Disukai
3
Dilihat
1,453
LOCK IT DOWN
Misteri

"Oi ... apa itu?"

Sebuah tembok raksasa berdiri kokoh dan membentang sangat teramat jauh hingga aku tidak bisa melihat ujungnya.

"Itu tembok, bodoh," sahut sahabat baikku di sisi kiriku.

Aku menoleh ke wajahnya yang membosankan itu, menatapnya dengan tatapan bosan dan berkata, "wow."

"Wow?" ucapnya ragu.

"Ya, wow."

"Wow," ucapnya kemudian.

"Hentikan, bodoh," ucapku bosan.

Pemuda botak dengan wajah merah itu membisu dengan tatapan kosongnya yang seakan seperti sedang menodongkan sebuah pistol kepadaku.

Aku mengalihkan pandanganku ke arah tembok abu-abu polos itu dan berkata, "sejak kapan ada tembok disini, disana dan dimana-mana? Seingatku tidak pernah ada tembok apapun disekitar sini."

Sahabat baikku itu mengikuti arah pandanganku dan berkata, "kapan maksudmu?"

"Sebelum kita tidur, semalam, kemarin," ucapku masih menatap tembok.

"Tidak mungkin ada sebuah atau beberapa tembok raksasa dibangun dalam waktu semalam."

Aku menoleh ke arah sahabatku dan berkata, "huh? Memangnya berapa lama kita tidur?"

***

Waktu itu aku merasa sangat kelelahan sepulang dari menjalani rutinitas harianku yang melelahkan.

Lantaran merasa sangat tidak bertenaga aku memutuskan untuk melewati semua sisa agendaku pada hari itu dan langsung menuju kasurku yang nyaman untuk tidur dan beristirahat dari kacaunya dunia ini.

Setelah itu, saat aku terbangun dari tidurku yang sangat nyenyak, seperti biasa aku melakukan beberapa hal yang biasa aku lakukan di pagi hari, sikat gigi, cuci muka, menyantap sarapanku, secangkir kopi hitam dan sepotong roti panggang, membaca berita terkini dan membuka jendela kayu untuk melihat dunia yang berantakan.

Tapi kenyataannya bukan dunia, dengan semua komedinya, yang kulihat. Melainkan sebongkah batu datar yang menjulang tinggi ke angkasa.

***

"Setahun mungkin? Atau bahkan satu abad? Atau lebih. Entahlah, yang pasti bukan semalam," kata sahabatku itu membalas tatapan penuh tanda tanyaku dengan lebih banyak tanda yang sama.

Aku kembali mengalihkan pandanganku pada sang tembok abu-abu.

"Ya, mungkin kau benar meski itu tidak masuk akal. Tapi mengingat sebelum aku menutup kedua kelopak mataku aku merasa sangat kelelahan dan seakan-akan tubuh ini telah termutilasi oleh kehidupan, aku pikir ...."

Aku menatap sahabatku itu kembali.

"Aku sudah gila."

Keheningan mendominasi keadaan dan lingkungan sekitar, tidak ada tanggapan dari wajah merah itu, tidak ada satu pun suara yang terdengar oleh kedua telingaku, tidak ada angin sepoi-sepoi ataupun sebuah badai hebat yang menerjang, tidak ada penampakan makhluk astral atau pun makhluk asing yang terlihat, waktu seakan berhenti berdetak karena kehilangan baterainya.

"Ya, aku bertaruh kau memang gila. Tapi itu tidak buruk. Kau bebas sekarang. Tidak ada siapapun atau apapun yang bisa mengikatmu sekarang."

Aku tersenyum dan berkata, "kau benar. Aku bebas."

"Meski tidak benar-benar bebas," sambungku menatap tembok itu kembali.

"Sudahlah, lupakan saja tembok bodoh itu. Biarkan saja semua orang bodoh itu memenjarakan diri mereka dalam fantasi mereka yang membosankan. Anggap saja kau berada dalam salah satu atau beberapa film favoritmu, mereka luar biasa bukan?"

"Dan yang terpenting masih ada aku disini. Kau tidak sendirian, sahabatku."

Aku kembali menatap wajah merah itu dan tersenyum.

