“Gun, bangun, Gun, bantuin Mamak nganter tulang iga ini ke Mami Ines,” kata Mak Besari kepada anaknya yang masih tertidur di balai-balai bambu berselimut sarung.
“Ah, Mak, Gugun masih ngantuk, Mak. Mamak saja sendiri yang antar.”
“Tulang iganya dua puluh kilo, Gun, dan rumah Mami Ines hampir sekilo dari sini. Kau kira mamakmu ini Hulk?”
“Ya, naik becak, kek, atau ojek.”
“Ongkos naik becak atau ojeknya lumayan bisa buat makan sehari, Gun, ayo buruan bangun!”
“Ah, Mamak, gangguin Gugun tidur aja!” gerutu Gugun meskipun akhirnya dia ke kamar mandi untuk cuci muka.
Akhirnya ibu dan anak itu keluar rumah untuk mengantarkan barang pesanan Mami Ines.
Mak Besari menyangklongkan karung berisi sepuluh kilo iga sapi di pundaknya, sedangkan sepuluh kilo lainnya dibawa Gugun yang berjalan dengan malas di belakangnya.
“Kau itu jadi anak jangan malas kalilah. Bagaimana si Dewi itu mau sama kau yang pemalas ini?” Mak Besari mulai berkhotbah.
“Kalau muka kau tidak bisa menolong, setidaknya kantong kau bisa menolong.” Mak Besari terus saja menceramahi anaknya.
“Contoh almarhum bapak kau tuh yang rajin bekerja. Karena itu Mamak jatuh cinta.”
Sepi, tak ada sahutan. Mak Besari tidak tahu bahwa lima menit yang lalu Gugun membelokkan langkah ke teras rumah Dewi, ketika dilihatnya gadis itu sedang duduk di sana.
Mak Besari menoleh. “Gun, Gugun, di mana kamu?” Wanita itu kebingungan mencari anaknya.
Tiba-tiba terdengar suara: “ Guk guk!” Seekor anjing kampung menatap Mak Besari. Sejak beberapa menit yang lalu anjing itu mengikuti karena tertarik dengan tulang iga yang mencuat dari karung yang sedikit bolong di pojoknya.
“Gugun?” Mak Besari melolot memandang si anjing.
“Guk guk!”
“Ya Allah, Tuhanku, kenapa anakku jadi anjing? Biar kata dia masih jadi anak pemalas, jangan kau kutuk dia jadi anjing, Tuhan, aku memaafkannya,” ucap Mak Besari terasedu sambil mengelus-elus si anjing.
Tamat