Lukisan Bedhaya Ketawang (I)

Ini kali pertama aku menginjakkan kaki ke musem Ulen Sentalu di Yogyakarta, sedangkan Dewi, Rosa dan Mega sudah pernah tahu apa yang ada di dalamnya. Langkahku terhenti di depan lukisan para wanita yang sedang menari. Jumlah penarinya sembilan orang putri, yang masih ada keturunan keraton dan dalam keadaan suci. Penari kesepuluh sebagai penggenap dipercaya adalah Kanjeng Ratu Pantai Selatan.

"Ndoro, nyuwun pangapunten."

Seorang wanita tergopoh-gopoh menuju ke arahku dan membimbingku ke sebuah ruangan. Eh, siapa dia? Kenapa main paksa seperti ini?

Di ruangan tersebut, berkumpul beberapa putri, berpakaian tradisional Jawa dan cantik. Ini seperti pakaian pengantin di keraton. Dodotan? Warnanya hijau. Mereka wangi. Refleks, aku mencium aroma tubuhku. Wangi serupa. Seperti aroma buah kepel dicampur sesuatu yang segar. Kenapa aku dikumpulkan bersama mereka? Ya, Tuhan, kemana gawaiku? Aku mau potret mereka semua, cantik sekali!

Seorang putri ayu mendekatiku. Aku tidak mengerti yang dia katakan, hanya mengerti ia mengatakan "Diajeng". Jika tahu seperti ini, sejak dulu aku iyakan ajakan Intan, kawanku dari Kalimantan, untuk kursus bahasa Jawa. Dewi yang orang Yogya asli mengatakan bahwa bahasa yang digunakan di Yogya ada tiga macam. Ngoko, madya dan kromo inggil yang lebih sulit dan sangat halus. Dewi saja mengakui bahwa bahasa Kromo sulit.

Putri ayu tadi membetulkan selendang yang kupakai dan anehnya aku hanya menurut. Wow! Kenapa kulitnya halus sekali? Dia tidak seputih artis-artis Korea yang aku idolakan, tapi kenapa semenyenangkan ini berada di dekatnya. Wangi, cantik, dan sungguh menyenangkan untuk dipandang lama-lama.

"Ehm... Ehm..." Dia berdehem. Aku berusaha bersikap biasa dan melihat ke sekitar. Beberapa wanita yang terlihat sudah berumur berjejer di dekat kami, trmasuk yang memaksaku kemari tadi.

Suara gamelan mulai bertabuh kembali. Putri ayu tadi telah kembali ke posisinya, paling depan. Aku berada di posisi belakang, masih ada seorang putri di belakangku. Kami berjalan memasuki ruangan secara perlahan sambil menunduk. Kedua tangan kami juga telah di posisikan sedemikian rupa, pertanda tarian akan dimulai.

Kami berdiri di posisi masing-masing dan memulai gerakan pertama dalam tarian. Sejak kapan aku belajar menari? Kenapa aku bisa hafal tarian ini? Eh, ini tarian apa? Sebenarnya aku ada di mana? Wajah-wajah yang memerhatikan kami menari tidak bisa kukenali. Nihil. Aku tidak ingat. Lalu pandanganku beralih ke seorang pria muda yang duduk di kursi yang kelihatan besar dan mewah. Aku berusaha melirik. Apa itu yang namanya singasana raja? Apalah dia seorang raja?

Aku menari sampai merasa sangat menyenangkan melakukan semuanya. Semua gerakannya. Tarian ini sangatlah menyatu. Tubuh dan jiwa. Saat aku melakukan gerakan ke arah kanan, aku melihat seorang putri lain yang sepertinya tidak kulihat sejak tadi. Dia cantik. Dan wanginya berbeda. Dia sempurna. Wow! Apa boleh kutanya dia pakai make up merk apa? Atau perawatan apa? Aku hanya melihatnya sebentar karena gerakanku selanjutnya tidak memungkinkan untuk memandangnya lama. Saat aku melakukan gerakan ke kiri, kami kembali berpapasan. Dan oh oh. Sepertinya aku akan pingsan, apa aku baru saja melihatnya melayang? Tidak menapak di tanah? Sebelumnya tidak nampak, karena batik dodotan dan selendang yang kami pakai memang panjang dan terseret-seret di lantai. Kenapa miliknya menjuntai?

1 disukai 5.5K dilihat
Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Saran Flash Fiction