"Kau benar."

"Jadi, apa yang akan kita lakukan sekarang?" tanyaku tidak sabar.

"Bersenang-senang."

***

"Wooow ... kau hebat sekali."

Dengan mulut yang menganga dan kedua mata melotot, aku hanya bisa terpesona melihat satu-satunya keajaiban dunia yang kupercayai selama hidupku.

Sahabatku yang berwajah merah itu mengeluarkan jutaan kembang api dari kedua telapak tangan merahnya yang kemudian meledak di angkasa dan menciptakan sebuah keajaiban dunia kuno.

Ledakan-ledakan itu membentuk serangkaian kisah peradaban umat manusia, dari awal terbentuknya peradaban hingga awal kehancuran peradaban yang sangat menakjubkan.

"Bagaimana kau melakukannya?"

"Magic," jawabnya tersenyum lebar.

"Wow ... keren. Kau bisa mengajarkannya padaku?"

"Tentu."

"Tutup matamu dan rasakan semua keajaiban itu dalam gengaman tanganmu lalu lepaskan mereka seperti seorang pesulap yang sedang melakukan tipuan murahannya."

Bersamaan dengan rapalan mantra sihirnya, aku melaksanakan perintahnya dengan sempurna.

"Boom!"

Ledakan evolusi umat manusia menyebar dengan sangat cepat ke seluruh penjuru langit biru dan mengubahnya menjadi langit malam berbintang yang indah.

Dari serpihan sisa-sisa kehancuran umat manusia yang bermutasi menjadi segerombolan monster tak berperasaan terciptalah kumpulan rasi-rasi bintang yang menakjubkan, menjebak semua mata yang memandangnya dalam dunia fantasi yang penuh dengan kepalsuan.

"Hebat. Kau melakukannya dengan sempurna."

"Ya, kau benar. Aku mengagumkan."

***

Setelah lelah bermain kembang api yang penuh fantasi, kami memutuskan untuk kembali masuk ke dalam pondok kayu kecil itu dan menyiapkan makan malam.

"Kau mau apa?" tanyaku.

"Mmm ... sebentar. Kau punya apa?" tanyanya balik kepadaku.

"Mmm ... segalanya."

"Aku jadi bingung."

"Bagaimana kalau ayam goreng?" tawarku.

"Mmm ... aku lebih suka elang bakar," jawab si botak merah itu tanpa ragu.

"Baiklah. Makan malam hari ini elang bakar."

***

Hari-hari berikutnya kembali kami lalui dengan kebahagian dan keceriaan selayaknya anak kecil dalam kurungan tembok-tembok kelabu ini.

Kami berdua berlarian kesana-kemari tanpa rasa takut dan khawatir sedikitpun.

Naik dan menuruni bukit-bukit Teletubbies yang menakjubkan lalu bersenang-senang di bawah guyuran air terjun yang menyegarkan bersama para Dewi-Dewi kayangan yang rupawan.

"Haaa ... sungguh hari-hari yang menyenangkan," ucapku lega.

"Aku tidak pernah merasa sebahagia ini sebelumnya."

"Benarkah?" tanya salah satu Dewi itu kepadaku.

"Ya. Sungguh," jawabku mantap.

"Kalau begitu, kau tidak perlu merasa khawatir lagi mulai saat ini. Kami akan selalu berada disini jika kau merasa kesepian," ucap Dewi lainnya.

"Ya, pasti. Aku akan datang kesini setiap hari mulai saat ini."

Mereka semua tersenyum dan berkata, "kami akan menunggu."

***

"Mereka sangat mengagumkan," ucapku kepada si botak saat mengingat kembali permainan kami beberapa saat yang lalu.

"Kau benar. Mereka yang terbaik."

"Apa kau merasa puas?"

"Tentu saja. Itu pertama kalinya aku merasakan kesenangan seperti itu."

"Ooohh ... kau sungguh beruntung, kawan."

"Ya, aku tau."

"Aku jadi tidak sabar menunggu besok," ucapku tidak sabar ketika kami menginjakan kaki kami kembali di halaman depan pondok kayu itu.

