"Pergi ... pergi ... kumohon, cepatlah pergi dari sini ... tolong ...."
***
"Hahahaha ...."
Suara tawa orang-orang yang tak terhitung jumlahnya selalu mengisi dan memenuhi kepala kecilku siang dan malam, 247365.
Suara-suara iblis tak bertanggung jawab itu terus menyiksa dan mengurungku di sini, dalam ruangan pengap ini, sendirian dan kesepian dalam kegelapan ini.
Aku takut, takut, takut, sungguh ketakutan akan kesendirian yang mencekam ini.
"Kenapa kalian tidak pernah mau pergi dari sini!?"
Lagi ... lagi, lagi, dan lagi, aku hanya bisa mengumpat dan berteriak dalam diam dan sepi yang membelengguku dalam kamar kecil dan sempit ini.
Siapa kalian? Apa sebenarnya mau kalian? Kenapa kalian tidak pernah mendengarkan? Hanya bicara, berteriak, memaki dan tertawa sepanjang hari.
Apa dosa dan kesalahanku sehingga kalian selalu menggangguku? Apa karena aku hidup dan ada? Sedangkan kalian hanya sesuatu yang ada dalam pikiranku dan tidak pernah benar-benar nyata, sehingga kalian semua merasa iri akan keberadaan ku yang nyata?
Tolong jawab pertanyaanku, jangan hanya bisa bicara tanpa pernah mau untuk mendengarkan suara-suara lain di sekitarmu.
Tolong, setidaknya satu dari sejuta, siapa pun atau apa pun itu, tolong dengar dan jawab aku!!!
"Tik, tok, tik, tok."
Hanya ada suara dari detik jarum jam dan suara dari detak jantungku sendiri yang terpaksa menyahuti ku dalam kekosongan ini.
Di saat suara-suara sumbang itu tiba-tiba lenyap tak berbekas, sekelebat bayangan hitam terlihat lewat dan melesat dari balik tirai abu-abu ruangan kamar tidurku.
Di kejauhan, juga di balik tirai abu-abu yang melindungi ku dari dunia luar yang kejam dan brutal, sekilas nampak ratusan pasang mata berwarna merah darah sedang mengintai dan mengamati gerak-gerik ku dalam tempat perlindunganku.
Setelah itu, lampu kamar yang nampak muram di atas kepalaku pun mulai berkedip-kedip selama beberapa detik, sebelum ... sesosok bayangan hitam mulai mendekap dan menyelimuti ku, yang duduk termenung dan meringkuk, menatap tembok biru, yang dipenuhi oleh berbagai retakan, dari setiap sudutnya yang penuh dengan sarang dan jaring laba-laba, dari belakang.
"Kriiing!!!"
Jam weker tua dan berkarat, yang terletak di atas sebuah meja kayu, tepat di samping tempat tidurku, kembali membuyarkan lamunanku yang nyata pagi itu.
Sekali lagi, aku bermimpi dengan kedua mata merah yang terbuka lebar sepanjang malam hari itu.
Namun hari ini, semoga aku bisa membuat sebuah perbedaan dalam hidupku.
Dengan sepasang mata berwarna merah, aku kembali menyibak selimut busukku, bangkit dari tidurku, mengikat rambut gondrong dan acak-acakan ku, mengabaikan jeritan sakratul maut dari jam weker tua itu, dan mulai berjalan melangkah, selangkah demi selangkah ke dekat pintu.
Setibanya di sana, aku pun mulai menghela nafas berat dan panjang, memanaskan isi dalam kepalaku, mengulurkan tangan kanan yang gemetaran ke gagang pintu, menyentuhnya, menggenggamnya, menelan ludahku, lalu membuka pintu biru itu.
***
Lama sekali lampu merah itu menyala terang di tengah gemerlap dan bisingnya kota ini.
Kemacetan lalu lintas masih menjalar di mana-mana, tidak terkecuali dengan perempatan jalan di hadapanku.
Semua orang terlihat sibuk dengan pikiran dan urusan mereka masing-masing.
Teriakan klakson tak henti-hentinya mengiringi hari yang sibuk dan sakit ini.
Berapa kali pun mereka menjerit, arus kendaraan di hadapanku ini tetap tidak bergerak barang sesenti sedikitpun, bak sebuah penyakit yang secara perlahan mulai membunuhmu.
Lampu berubah menjadi hijau, namun tetap saja semuanya diam atau berjalan di tempat. Begitu pun dengan diriku, yang sedari tadi hanya berdiam diri, terpaku, dan mematung, memandangi pemandangan sekitarku, yang tak kalah berisiknya dengan isi pikiranku, yang penuh sesak dengan berbagai macam kemungkinan-kemungkinan, yang kemungkinan besar tidak akan pernah terjadi dalam realitas yang rusak dan berantakan ini.
Cukup lama aku hanya berdiri memandangi dan mengamati sekitar sambil mendengarkan lagu "chk chk boom" dari sebuah boyband asal Korea Selatan, Stray Kids, yang terus berputar dan berulang dalam kepalaku, setelah aku tidak sengaja mendengarnya di salah satu gang kumuh, yang dipenuhi dengan berbagai macam grafiti, yang ku lewati beberapa jam yang lalu.
