matanya kosong menatap debu knalpot yang ditinggalkan Reni. Harusnya di detik itu dia sadar, bahwa bagi Reni, kata "Sayang" itu nilainya setara dengan "Bro" atau "Cuy". Murah meriah.
Apakah Widi belajar dari kesalahan, muhasabah diri, dan kapok? Tentu tidak.
Beberapa minggu kemudian, Widi mendatangiku lagi dengan semangat 45.
"Yo, aku lagi SMS-an sama cewek baru. Anak Jurusan Akses, baru kenal dia udah banyak nanya-nanya gitu sama aku"
Widi mendekatkan wajahnya, lalu berbisik yakin, "Kayaknya dia suka sama aku lho. Masa pas papasan di lorong kelas, dia senyum!"
Lah bukannya itu bare minimum WNI yang saling kenal ya?
Aku menghela napas panjang. Benar-benar masokis sejati anak ini.