"Kenapa tidak melewatkan adegan-adegan tidak penting itu dan langsung ke adegan yang menyenangkan saja?" tanya si botak menghentikan langkahnya.

"Mmm ... memangnya bisa seperti itu ya?" tanyaku ragu.

"Tentu saja bisa."

"Kau bisa melakukan apapun yang kau suka di tempat ini ... Fredy," jawab si botak tersenyum.

"Mmm ... Fredy? Siapa itu ...."

***

"Oh, hai, Fred."

***

Siapa itu? Apa itu aku?

Tiba-tiba saja secara sekilas aku melihat diriku sendiri sedang duduk dalam sebuah ruangan serba putih sedang menonton sebuah rekaman cctv yang sedang mengawasi diriku sendiri dalam ruangan itu yang terlihat sedang tersenyum dan tertawa seperti orang yang sedang menderita sakit jiwa.

Sedangkan dibelakangku terlihat seorang badut berwarna merah baru saja selesai mengeksekusi seorang badut berwujud burung elang dengan sebuah kaos berwarna biru langit di badannya menggunakan sebilah pisau di tangan kanannya.

Setelah itu, badut itu menghampiriku yang sedang terikat pada sebuah kursi besi yang keras dan dingin.

Kemudian aku menatap badut merah itu dan berkata, "oh, hai, Fred."

***

"Ya, kau benar. Akhirnya kau bisa mengingat kembali semuanya," ucap si botak, Fred, tersenyum dengan beringas kepadaku.

"Apa maksudmu? Aku sama sekali tidak mengerti," ucapku gemetar dan berjalan mundur secara perlahan.

"Kenapa? Apa kau takut ... Fredy?" tanya setan itu kembali, kali ini dengan senyuman yang jauh lebih menakutkan dari sebelumnya.

"Fredy! Fredy! Kau mendengarku!?"

"Dok! Dok! Dok!"

Disaat rasa takut secara tiba-tiba mulai menyebar ke seluruh tubuhku, terdengar suara teriakan yang memanggil-manggil namaku dengan sangat keras sambil menggedor-gedor pintu kayu itu dengan tidak kalah kerasnya dari dalam pondok kayu sederhana di tengah hamparan savana dan perbukitan Teletubbies yang terbentang luas disekitarnya.

"Siapa itu?"

"Jangan di dengarkan. Itu hanya sebuah jebakan untuk menjebakmu agar berada di tempat konyol ini selamanya," sahut Fred meyakinkan.

"Ha? Kau bilang ini tempat yang sempurna. Kenapa sekarang kau jadi seakan-akan mencoba untuk mengeluarkanku dari tempat ini?"

"Apa kau masih belum mengerti juga, Fredy bodoh!?"

"Apa?"

"Kau sudah mati!"

Seketika, aku merasakan hembusan angin yang sangat keras, yang sebelumnya tidak pernah ada dalam tempat aneh ini, menerjang, atau bisa dikatakan, menampar wajahku yang terasa dingin sedingin es batu. Tidak, bahkan tubuhku yang selalu terasa hangat selama berada ditempat ini kini juga terasa membeku bagaikan sebongkah es batu.

"Apa maksudmu?! Apa maksudmu dengan mati!? Kenapa kau bilang aku sudah mati!? Aku hanya tidur sebentar di kasurku yang nyaman saat aku merasa sangat kelelahan hari itu! Bagaimana bisa kau bilang aku sudah mati!?"

"Bangun, bodoh!"

"Buka matamu!"

***

"A-apa ini?" tanyaku tak percaya dengan apa yang sedang kulihat.

"Ingatanmu yang sebenarnya. Ingatanmu saat kau masih hidup dalam sebuah istana boneka."

Hari itu, pada pagi hari yang cerah, matahari bersinar dengan sangat terangnya, memberi kehangatan pada dinginnya kehidupan dan menciptakan harapan baru bagi semua orang, terutama bagi sepasang suami-istri yang baru saja dianugerahi dengan anak pertama mereka, pewaris utama dari seluruh kekayaan dan aset yang dimiliki oleh sang ayah suatu hari nanti, bayi laki-laki yang imut itu diberi nama, Alexander.

