"Ah, di mana aku? Apa yang telah terjadi?"
Kalimat tanya khas sinetron itu terpaksa aku ucapkan. Ketika baru sadar dan melihat keadaan di sekitar yang gelap gulita. Melebihi langit malam yang tanpa bintang serta rembulan.
Apalagi udara yang aku hirup penuh dengan debu. Hingga dada ini terasa sesak saat menghirupnya dan hal itu membuatku terbatuk-batuk dengan cukup keras. Herannya suaraku tidak bergema sama sekali. Terdengar padat seperti berada di ruangan yang sempit.
Tak ayal hal itu membuatku tersentak dan langsung berusaha untuk bangkit. "Ada apa ini? Kenapa aku tak bisa menggerakkan tubuhku?" tanyaku pada diri sendiri. Lalu meraba seluruh badanku terutama pada areal di bawah pusar.
"TI-TI-TIDAK!"
Seketika aku berteriak sekencang-kencangnya dengan air mata yang mulai membasahi kedua kelopak mata. Saat mengetahui penyebab tubuh bagian bawahku tak bisa bergerak. Apalagi aku baru menyadari, jika dari tadi aku tak merasakan rasa sakit sama sekali. Padahal ada sebongkah reruntuhan tembok beton yang menimpa diriku.
Aku yang masih menangis sesenggukan mulai bisa mengingat semua kejadian yang menimpaku. Hingga terperangkap di sini. Di dalam kegelapan yang sempit. Secara mendetil tanpa ada yang terlewatkan sama sekali.
Minggu ini harusnya menjadi hari yang sangat spesial bagiku. Selain bertepatan dengan hari kelahiranku. Hari minggu ini juga hari di mana aku akan melamarnya. Sosok wanita beranak satu yang selama ini mewarnai kehidupanku. Walau hubungan kami mendapatkan banyak pertentangan, yang datangnya dari pihak keluarga kami berdua.
Aku berniat melamarnya setelah acara kebaktian selesai. Di hadapan semua jamaat dan tentunya sudah mendapatkan restu dari semua pengurus gereja. Namun, rencana itu seketika hancur berkeping-keping. Ketika sebuah tas yang berada di bawah salah satu bangku jamaat meledak menghancurkan bangunan gereja.
Kini aku hanya bisa menangisi itu semua. Apalagi saat ini aku tak bisa bergerak sama sekali. Hanya mampu berbaring sambil menatap kehampaan yang ada. Tak ada yang bisa aku lakukan selain ituβmenangis dan merintih.
Merintih bukan karena rasa sakit, tapi merintih sebagai tanda bahwa aku masih hidup di bawah sini. Berharap ada malaikat penolong yang datang menyelamatkan aku dan juga dirinya yang entah ada di mana. Itu pun jika dia masih hidup.
"Tuhanku, Yesus. Sang Juru Penyelamat. Aku mohon, selamatkan aku dan dirinya. Amin." Doa singkatku sambil berpasrah diri karena udara yang aku hirup mulai menipis.
Dan ketika kedua mata ini baru saja terkatup. Tiba-tiba aku mendengar suara gonggongan anjing dan manusia yang berteriak-teriak. Dengan diiringi suara mesin alat berat.
"Cepat kemari! Di bawah sini masih ada yang hidup! Cepat angkat semua reruntuhan ini. Jangan sampai terlambat. Kita harus segera menyelamatkannya."
Aku selamat. Terima kasih, Tuhan, batinku sambil perlahan-lahan membuka kedua mata.
Dan betapa kagetnya diri ini karena ternyata tubuhku sedang di duduki oleh sesosok makhluk halus yang berbalut kain kafan.
"PO-PO-POCONG!"