Ada pepatah mengatakan: "Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung." Tapi bagi kami kaum dompet tipis, pepatahnya berubah jadi: "Di mana restoran mewah dipijak, di situ ginjal minta dijunjung (dijual)."
Hari ini, aku melakukan kesalahan fatal dalam strategi PDKT.
Targetku bernama Clarissa. Dia tipe cewek yang kalau ngomong, setiap tiga kata pasti ada selipan bahasa Inggris-nya. "Which is", "Literally", "Prefer", dan "Honest Review". Dia cantik, wangi, dan pergaulannya ada di stratosfer.
Sore tadi, Clarissa nge-chat: "Yo, aku lagi dinner sama girls squad aku nih di Le Petite (nama samaran). Kamu kalau mau join sini aja, sekalian kenalan sama bestie bestie ku."
Jantungku berdegup kencang. Ini kesempatan emas! Masuk ke inner circle gebetan adalah langkah besar. Tanpa pikir panjang, aku mengiyakan. Aku memakai kemeja flanel kotak-kotak andalanku (yang biasa kupakai buat kondangan), menyisir rambut klimis, dan memacu motor Beat-ku menuju kawasan Senopati.
Sesampainya di sana, nyaliku langsung ciut. Parkirannya isinya Alphard, Rubicon, dan Mercy. Motor Beat-ku diparkir mojok di sebelah genset, seolah-olah tukang parkirnya pun tahu kasta motor ini tidak layak bersanding dengan mobil-mobil itu.
Aku masuk ke dalam restoran. Udaranya dingin menusuk, wangi aromaterapi lavender dan truffle. Lampunya remang-remang (mungkin biar pelanggan nggak jantungan pas liat tagihan).
"Mas Cahyo ya? Meja nomor 8," sapa pelayan yang seragamnya lebih rapi daripada baju lebaranku.
Aku berjalan menuju meja nomor 8. Di sana, Clarissa duduk bersama tiga temannya yang sama-sama glowing. Mereka terlihat seperti bidadari yang sedang rapat pemegang saham.
"Hi Cahyo! Finally!" sapa Clarissa ramah.
Aku duduk. Kursinya empuk sekali untuk pantatku yang lebih familiar dengan keramik. "Halo semua, kenalin, Cahyo," kataku canggung.
Mereka tersenyum sopan. Tiga teman Clarissa menatapku dari atas sampai bawah. Tatapan mereka berhenti sebentar di kemeja flanelku. Mungkin mereka bingung, apakah aku teman Clarissa atau tukang kayu yang mau benerin meja.
"Pesen dulu gih, Yo," kata Clarissa.
Pelayan datang membawa buku menu. Buku menunya tebal, berat, dan dilapisi kulit asli. Aku membukanya. Dan di sinilah Serangan Jantung Tahap 1 dimulai.
Di menu itu, tidak ada gambar makanannya. Hanya tulisan-tulisan aneh. Escargot de Bourgogne. Foie Gras Poached in Red Wine. Wagyu A5 Miyazaki Ribeye.
Tapi yang paling horor adalah angkanya. Di sebelah tulisan menu, angkanya cuma sedikit. Contoh: 450. 800. 1200.
Otak polosku sempat berpikir positif. "Oh, 450 itu maksudnya Rp 45.000 ya? Wah, murah juga." Tapi logikaku menampar keras. "Sadar, Woi! Ini Senopati! 450 itu maksudnya 450 RIBU!"
Aku menelan ludah. Keringat dingin mulai menetes di punggung. Harga satu porsi steak di sini sama dengan biaya hidupku selama dua minggu. Kalau aku pesan yang 1200 (1,2 Juta), aku harus puasa Daud selama 3 bulan ke depan.
"Bingung ya Yo?" tanya salah satu teman Clarissa, namanya Tiffany. "Cobain Dry Aged nya deh, the best in town sih."
Aku melihat harganya. 1800. (1,8 Juta). Mampus.
"Emm... aku lagi nggak laper banget sih. Udah makan tadi (padahal belum)," dustaku demi menyelamatkan dompet. "Aku pesen... Caesar Salad aja deh."
Aku cari menu paling murah. Salad. Harganya 150 (150 Ribu). Nyesek. Daun-daunan dikasih mayones doang harganya segini. Di tukang gado-gado bisa makan sampai muntah.
"Minumnya, Sir?" tanya pelayan.
"Air putih aja, Mas," jawabku cepat. Air putih pasti gratis atau murah kan?
"Baik. Still or Sparkling?"
Hah? Apa itu? "Ehh... Still aja, Mas." (Aku milih 'Still' karena artinya 'Diam/Tenang'. Semoga harganya juga tenang).
Pelayan pergi. Obrolan para wanita ini berlanjut. Dan ini adalah Serangan Mental Tahap 2.