Namun sayang, karena ekspetasi yang besar dari kedua orang tuanya, Alexander, sebagai anak laki-laki pertama dan satu-satunya dalam keluarga kaya raya tersebut, harus dipaksa untuk tunduk dalam peraturan-peraturan yang mengikat dan mengontrolnya bagaikan sebuah boneka kayu sejak ia masih kecil. Dia tidak pernah mendapatkan kebebasannya layaknya anak kecil pada umumnya, bahkan haknya sebagai makhluk hidup, seorang manusia yang merdeka saja hampir tidak pernah ia dapatkan. Seluruh hidupnya berada dalam cengkeraman tangan-tangan yang mempermainkannya dengan sesuka hati dari atas sana, melalui benang-benang yang mengikat tubuh kecilnya dengan penuh paksaan. Hari-harinya dilalui dengan penuh kepalsuan hanya untuk kepentingan pribadi kedua orang tuanya yang takut jika anak laki-laki kesayangan mereka gagal menjadi apa yang mereka inginkan, semua harta kekayaan dan aset-aset keluarga mereka direbut dan di ambil alih oleh saudara-saudara mereka yang licik dan penuh ambisi untuk menguasai semua kekayaan tersebut seorang diri.

Dengan mengatasnamakan masa depan, mereka berhasil membujuk dan menipu Alexander yang polos dan lugu kedalam sebuah dongeng fantasi yang menakjubkan dan memabukkan bagi semua anak kecil, namun itu semua dibangun di atas sebuah pondasi kebohongan yang setiap saat bisa saja menjatuhkan dan menghancurkan Utopia anak-anak tersebut menjadi sebuah mimpi buruk yang tak akan pernah berakhir.

Rencana hanya sebuah rencana dan harapan hanya dan akan selalu menjadi sebuah angan-angan belaka. Masa depan cerah yang mereka impikan untuk kehidupan anak kesayangan mereka tidak pernah terbit dan menyinari dunia sang anak. Alexander tenggelam terlalu dalam dalam samudera fiktif yang kedua orang tuanya ciptakan untuknya. Pikiran, tubuh dan jiwa anak kecilnya yang lemah tidak mampu menahan semua tekanan, beban, ekspetasi dan harapan yang diberikan tanpa batasan kepadanya. Semua dongeng yang dibacakan dan diceritakan kepadanya sejak kecil benar-benar sudah mengambil alih pikiran dan akal sehatnya hingga ia tidak lagi mampu membedakan mana yang asli dan palsu dalam kehidupannya sehari-hari.

Semua tokoh dan tempat fiksi dalam dongeng-dongeng tersebut bersatu dan membaur dengan para manusia dan tempat-tempat asli di dunia nyata dalam pikiran anak kecilnya yang mulai kacau dan berantakan.

Hingga akhirnya hari itu pun tiba, hari dimana para saudara-saudara licik dan munafik mulai bersatu dalam satu tujuan yang sama, menghancurkan dan mengambil alih semua harta kekayaan dari sang ayah.

Dalam sebuah konspirasi, mereka semua berhasil membunuh sang ayah dan ibu dalam sebuah jamuan makan malam yang mewah pada malam terakhir musim gugur tahun itu. Tak lama kemudian, adik-adik cantik dan imut dari sang Pangeran berhasil dihabisi dengan sangat keji dan biadab oleh para suruhan dari persekutuan para saudara pengkhianat tersebut.

Bukan hanya sang Putri yang mereka habisi nyawanya, para pengasuh, pengawal dan pelayan rumah mewah dan megah itu pun juga menjadi sasaran dari kebrutalan para pembunuh bayaran tersebut.

Namun, entah mengapa malam itu mereka membiarkan sang Pangeran untuk tetap hidup dan menyaksikan semua anggota keluarganya, adik-adik kesayangannya, dan para pengasuh, pelayan, serta para pengawal yang sudah ia anggap seperti keluarga sendiri dibantai dengan sangat brutal tanpa belas kasihan di depan mata kepalanya sendiri.

