Orang bilang, cinta itu tidak memandang usia. Tapi orang lupa bilang, kalau cinta itu memandang circle pertemanan. Dan disitulah letak kesalahan fatal dalam hidupku belakangan ini.
Usiaku saat itu awal-awal 32 tahun. Teman akrabku: Pak Rahmat, 54 tahun. Kami sama-sama suka motoran dan suka touring jarak jauh
Aneh memang. Kenapa aku yang masih di usia produktif ini malah bersahabat dengan bapak-bapak yang sudah bau minyak angin? Jawabannya karena hobi. Kami sama-sama pecinta motoran dan touring. Aku sering main ke rumah Pak Rahmat untuk sekadar ngopi, bahas motor, atau kadang kami touring bareng ke dieng atau jogja.
Tapi, ada alasan terselubung kenapa aku rajin banget apel ke rumah Pak Rahmat. Alasan itu bernama: Vina.
Vina adalah anak Pak Rahmat. Mahasiswi semester 5, usia 21 tahun. Cantik, modis, wangi, dan glowing. Setiap kali aku melihat Vina keluar membawakan kopi, duniaku seakan melambat. Lagu slowmo Korea otomatis berputar di kepalaku.
Jarak usia kami "cuma" 11 tahun. Menurutku, itu jarak yang ideal. Pasangan selebritis banyak yang beda 15 tahun aman-aman saja. Jadi, secara teoritis, peluangku terbuka lebar.
Strategiku rapi. Aku memposisikan diri bukan sebagai "Teman Bapaknya", tapi sebagai "Kakak Senior yang Asik".
Tiap ke rumah Pak Rahmat, aku tidak pakai batik atau kaos partai. Aku pakai hoodie oversize, celana cargo, dan sepatu sneakers (yang terlihat) mahal. Aku ingin menunjukkan pada Vina: "Lihat, Dek. Aku ini beda kasta sama Bapakmu. Aku ini Gen Y yang masih relate sama Gen Z."
Usahaku membuahkan hasil. Kami mulai akrab.
Awalnya cuma basa-basi saat dia antar kopi. "Lagi skripsi ya, Vin?" tanyaku sok tahu. "Belum Mas, baru semester 5," jawabnya sambil tersenyum ramah.
Deg. Dia panggil aku "Mas". Bukan "Om", bukan "Pak". Ini sinyal, Saudara-saudara! Panggilan "Mas" adalah gerbang menuju pelaminan!
Langkah kedua, Saling tukar nomor WA. Suatu hari, aku pura-pura kehabisan kuota saat di rumah Pak Rahmat. "Vin, boleh minta tethering gak? Atau minta WA kamu deh, nanti Mas kirim file foto motor Bapak yang udah jadi," modusku. Klasik tapi efektif. Vina memberikan nomornya tanpa ragu.
Malamnya, aku mulai melancarkan serangan udara. Aku: "Vin, foto motor Bapak udah Mas kirim ya. Btw, Profil WA kamu bagus. Lagi di kafe mana tuh?"
Lima menit kemudian. Vina: "Makasih Mas Cahyo. Itu di Kopi Senja, yang baru buka di pusat kota."
Chatting kami berlanjut. Intensitasnya meningkat. Aku sering reply story dia. Dia selalu membalas dengan ramah, kadang pakai emoticon tertawa, kadang pakai stiker kucing lucu. Aku merasa di atas angin. Aku merasa muda kembali (aku memang masih muda, walau badan jompo).
Puncak pendekatanku terjadi minggu lalu. Pak Rahmat sedang pergi ke luar kota untuk urusan dinas. Aku tahu Vina sendirian di rumah. Jiwa ksatriaku meronta.
Aku: "Vin, Bapak lagi di luar kota ya? Kamu udah makan malam belum? Mas lagi cari makan nih, mau nitip atau mau makan bareng sekalian?"
Jantungku berdebar menunggu balasan. Apakah ini terlalu agresif?
Vina: "Eh, kebetulan aku laper banget Mas. Boleh deh makan bareng, lagi bosen di rumah."
JACKPOT!
Makan bareng. Berdua. Tanpa Pak Rahmat. Ini bukan sekadar makan malam. Ini adalah kencan terselubung.
Aku menjemput Vina dengan motor PCX-ku, yang tampilannya sudah ku oprek sedemikian rupa jadi seperti motor mahal. Vina keluar dengan outfit kasual yang cantik banget. Saat dia naik ke boncengan, aku merasa menjadi pria paling beruntung di kecamatan ini.
Kami makan di sebuah restoran All You Can Eat. Sepanjang makan, obrolan kami mengalir deras. Aku berusaha keras menyesuaikan topik. Aku bahas TikTok, aku bahas konser musisi yang sedang ramai, aku bahas istilah-istilah gaul macam cegil, red flag, dan skena. Aku merisetnya sampai begadang berhari-hari.
Vina tertawa terus mendengar ceritaku. "Mas Cahyo lucu banget sih orangnya," katanya sambil memanggang daging. "Ah masa sih? Kamu aja yang receh," balasku merendah untuk meroket.
Di dalam hati, aku sudah menyusun rencana masa depan. Tahun ini pacaran. Tahun depan nabung. Dua tahun lagi nikah. Pak Rahmat pasti setuju, kan aku sohibnya. Mertua rasa bestie.
Setelah makan, aku tidak langsung mengantar dia pulang. Kami mampir sebentar di kedai kopi. Suasana makin syahdu. Lampu remang-remang, musik akustik romantis.