Hingga akhirnya, lagu itu berhenti berputar dan berulang, lalu digantikan oleh suara-suara sirine dari mobil-mobil polisi, ambulans, dan juga pemadam kebakaran, yang masih terjebak dalam kemacetan.
Di kejauhan, nampak sebuah kobaran api yang membumbung tinggi di angkasa saat hujan abu mulai berjatuhan satu persatu dari atas langit biru berawan, yang secara perlahan-lahan mulai berubah menjadi abu-abu kehitaman.
Beberapa saat kemudian terdengar suara ledakan yang cukup dahsyat di sekitar lokasi kebakaran, yang sekaligus semakin memperbesar amarah si jago merah yang liar, buas, ganas, dan kelaparan.
Mendengar dan melihat hal mengerikan itu di saat yang bersamaan, sontak membuat ribuan manusia yang terjebak dalam kemacetan dan kesibukan hari itu terkejut dan ketakutan akan suatu hal yang tidak mereka ketahui kepastiannya.
Semua orang berhenti membunyikan klakson mereka dan keluar atau turun dari kendaraan yang mereka tumpangi masing-masing, baik itu kendaraan umum maupun pribadi, dan mulai menelan ludah masing-masing saat mata mereka menangkap sebuah potret yang begitu mengerikan sedang menatap mereka balik dari balik kepulan asap hitam yang mulai menyebar dengan cepat ke seluruh penjuru kota.
"Roaaarrr!!!"
Saat suara Auman yang melengking dengan begitu kerasnya hingga menggetarkan gendang telinga dan memecahkan segala macam kaca di sekitar lokasi atau titik yang menjadi sumber dari Auman tersebut, seketika itu juga semua orang di sekitarku berteriak histeris baik wanita maupun pria, anak-anak ataupun orang dewasa, remaja dan juga para lansia, semuanya berteriak dan menjerit kesakitan sambil memegangi kedua telinga mereka lalu mulai berhamburan sambil meneteskan air mata bak sekawanan rusa yang sedang diburu oleh sang singa.
Sementara itu, di saat seakan seluruh dunia sedang dilanda kepanikan, kekacauan dan kerusuhan, dan di saat semua orang saling berlari-larian dan menginjak satu sama lainnya, serta saat rombongan mobil- mobil polisi, ambulans dan pemadam kebakaran masih terjebak dan terdiam dalam kemacetan, aku, aku hanya bisa terpaku, mematung, membeku dan terpesona akan kecantikan yang sangat luar biasa dari sebuah bencana yang mulai menghantam dan menerjang di depan mata.
Perasaan akan sebuah kengerian, ketakutan dan kebebasan atas sebuah kemungkinan gila yang akan terjadi beberapa saat lagi, membuat adrenalin ku meningkat, semangatku berkobar, dan jantungku, untuk pertama kalinya, terasa hidup dan berdetak dengan begitu cepatnya, hingga terasa seakan-akan ingin meledak dan spontan membuatku melompat ke depan, lalu mulai berlari dengan sangat cepat menuju masa depan, dengan kedua mata berbinar-binar dan sebuah senyuman yang merekah dan mengembang dengan sangat sempurna pada wajahku yang kusut dan berantakan.
Aku berlari dan terus berlari menghantam, menerjang dan menembus lautan kekacauan para manusia yang ketakutan dengan begitu riang gembira bak seorang anak kecil yang akan segera menemui sahabat baiknya, kematian.
Kemudian, setelah itu, setelah aku pada akhirnya berhasil menembus badai dan melawan arus yang deras, akhirnya aku tiba di rumah, tempatku berasal, di mana aku besar dan dilahirkan.
Akhirnya hari ini datang juga, hari di mana aku bisa membuat sebuah penebusan dan memulai semuanya kembali dari awal, melanjutkan siklus kehidupan yang tidak akan pernah ada habisnya, aku pulang.
"Roaaarrr!!!"
"Boom."
***
"Cklek."
Pintu biru itu terbuka, lalu aku pun mulai melangkahkan kedua kakiku, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, keluar dari dalam kamar biru dan kelabu itu menuju sebuah ruangan keluarga yang terlihat bersih dan hangat bermandikan sinar matahari pagi, yang masuk menembus ruangan dan menyinari ku yang layu dan busuk, melalui sebuah jendela kaca yang langsung menghadap ke arah terbitnya sang fajar.
"Nak ...."
Tiba-tiba terdengar suara lembut seorang wanita dari arah sebelah kanan.
Lalu, saat aku menoleh ke arah tersebut untuk melihat siapa yang baru saja memanggilku, ternyata itu adalah ibu.
Dia tersenyum dengan begitu hangatnya kepadaku, bahkan mengalahkan kehangatan cahaya matahari pagi yang menyinari ku.
Wajahnya begitu ceria dan bercahaya, saat sepasang mata yang berkaca-kaca itu menatap wajahku yang lesu.
Setelah itu, dengan perlahan, dia mulai berjalan mendekati dan memelukku dengan begitu erat dan lembut.
Air matanya tak bisa terbendung lagi ketika dia mengucapkan kata-kata tulus itu.
"Maaf."