Mulai dari detik itu juga, kedua bola mata sang Pangeran yang kebetulan sedang memakai sebuah seragam atau kaos merah dari salah satu klub sepakbola terbaik di dunia dan menegang sebuah boneka maskot berwujud setan merah dari klub sepakbola tersebut tidak lagi bisa untuk melihat kenyataan yang ada, sahabat baiknya, Fred si merah, menariknya masuk kedalam dunia dimana dia bisa melakukan apapun yang dia inginkan tanpa harus takut dan merasa khawatir dengan benang-benang senar yang mengikatnya dengan kuat itu hingga membuatnya selalu meneteskan air mata berdarah di setiap paginya.

"Mulai sekarang namamu adalah Fredy, Pangeran."

***

"Apa itu? Mimpi buruk apa yang kau tunjukan kepadaku, setan sialan!?" Alexander berteriak dengan penuh kemarahan kepada satu-satunya teman dan sahabat yang dimilikinya itu.

"Tenanglah. Kau belum melihat semuanya."

***

Esok paginya, rombongan mobil polisi dan ambulans dengan cepat mendatangi istana kematian tersebut dan mengevakuasi sang Pangeran yang masih terpaku ditempatnya berdiri semalaman, mematung tak bergerak sedikitpun dengan kedua bola matanya yang sudah mengering bagaikan sebuah boneka manekin yang di pajang di depan toko-toko baju di pusat kota. Hanya tangan kanannya yang masih terlihat hidup saat itu, tangan mungil tersebut terus menggenggam boneka merah kesayangannya dengan sangat erat hingga rasanya semua aliran darah dalam tubuh anak laki-laki itu terpusat pada pergelangan tangan kanannya tersebut.

Setelah para polisi itu merasa lelah menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang tidak pernah mendapatkan jawabannya dari sang Pangeran iblis tersebut, akhirnya mereka memutuskan untuk menyerahkan Alexander kepada yayasan rumah sakit jiwa di kota tersebut untuk menyembuhkan kondisi kejiwaan dari Alexander yang malang tersebut.

Namun, hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, bahkan tahun demi tahun berlalu tetapi kondisi dari sang Pangeran masih belum menunjukan tanda-tanda perkembangan sedikitpun, justru setiap hari kondisinya malah terlihat semakin memburuk, bahkan hingga rambut hitam legamnya tersebut perlahan-lahan mulai memutih sebelum waktunya.

Ekspresi dari wajahnya tetap sama semenjak malam pembantaian tersebut terjadi, kedua bola matanya terus memberikan sebuah tatapan kosong kepada siapapun yang berusaha mengajaknya berinteraksi, seakan dia ingin menunjukan betapa kosongnya kehidupan dan dunianya selama ini.

Siapapun atau apapun mereka yang berusaha mengajaknya berbicara bahkan terlihat seperti mereka yang sedang dalam gangguan kejiwaan dan berusaha untuk berbicara dengan sebuah boneka yang kosong tanpa jiwa di dalamnya.

Kedua mata cokelat itu terus kehilangan sinarnya setiap harinya, seakan kegelapan sedang menelannya secara perlahan dari dalam.

Jangankan berbicara, untuk sekedar makan dan minum saja sang Pangeran enggan untuk melakukannya. Hingga tubuhnya menjadi semakin kurus di setiap musimnya. Dan saat itu, pada awal musim semi yang begitu indah diluar sana, tubuh dari sang Pangeran boneka benar-benar terlihat seperti sebuah mayat hidup, atau bisa dikatakan seperti sebuah boneka tengkorak manusia.

Namun, tepat pada saat itu juga keajaiban tiba-tiba datang tanpa diharapkan. Sang Pangeran, untuk pertama kalinya, akhirnya tersadar dari dunia fantasinya dan, secara harfiah, mulai menggila dalam ruangan kamar serba putih tersebut.

"Ha! Tidak! Apa yang terjadi!? Dimana aku!?"

"Sialan! Berani-beraninya mereka menghabisi adik-adikku!"

"Aku bersumpah akan melakukan hal yang sama kepada orang-orang jelek itu!"

Alexander dengan terburu-buru berusaha keluar dari dalam ruangan serba putih itu.

Dia melemparkan boneka merahnya untuk pertama kalinya di atas lantai polos itu.

Dia membuka pintu dan terkejut dengan keadaan disekitarnya.

"A-pa? Tempat apa ini?"

