Genre

“Jadi, bagaimana?”

“Hmm?”

“Astaga, T! Apa kau mendengarku tadi?” protes sahabatku itu.

“Semua oke,” jawabku tanpa rasa bersalah telah membuatnya kesal. “Jalan cerita, tokoh, lingkungan, karakter, aku merasakan semua,” komentarku pada karya tulisnya. “Kau memang ahli dalam genre romansa.”

Lawan bicaraku itu mengaduk minumannya. “Nadamu lebih terdengar seperti sindiran, Tory.”

Kupandang datar dirinya, “aku hanya iri, Viera. Aku selalu gagal untuk menulis genre romansa, sedangkan kau dengan mudahnya menyelesaikan dalam semalam.”

“Kau lebih ahli di genre aksi. Kita punya kelebihan masing-masing,” Viera menanggapi tenang. “Tapi kurasa kau hanya perlu imajinasi lebih untuk mengungkapkan perasaanmu ke dalam tulisanmu. Kau berhasil melakukannya di genre aksi, sekarang coba genre romansa.”

Kutarik sisi kanan bibirku, berpikir cepat. “Yah, sebenarnya aku membayangkan sesuatu saat membaca akhir dari tulisanmu ini.”

Viera mencondongkan badannya, “coba ceritakan!”

Kugeser layar ponselku untuk mengarah ke bagian tulisan yang kumaksud. “Kau menulis jika si cewek akhirnya membongkar semua bukti tentang perselingkuhan si cowok. Lalu dia minta si cowok keluar dari apartemennya. Si cewek mengira dia akan melihat si cowok, tapi—sesuai dugaannya—si cowok ada di rumah selingkuhannya, meski si cowok teriak kalau dia tidak melihat si cewek, pura-pura ada di lingkungan apartemennya.”

“Si cewek patah hati dan meninggalkan si cowok. Mereka putus,” Viera melanjutkan. “Ini cerita pendek, aku tidak bisa menambah detailnya lebih jauh. Tapi itu intinya. Si cewek sedih dan terluka,” ujarnya. “Bagaimana dengan versimu?”

“Secara garis besar sama. Pemaparan bukti perselingkuhan, lalu putus. Tapi saat putus, si cewek yang tahu kalau si cowok tidak di tempat, akan tersenyum sinis. Si cowok memohon, namun tidak digubris. Hingga akhirnya si cewek bilang putus sambil meledakkan apartemen si cowok. Dan kata-kata terakhir si cewek sebelum mengakhiri telepon: ‘Ini akibat jika kau menyakiti hati wanita. Selamat tinggal.’ Lalu tamat.”

Wajah Viera seketika datar, “itu pembunuhan.”

“Si cowok di tempat yang berbeda,” koreksiku.

“Astaga,” ia memijit dahinya. “Tetap saja. Ini seperti perang mafia!”

“Jadi si cewek tidak perlu menangis,” ucapku masih bersikeras.

“Jika hati sudah disiapkan untuk menerima semua fakta itu, dia tidak perlu menangis! Berbeda jika diputus, akan lebih menyentuh jika ada tangisan.”

“Itu menyedihkan, V!” komentarku. “Tapi menurutku, kurang berkesan jika tanpa aksi, walaupun sedikit.”

“Dan selalu begini,” ia menanggapi. “Ini bukan pertama kalinya mendengar versi romansamu dan entah kenapa aku selalu penasaran meski tahu hasil akhirnya.”

“Kurasa itu keren,” kataku masih dengan nada tenang.

“Kau juga membenci Romeo dan Juliet.”

“Aku tidak membenci, hanya saja salah jika menganggapnya kisah romantis.”

“Kau bilang itu kisah tragis.”

“Itu hanya cerita yang terjadi selama tiga hari antara dua bocah belasan tahun yang menyebabkan 6 orang tewas. Dan keduanya tewas karena salah sangka antar sesama. Jadi, ya! Itu tragis.”

“Victoria!” ia menghela nafas, lalu menatapku lekat. “Jangan menyentuh genre romansa! Jangan pernah!”

Kuhentikan kegiatan minumku dan menatapnya polos. “Kenapa?”

“Kau hanya akan menghancurkannya. Sudahlah, pokoknya jangan,” ia mengibaskan tangannya.

“Baiklah,” ucapku tidak ingin menambah perdebatan.

“Aku serius!” tegas Viera, mengetahui nada tak peduliku.

“Astaga, oke oke! Aku hanya akan menulis romansa jika kau mengawasi!”

Viera mengembalikan ekspresi cerianya, kembali fokus pada acara camilan kami. 

4 disukai 4.4K dilihat
Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Saran Flash Fiction