Laptop menyala. Kamera menyala. Dan empat wajah yang sama—atau tepatnya, empat versi dirinya yang sering berdebat di dalam kepala—menduduki kotak-kotak Zoom seperti peserta rapat yang menunggu host membuka acara.
Ia menghela napas panjang.
Hari itu, hidupnya terasa seperti file bernama “draft_final_fix_revisi_terakhir_beneran.docx” yang entah kenapa masih kacau.
“Baik,” katanya pada dirinya sendiri, “rapat internal kita mulai.”
Divisi Overthinking
Overthinking muncul lebih dulu, tentu saja—bahkan sebelum host mengizinkan “join”. Rambutnya rapi tapi wajahnya tegang seperti baru membaca tagihan internet.
“Sebelum mulai,” katanya sambil menatap layar seakan kamera adalah musuh, “aku ingin mengingatkan bahwa rapat ini berpotensi gagal. Dan kalau gagal, dampaknya bisa panjang: produktivitas turun, dompet makin tipis, harga diri makin ambyar, lalu—”
“Stop!” seru tokoh utama. “Kita bahkan belum mulai, sudah ngomongin kiamat?”
Overthinking merapikan kacamatanya.
“Kiamat itu agenda rutin, bos. Aku cuma mempersiapkan kemungkinan.”
Divisi Mager.
Divisi Mager menyusul masuk, tapi kameranya gelap selama 10 detik penuh.
“Ini kameranya kenapa mati?” tanya tokoh utama.
“Itu bukan mati,” jawab Mager, suaranya datar. “Aku cuma… belum sanggup mencet tombolnya.”
Akhirnya kamera menyala. Ia tampak dalam hoodie yang membungkus tubuhnya seperti kabut pelarian hidup, samar namun penuh makna.
“Agenda hari ini apa?” tanyanya sambil menguap. “Kalau ribet, izin tidur ya.”
Divisi Impostor Syndrome
Impostor Syndrome masuk pelan-pelan, menunduk seperti murid yang salah kelas.
“Maaf… maaf telat,” bisiknya. “Sebenarnya aku tidak layak ikut rapat. Aku yakin aku cuma glitch. Bug. Kesalahan teknis dalam sistem kepribadian.”
Tokoh utama menghela napas.
“Bro, kamu versi diriku juga. Masa glitch?”
Impostor Syndrome mendesah lirih.
“Semua orang juga bisa bilang begitu kalau sedang berusaha memotivasi diri.”
Divisi Motivasi
Tiba-tiba muncul seseorang dengan kaos olahraga yang belum pernah dipakai olahraga. Aura energinya memancar—atau tepatnya terlihat dipaksakan.
“Kita harus bangkit! Kita harus produktif! Kita harus bikin visi-misi hidup! Lihat ini!”
Ia mengacungkan notebook estetik berisi tulisan tangan rapi.
“WE ARE CAPABLE!” tulisnya besar-besar.
Mager mendelik.
“Konten Pinterest detected.”
Overthinking mengangkat alis.
“Statistik menunjukkan bahwa semangatmu biasanya bertahan 48 jam pas gajian. Setelah itu drop seperti crypto.”
Motivasi marah.
“Jangan menghina! Aku ini masa depan!”
Impostor Syndrome bergumam.
“Masa depan siapa….”
Rapat Dimulai
Tokoh utama memulai sesi dengan harapan.
Satu menit kemudian, harapan itu menguap seperti kuota tengah malam.
Overthinking menumpuk daftar risiko.
Mager mengusulkan agenda “rebahan massal sebagai solusi”.
Impostor Syndrome menanyakan apakah rapat ini sah secara moral.
Motivasi mencoba memimpin, tapi suaranya tenggelam oleh notifikasi grup WhatsApp keluarga.
“Dengar!” seru Motivasi akhirnya. “Kita harus punya target!”
“Terserah,” jawab Mager. “Yang penting tidak melibatkan bangun pagi.”
“Target harus spesifik!” tambah Motivasi. “Misalnya: ‘menjadi versi terbaik diri sendiri.’”
Overthinking langsung menanggapi,
“Versi terbaik dari siapa? Patokan tidak jelas. Parameter kabur. Tidak dapat diukur.”
Impostor Syndrome mengangkat tangan pelan.
“Sebenarnya… kita bahkan tidak pantas punya versi terbaik. Versi asal jadi saja sudah syukur.”
Tokoh utama menutup wajahnya.
“Aku cuma mau hidup sedikit rapi. Sedikit saja. Kenapa ribet banget?!”
Semua divisi diam.
Mager akhirnya memberi simpati.
“Kamu capek ya?”
“Iya.”
“Nah, makanya tidur.”
Tiba-tiba notifikasi muncul di layar:
“Waktu rapat hampir habis. Upgrade ke Premium untuk melanjutkan tanpa batas waktu.”
Overthinking panik. “Kalau rapat terputus tiba-tiba nanti dianggap tidak profesional!”
Mager tampak lega. “Yesss akhirnya.”
Impostor Syndrome berbisik, “Baguslah, kita memang tidak layak rapat panjang. Ini era efisiensi!”
Motivasi mencoba menyemangati: “Ayo upgrade! Kita harus invest demi masa depan diri sendiri!”
Tokoh utama menatap saldo e-wallet-nya.
Jumlahnya lebih menyedihkan dari motivasi hari Senin.
“Tidak,” katanya tegas. “Kita tidak upgrade.”
Empat versi dirinya terdiam.
“Voting,” katanya akhirnya.
Keempat kotak Zoom mengangkat tangan bersamaan—gerakan kompak yang hanya terjadi dalam momen langka.
Keputusannya bulat:
tidur siang.
Tokoh utama lalu menutup Laptop.
Kamar tetap berantakan—baju numpuk, gelas kosong, catatan yang bentuknya seperti proposal hidup yang gagal.
Tapi sore itu terasa lebih lembut.
Dan dalam dirinya, meski rapat ditunda, ada jeda kecil—ruang napas untuk bertumbuh pelan-pelan.
Ia berbaring.
Dan untuk pertama kalinya hari itu, semua divisi dalam dirinya akhirnya sepakat dalam satu hal:
tidur adalah solusi yang netral, universal, dan sangat manusiawi.
Blora, Desember 2025