Puluhan atau mungkin ratusan orang dengan gangguan jiwa berlalu-lalang disekitarnya dengan santainya di sepanjang koridor yang disinari oleh cahaya matahari yang menyilaukan tersebut.

"Nak, ada yang bisa kakek bantu?" tawar kakek-kakek tua yang berjalan dengan bantuan sebuah tongkat kayu di kedua tangannya.

"Eh? Tidak, kek. Terimakasih," jawab Alexander kebingungan.

Setelah itu sang kakek berjalan dengan perlahan melewatinya begitu saja tanpa mengucapkan sepatah katapun kembali dari mulutnya.

"Oh, halo, Fredy! Lama tidak bertemu! Bagaimana kabarmu? Bagaimana kabar si Fred? Blue selalu merasa cemas dan khawatir dengan keadaan kalian, jadi dia selalu memintaku untuk menemui kalian tapi orang-orang gila itu selalu menghalang-halangi kami."

"Jadi, bagaimana keadaan kalian? Kalian berdua baik-baik saja, kan?"

Seorang gadis cantik dengan rambut hitam indahnya yang dibiarkan tergerai tanpa ikatan tiba-tiba datang menghampiri Alexander dengan menggendong sebuah boneka alien berwarna biru langit dalam dekapannya.

"Maaf, siapa kau? Apa aku mengenalmu? Apa kita pernah bertemu sebelumnya? Karena aku rasa aku tidak mengenalmu, nona."

"Dan juga namaku Alexander bukan Fredy. Mungkin kau salah orang."

"Maaf, tapi aku buru-buru. Permisi."

Setelah menjelaskan kesalahpahaman kecil tersebut, Alexander bergegas pergi meninggalkan gadis cantik dengan boneka alien birunya tersebut.

"Tunggu," cegah gadis itu menahan tangan kiri Alexander lalu mencium bibirnya dengan sangat lembut.

Ciuman hangat tersebut sontak mengejutkan Alexander dan entah bagaimana caranya mengembalikan ingatan-ingatan Alexander akan gadis cantik tersebut.

"Luna. Apa kau masih belum mengingatku? Aku Luna, sayang," ucap gadis itu lembut setelah melepaskan ciuman hangatnya kepada anak laki-laki itu.

"Apa?"

"Tidak mungkin."

Alexander mulai gemetaran dan berjalan mundur kebelakang secara perlahan, menjauhi Luna beserta boneka alien birunya yang bernama Blue.

"Apa yang sebenarnya terjadi disini?"

"Jadi, kau adalah tetangga berisik yang selama ini menerorku dalam mimpi buruk itu?"

Tubuh Alexander semakin bergetar hingga ia tak mampu lagi untuk menopang berat badannya sendiri dan membuatnya jatuh terduduk di atas lantai koridor ke 13 itu.

"Benar. Aku adalah pengagum rahasiamu selama ini. Dan aku sudah memutuskan bahwa kau akan menjadi milikku untuk selamanya, sayang," ucap Luna dengan senyuman aneh dan menakutkan yang mengembang pada wajahnya yang cantik.

"Tapi, kenapa? Apa salahku padamu hingga kau menerorku terus tanpa henti seperti itu? Dan ... bagaimana bisa kau bisa masuk dan berada dalam mimpiku?"

"Semua ini karena Blue," jawab Luna mengelus dengan lembut boneka alien biru itu dengan pipi merah meronanya.

"Dia adalah yang terbaik. Dia sahabat terbaikku dan satu-satunya. Hanya dia yang kupunya di dunia ini. Lalu kau datang hari itu, dengan sorot matamu yang kosong dan dingin itu. Kau membuatku menginginkanmu detik itu juga. Dan aku tidak pernah dan tidak akan pernah bisa untuk ditolak. Aku selalu mendapatkan apa yang aku mau, masalahnya aku tidak punya sesuatu untuk diinginkan selama ini. Tapi kau, kau berbeda. Matamu yang kosong dan hampa itu memberikan sesuatu kepadaku, sesuatu yang tidak pernah ada dalam hidupku selama ini, cinta."