Aku menatap Vina. Dia menatapku. Aku merasa, inilah saatnya. Aku harus memperjelas status. Aku tidak mau selamanya jadi teman chat doang.
"Vin," panggilku pelan. Suaraku kubuat se-bariton mungkin, ala penyanyi jazz. "Iya, Mas?" Vina meletakkan gelas es kopinya. Dia menatapku dengan mata bulatnya yang indah.
"Sebenarnya... Mas seneng banget bisa jalan sama kamu malam ini. Rasanya beda aja," pancingku.
Vina tersenyum. Senyum yang sulit untuk kuartikan. "Aku juga seneng kok, Mas. Jarang-jarang bisa keluar, biasanya di rumah terus, maklum anak rumahan."
Aku tertawa kecil. "Iya, sama, aku juga anak rumahan. Tapi Vin... Mas mau ngomong sesuatu yang agak serius."
Raut wajah Vina berubah. Dia terlihat antusias. "Wah, kebetulan banget Mas! Aku juga mau ngomong sesuatu yang serius sama Mas Cahyo. Dari tadi aku nunggu momen yang pas."
Jantungku berhenti berdetak. Apa ini? Apa dia mau nembak duluan? Apa dia juga memendam rasa yang sama? Gen Z memang beda..!!! Agresif..!! Aku suka..!!
"Kamu duluan deh, Vin," kataku, memberikan panggung.
Vina menarik napas panjang. Dia memajukan badannya, mendekat ke arahku. Aku menahan napas. Wangi sampo-nya tercium jelas.
"Gini lho, Mas..." Vina memulai dengan nada berbisik, seolah ini rahasia negara.
"Sebenarnya... aku lagi backstreet."
Duar. Satu peluru menembus dada kiri. Backstreet? Punya pacar?
"Maksudnya?" tanyaku dengan suara tercekat.
"Iya, aku punya cowok, Mas. Teman kampus. Tapi aku takut banget ngenalin ke Papa. Papa kan galak, kolot, seleranya old school banget. Papa nggak suka cowok yang modelan anak band gitu."
Aku terdiam. Senyumku mulai kaku seperti kanebo kering.
"Terus?"
Vina menatapku dengan tatapan penuh harap. Tatapan yang sama seperti saat dia minta tethering.
"Nah, Mas Cahyo kan bestie-nya Papa. Mas Cahyo kan satu circle sama Papa. Kalian kan sefrekuensi banget, sama-sama hobi motoran, sama-sama suka touring, sama-sama... ya gitu deh, jiwanya bapak-bapak banget."
Jleb. Peluru kedua. Jiwanya bapak-bapak banget? Padahal aku pakai hoodie Supreme KW super malam ini!
"Maksud kamu?"
"Aku mau minta tolong Mas Cahyo buat ngomongin ke Papa. Bujuk Papa biar nggak galak-galak. Kalau Mas Cahyo yang ngomong, Papa pasti denger. Soalnya di mata Papa, Mas Cahyo itu udah kayak adiknya sendiri. Udah kayak Om aku sendiri."
KRAK. Itu bukan suara kerupuk. Itu suara hatiku yang patah menjadi 32 bagian.
OM. Dia menyebutku OM secara implisit.
Vina melanjutkan tanpa rasa berdosa, "Please ya, Om Cahyo? Bantuin Vina ya? Cowok Vina tuh baik, cuma ya gitu, gayanya slengean dikit. Beda sama Mas Cahyo dan Papa yang mature dan dewasa."
Malam itu, di bawah lampu kafe yang remang-remang, aku menyadari satu hal pahit.
Selama ini, keramahannya bukan cinta. Chatting intens-nya bukan PDKT. Makan malam ini bukan kencan.
Ini adalah Lobi Politik. Dia mendekatiku bukan untuk menjadi pacar, tapi untuk menjadi Juru Bicara di hadapan Bapaknya. Dia menjadikanku Tumbal untuk memuluskan jalan cintanya dengan cowok lain.
Di matanya, aku bukanlah pria potensial. Di matanya, aku satu paket dengan Pak Rahmat. Satu paket fosil. Satu paket masa lalu. Satu paket "Orang Tua".
Aku menelan ludah yang terasa pahit. "Oh... gitu. Iya, Vin. Nanti Mas... eh, Om coba ngomong sama Bapakmu ya."
"Aaaa! Makasih banyak Mas Cahyo! Kamu emang teman Papa yang paling asik! Best Uncle Ever!"
Dia bersorak riang. Best Uncle Ever. Paman Terbaik.
Aku mengantar Vina pulang dengan perasaan hampa. Di atas motor, dia tidak memelukku. Dia memegang behel motor belakang. Menjaga jarak. Jarak sopan santun antara keponakan dan Paman.
Sesampainya di rumah, aku bercermin. Aku melihat kerutan tipis di ujung mata. Aku melihat hoodie gaul yang kupakai. Mendadak aku merasa konyol.
Aku melepas hoodie itu, lalu mengambil sarung dan kaos oblong. Aku duduk di teras, menatap langit malam, sambil memutar lagu Ebiet G. Ade.
Ternyata benar kata pepatah. Sedekat-dekatnya kita dengan anak teman, tembok "Teman Papah" itu setinggi Tembok Besar China. Tak bisa dipanjat, tak bisa ditembus.
Mulai besok, aku akan berhenti sok muda. Aku akan fokus memelihara burung perkutut saja. Burung tidak akan pernah menyakitiku dengan memanggilku "Om".