Topik obrolan mereka bukan tentang harga cabe naik atau tetangga yang rese. "Eh, next month jadi ke Europe kan?" tanya Tiffany. "Jadi dong. Gue udah issued tiket. Tapi gue landing di Milan dulu, mau shopping titipan Mami i," jawab Clarissa santai. "Ih seru banget! Gue skip dulu deh, lagi saving buat beli tas Hermes yang Kelly," sahut teman satunya.
Aku cuma diam, menelan angin. Mereka ngomongin Eropa kayak ngomongin mau ke Tanah Abang. Mereka ngomongin beli tas Hermes kayak aku ngomongin beli tas kresek.
Aku mencoba relate. "Wah, Eropa ya? Asik tuh. Dingin." Komentar paling sampah sedunia. "Dingin." Mereka menatapku, tersenyum maklum. Senyum kasihan.
Makanan datang. Saladku datang di piring segede parabola, tapi isinya cuma ada di tengah-tengah, seuprit. Ada selada, roti kering, dan parutan keju. Rasanya? Ya rasa daun.
Minumanku datang. Ternyata "Air Putih" di sini bukan air teko atau Aqua gelas. Pelayan menuangkan air dari botol kaca elegan merek Equil. Mampus. Aku tahu merek ini. Ini air mineral ningrat. Harganya bisa 50 ribu sebotol.
Aku makan pelan-pelan. Sangat pelan. Setiap kunyahan kuhitung harganya. Satu lembar daun selada ini mungkin harganya 5 ribu rupiah.
Tiba saatnya momen paling mengerikan: The Bill (Tagihan).
Clarissa mengangkat tangan. "Bill, please." Pelayan membawa map kulit kecil.
"Kita split bill aja ya Girls?" tanya Clarissa.
"Oke!" jawab mereka serempak.
Aku lega. Split bill. Berarti aku cuma bayar punyaku. Aman. Salad 150 ribu + Air 50 ribu = 200 ribu. Sakit sih, tapi masih ada sisa uang di ATM.
Tapi tunggu dulu... Tiffany mengambil kalkulator di HP-nya. "Oke, total bill nya 8 juta ya. Karena kita makannya sharing tadi steak-nya, dibagi rata aja ya berlima biar gampang."
JEDER!
Dibagi rata?! Tadi kan aku bilang aku nggak laper! Aku nggak nyentuh Wagyu 1,8 juta itu! Aku cuma makan daun! Kenapa aku harus ikut nanggung biaya hedon kalian?!
Tapi mulutku terkunci. Ego lelakiku menahan protes. Masa aku mau bilang: "Eh, jangan dong, aku cuma makan salad lho." Di depan Clarissa? Di depan circle sultannya? Harga diriku sebagai laki-laki akan hancur lebur.
"Jadi per orang kena... 1,6 Juta ya. Transfer ke aku aja," kata Tiffany santai.
1,6 Juta. KU ULANGI... SATU JUTA ENAM RATUS RIBU RUPIAH.
Duniaku gelap. Suara musik jazz di restoran itu berubah menjadi lagu ‘Gugur Bunga’. Itu uang kost bulan depan. Itu uang makan sebulan. Itu uang servis motor. Itu uang untuk hidup.
Dengan tangan gemetar hebat, aku membuka Mobile Banking. Saldo awalku: 1.800.000. Sisa saldo setelah transfer: 200.000. sebagian besar hidupku keluar dalam sesaat.
"Udah aku transfer ya," kataku dengan suara parau. Senyumku getir. Mataku berkaca-kaca, bukan karena terharu, tapi karena meratapi nasib.
"Thanks Cahyo!" kata mereka riang.
Kami keluar dari restoran. Mereka menuju Valet Parking, mobil-mobil mewah mereka sudah menunggu. "Bye Cahyo! Nice to meet you! Kapan-kapan hangout lagi ya!"
Aku melambaikan tangan lemah. "Kapan-kapan matamu," batinku.
Aku berjalan menuju pojokan genset, mengambil motor Beat-ku. Di perjalanan pulang, angin malam terasa sangat dingin. Lebih dingin dari biasanya. Perutku masih lapar. Salad 150 ribu tadi sudah lenyap dicerna asam lambung yang naik karena stres.
Aku berhenti di Indomaret. Membeli roti sobek seharga 12 ribu dan air mineral gelas. Duduk di trotoar, makan roti sambil menatap nanar notifikasi mutasi rekening.
Hari ini aku belajar satu hal: Kesenjangan sosial itu nyata. Dan cinta beda kasta itu bukan seperti FTV yang happy ending. Cinta beda kasta itu adalah Pemiskinan Terstruktur, Sistematis, dan Masif.
Mulai besok, aku akan mendekati cewek yang nongkrongnya di Seblak Prasmanan saja. Minimal kalau split bill, aku cuma rugi kerupuk dua biji.