Di sebuah ruangan yang pengap dan lembab. Tampak seorang perempuan muda berambut panjang sebahu sedang duduk di sebuah kursi dari kayu. Dengan kepala yang menunduk serta tangan yang terikat ke belakang oleh tali tampar. Ia belum sadarkan diri sejak diculik sejam yang lalu. Ketika baru keluar dari pintu gerbang kampus. Tepat setelah azan magrib berhenti berkumandang.
"Dinda, Dinda sayangku. Bangunlah," bujuk seorang laki-laki yang berjalan mendekat ke arah perempuan itu.
Lalu dengan kedua tangan kekarnya, ia meraih kepala perempuan itu. "Dinda. Kau belum matikan? Jadi bangunlah, sayangku," bujuknya sekali lagi sambil menengadahkan wajah Dinda dengan kasar.
Tentu hal itu membuat Dinda mulai sadar dan perlahan-lahan membuka kedua mata. Dengan kondisi separuh nyawa serta pandangan yang masih kabur. Ia menatap wajah laki-laki yang ada di ujung hidungnya.
"A-an-dika."
"Iya, Dinda. Ini aku, Andika, kekasihmu. Oh, bukan. Aku bukan kekasihmu lagi, tapi sudah menjadi mantanmu," sahut Andika sambil tertawa.
Mendengar itu, kesadaran Dinda langsung pulih sepenuhnya. Seiring dengan rasa takut yang menjalar ke seluruh tubuh, dan itu tercermin jelas pada raut wajahnya. Apalagi ia telah menyadari jika dirinya sedang dalam keadaan diikat pada sebuah kursi kayu.
"Kenapa Dinda? Kenapa wajahmu seperti itu? Kau tidak usah takut padaku. Karena aku tidak akan menyiksa dirimu," ucap Andika yang menyadari perubahan raut muka perempuan yang ada di hadapannya.
Lalu ia mengecup lembut kening Dinda sambil membelai mesra rambut perempuan itu berkali-kali. Hal yang tak pernah ia lakukan selama ini. Saat masih berpacaran dengan Dinda.
Terlihat sekali jika Andika sangat menikmati hal tersebut. Sampai-sampai hasratnya mulai terbakar. Apalagi ia mencium aroma tubuh Dinda yang masih wangi. Walau sedang berkeringat banyak akibat rasa takut yang menyerangnya saat ini.
Namun, sebelum Andika hangus oleh hasratnya yang kian membara. Ia langsung berjalan mundur menjauhi perempuan itu sambil kembali tertawa. Lalu duduk di sebuah kursi kayu yang berada tepat di belakangnya.
"Ke-ke-napa ka-kau la-laku-kan ha-hal ini pa-padaku, A-andika?" tanya Dinda dengan terbata-bata setelah mengumpulkan sedikit keberanian.
"Karena aku ingin memberikan hadiah yang sangat spesial kepadamu, Dinda. Hadiah yang akan kau ingat seumur hidup. Walau nantinya aku telah tiada," jawab Andika sambil mengeluarkan sepucuk pistol dari balik baju.
Dinda yang melihat senjata api itu langsung kaget dan semakin ketakutan. Hingga memberontak untuk melepaskan diri dari ikatan tersebut. Namun, usahanya sia-sia belaka. Malah membuat dirinya harus merasakan genangan air yang ada di lantai.
Melihat itu Andika hanya tertawa sambil mendekatkan ujung pistol ke pelipis kanan. Lalu berkata, "Dinda, saat kau masih pingsan tadi. Aku telah menyuntikkan darahku ke lengan kananmu. Dan asal kau tahu. Alasan kenapa aku tak pernah mencumbu dirimu selama kita pacaran. Karena aku positif HIV." Sambil menekan pelatuk pistol tanpa ada keraguan sama sekali.
Dinda pun langsung menangis sejadi-jadinya. Seiring dengan jatuhnya tubuh Andika ke lantai. Dengan bersimbah darah yang mengalir deras dari bekas tembakan tadi.
Seketika itu juga Dinda menyesali semua keputusannya yang selama ini cuma memanfaatkan Andika. Dengan pura-pura menjadi pacarnya demi mendapatkan barang-barang mewah yang ia inginkan. Padahal ia sedang menjalin asmara dengan seorang laki-laki yang telah menjadi tunangannya.
"BANGSAT KAU, ANDIKA!" teriak Dinda sambil menangis.