Luna semakin terlihat menyeramkan dan menakutkan bersamaan dengan bibir merah itu yang terus menerus mengucapkan mantra-mantra sihirnya yang mengikat pada tubuh kurus Alexander.

"Apa kau gila? Kita bahkan tidak saling kenal, bagaimana bisa kau sebut hal seperti itu dengan cinta? Itu sama sekali bukan cinta, itu adalah obsesi. Obsesi gilamu yang menginginkanku untuk menjadi boneka dan mainanmu sama seperti alien biru jelek itu, agar kau bisa mempermainkanku selamanya. Kau pikir itu yang namanya cinta?"

"Ya. Dan aku tidak peduli dengan penolakanmu. Jika aku menginginkan sesuatu, itu berarti aku harus mendapatkan hal tersebut bagaimanapun caranya."

"Kau gila! Menyingkir dariku, gadis gila!"

"Pergi! Pergi! Tinggalkan aku sendiri!"

Luna tidak menghiraukan teriakan-teriakan dari mulut kering Alexander, gadis gila itu terus mendekat dengan perlahan ke arah Alexander yang ketakutan dan terus berusaha mati-matian untuk menjauh dari gadis gila itu.

"Kau tidak perlu ketakutan seperti itu kepadaku, sayang. Aku tidak akan menggigit, aku akan mencium dan mencumbumu sepanjang waktu ... mmm ... mungkin aku akan sedikit menggigit tapi aku pastikan itu tidak akan menyakitimu, sayang. Aku berjanji, kita akan menjadi pasangan yang paling bahagia sepanjang masa. Kemarilah, datanglah kedalam pelukanku."

"Tidak! Menjauhlah dariku, perempuan gila!"

Alexander, secara tiba-tiba melancarkan serangan kepada wajah gadis gila itu dengan menggunakan sebilah pisau yang sedaritadi ia selipkan dalam pakaiannya dan membuat mulut gadis gila itu sobek dengan cukup lebar sekaligus merusak wajah cantik gadis gila tersebut.

"Aaarrgh!"

"Tidak! Wajahku!" Wajah cantik dan sempurnaku!"

"Apa yang sudah kau lakukan, Pangeran bodoh!?"

"Aku berubah pikiran sekarang! Kau harus membayarnya!"

Melihat wajahnya yang sudah rusak dan tidak cantik lagi, membuat gadis itu benar-benar menggila, secara harfiah, dan mulai berusaha melancarkan serangan-serangan kepada Alexander untuk membunuhnya.

Alexander yang semakin ketakutan mendadak bisa berdiri kembali dan mulai berlari dengan sangat cepat, menabrak beberapa orang di depannya dan kemudian, dengan sangat tidak beruntung, kakinya tergelincir di atas lantai yang basah karena rembesan air hujan dan membuatnya meluncur dan terjatuh ke tanah dari atas lantai ke 13 gedung rumah sakit jiwa tersebut.

Tak lama berselang, Luna juga mengalami nasib yang sama dengan Alexander dan mendarat tepat dalam dekapan sang Pangeran boneka untuk selama-lamanya.

***

"Apa-apaan itu?" ucap Fredy, atau Alexander, tak percaya dengan apa yang baru saja ia lihat dalam ingatannya yang sempat menghilang.

"Kematianmu, kematianmu yang sebenarnya."

"Kau tidak pernah melakukan percobaan bunuh diri ala superhero landing yang konyol itu selama ini. Kau mati karena kecelakaan, karena tergelincir rembesan air hujan, dari atas lantai ke 13 sebuah gedung rumah sakit jiwa," jawab Fred si setan merah berusaha menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi kepada tuannya tersebut.

"Lalu, tempat apa sebenarnya ini?"

"Limbo."

"Tempat diantara ruang dan waktu. Batas antara apa yang nyata dan palsu."

"Tempat ini tidak seperti apa yang kau pikirkan saat ini atau selama ini. Kau akan menemukan jawabannya saat berhasil melewati batasan itu, tembok-tembok polos menyebalkan itu."

"Apa maksudmu? Aku sama sekali tidak mengerti."

"Dan juga, kau adalah Fred, bukan? Boneka setan merahku sewaktu aku kecil?"

"Ya, dan satu-satunya yang selalu mendampingi dan menemanimu selama ini."

"Tidak, aku pasti benar-benar sudah gila. Aku pasti masih tertidur sekarang di dalam kamarku yang berantakan."

"Bukan kamarmu yang berantakan, Pangeran. Kamarmu selalu bersih dan rapih, tetapi benda ini ...," Fred menunjuk batok kepala Alexander.

"Pikiranmulah yang kacau dan berantakan."

"Aku disini ada hanya untuk satu tujuan, membantumu menata dan merapihkan kembali pikiranmu yang rusak itu."

"Brakkk!"

Tiba-tiba, sesosok alien dengan wajah rusak dan mulut sobeknya membanting pintu kayu itu dan keluar dari dalam pondok kayu itu.

"Fredy! Kau harus membayarnya!"

"Sial! Bukanya kau sudah membunuhnya waktu itu?" tanya Alexander panik kepada sahabatnya.

"Bukan salahku. Itu kesalahanmu memberikan informasi. Dia bukan seekor elang, mungkin dulu, tapi tidak lagi, dia alien sekarang."

"Mana kutahu. Kupikir dia seekor burung elang."

"Memangnya kemana saja kau selama ini? Jaman sudah berubah, bodoh."

"Kenapa kau bertanya kepadaku, bodoh."

"Kalian berdua, bodoh!"

"Kalian pikir bertahun-tahun berlalu begitu saja tanpa ada perubahan? Bodoh!"

"Sekarang kamilah yang berkuasa! Dan kalian, kembalilah ke neraka!"

Tiba-tiba, muncul sebuah piring terbang raksasa dari dalam pondok kayu itu dan sekaligus menghancurkan pondok itu menjadi tumpukan kayu berdebu.

"Lari," perintah Fred.

"Kemana?" tanya Alexander panik.

"Lari saja!"

Mereka berdua kemudian bergegas lari sekuat tenaga ke arah deretan tembok-tembok raksasa kelabu itu.

"Terus apa!?" teriak Alexander dengan piring terbang yang terus menembakinya dari belakang.

"Hancurkan!" teriak Fred.

"Apa!? Apa kau gila!? Bagaimana ...."

"Lakukan saja, bodoh!"

Tanpa basa-basi lagi Alexander meninju tembok raksasa itu hingga hancur dan ambruk, menciptakan efek domino yang menakjubkan hingga berhasil merobohkan semua tembok-tembok raksasa itu.

"Setan bodoh! Kenapa tidak bilang sejak awal kalau menghancurkan tembok-tembok itu semudah ini!?"

"Berisik! Lari saja, bodoh!"

Sepasang manusia dan iblis itu terus berlari menyusuri reruntuhan-reruntuhan tembok hingga melihat secercah cahaya yang menyilaukan di ujung sana.

"Apa itu!?" teriak Alexander menutup sebagian wajahnya dengan tangan kanannya.

"Cepat lari ke dalam cahaya itu!" sahut Fred.

"Kita sudah lari dari tadi, bodoh!"

Mereka berdua terus berlari dengan sangat kencang hingga akhirnya bisa menembus melewati cahaya yang menyilaukan tersebut secara bersamaan, meninggalkan UFO tersebut dalam reruntuhan tembok-tembok raksasa disekelilingnya.

"Ha ... ha ... ha ... ha ...."

"Tempat apa ini?"

Tepat setelah cahaya menyilaukan itu menutup dengan sempurna, mereka berdua, pasangan gila manusia dan iblis itu, keluar dari dalam sebuah layar kaca dari sebuah monitor laptop berwarna merah dan menghantam seorang pria berkacamata yang sedang membaca tulisan-tulisan yang terdapat dalam laptop merah tersebut hingga membuat hidungnya berdarah dan pingsan seketika.

"Siapa pria ini?" tanya Alexander tersengal-sengal.

"Cuma seorang figuran, lupakan. Kita punya seseorang yang harus ditemui," jawab Fred santai.

"Siapa?"

Fred menatap kedua mata cokelat Alexander dan berkata, "The Writer."

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
@semangat123 : ❤️
Good❤️❤️
Rekomendasi dari Misteri
Rekomendasi