Disukai
6
Dilihat
866
Sebelah
Slice of Life

“SEPATU siapa ini, cuman separoh?”

Lagi-lagi pertanyaan itu membuatku harus banyak-banyak istighfar dan mengelus dada. Ya ampun, kalau ngomong itu bisa gak sih, kosakatanya disesuaikan dengan kebutuhan. Masa iya, untuk ukuran benda seperti sepatu memakai kata 'separuh'? Memangnya hati, yang separuhnya ada di aku dan separuhnya lagi enggak tahu sama siapa? Ngawur!

Eh, ngomong-ngomong, aku Yuna. Dan yang barusan bertanya dengan kalimat serampangan itu Ike, teman sekelasku yang super duper dermawan. Uangnya banyak sih, jadi dia gampang aja berbagi dengan yang lain. Gak seperti aku, yang uang jajannya tidak akan cukup untuk membeli sebungkus sari roti. Astaghfirullah, syukur nikmat, Yuna! Emang mau diazab kayak Qorun? Naudzubillah, ih!

Sambil mengatur ekspresi biar gak kelihatan sedih, aku menoleh ke arah Ike yang masih kebingungan di depan pintu kelas. “Punya aku, Ke,” sahutku setengah berteriak.

Kulihat perempuan tomboi itu sedikit tersentak. Malam ini dia dapat giliran merapikan sepatu para peserta pesantren kilat—disingkat sanlat. Dan sudah pasti dia kebingungan saat mendapati sepatu salah seorang peserta hanya sebelah. Salahku juga sih, harusnya kuletakkan saja sepatu flat hitam sebelah kanan itu di luar biar gak dilihat orang.

“Maaf ya, Na,” katanya sambil tersenyum sungkan. Ada rasa iba yang terpancar dari kedua matanya saat menatapku. Meski tatapan itu terkadang berhasil membuat hati miris, tapi aku selalu berhasil menahan diri supaya gak menangis.

Kuangkat jemariku membentuk huruf O, pertanda aku baik-baik aja, gak perlu meminta maaf.

“Dia gak tau kalau itu punyamu,” celetuk seorang gadis di dekatku sambil tersenyum ramah. Fatin namanya, salah seorang kakak kelas yang terpaksa ikut sanlat tahun ini karena gak ikut tahun lalu.

“Iya, Kak, gak pa-pa,” balasku ikut tersenyum.

Aku sudah terbiasa mendengar pertanyaan mengenai sepatuku yang cuma sebelah. Bahkan pernah suatu kali saat pelajaran agama dilangsungkan di mushola—saat itu aku masih kelas sembilan, guru kami yang baru kembali dari menerima telepon bertanya, “Itu sepatu siapa yang hilang?”

Serta-merta teman-temanku berhamburan keluar untuk memeriksa sepatu mereka. Kecuali aku dan sahabatku, kami berdua memilih tetap duduk mengerjakan soal yang diberikan.

“Santai aja, gak mungkin sepatumu yang hilang,” bisiknya kala itu sambil tersenyum jenaka.

Aku tertawa menanggapi. Ah, sahabatku ini ... dia tahu persis bagaimana perasaanku tanpa perlu kujelaskan. Dera ... si kurang umur—dia sudah SD saat usianya baru lima tahun—kesayanganku, sahabat dunia dan surgaku. Aku bersyukur punya dia di hidupku yang sulit.

Pintu kelas yang menjadi tempat istirahat dan tidur peserta sanlat forum empat dan lima dikunci. Itu pertanda bahwa kami harus tidur agar besok tidak terlambat mengerjakan ibadah sepertiga malam.

Aku segera berbaring berselimut sarung, menumpang bantal salah seorang teman SD yang bertemu kembali di bangku SMA. Sambil memejamkan mata, kucoba menyusun rencana mau meletakkan sepatu flat kananku di sebelah mana agar pertanyaan yang sama tak lagi kudengar selama kegiatan sanlat berlangsung.

***

Miris kurasa hatiku mendapati sepatu flat kananku dibiarkan berada di luar kelas, tidak mendapat tempat bersama puluhan pasang sepatu cantik yang disusun rapi di bagian dalam. Aku melihatnya teronggok di luar bersama pekatnya malam saat akan keluar mengambil air wudu.

Semalam aku memang lupa meninggalkannya di luar sesuai rencana, tapi kupikir seseorang akan memasukkannya ke dalam ruangan bersama sepatu lainnya. Nyatanya tidak, sepatu flat jelek itu dibiarkan begitu saja. Sendirian, kedinginan, tanpa pasangan. Miris! Pantas semalam aku tak mendengar pertanyaan, “Ini sepatu siapa cuman sebelah?” Ternyata dia luput dari perhatian.

Mungkin mereka lupa masukin, atau mereka gak lihat sepatumu masih di luar, kan warnanya sama hitamnya dengan langit malam.

Kucoba menghibur diri dengan ucapan positif sambil mengenakan flat hitam itu di kaki kananku. Aih, terlalu lama di luar membuat bahannya menjadi sangat dingin. Aku sedikit menggigil di tengah lorong menuju kamar mandi. Lalu sayup-sayup kudengar peserta lainnya mulai menyusul di belakang.

***

Ada yang bilang, sepatu adalah mahkota bagi seorang wanita. Benarkah Pernyataan itu sepertinya tidak berlaku untukku. Aku bahkan tak pernah memiliki rasa percaya diri saat mengenakan sepatu cantik sekali pun. Hanya sebelah! Bagaimana bisa aku percaya diri dengan itu? Kadang hal itu mengganggu pikiranku, membuatku dirundung kesedihan, lalu jika tak kuat, aku akan menangis sampai sesak.

Menjadi disabilitas itu tidak enak. Percayalah! Ruang gerakmu dibatasi, kelemahanmu digerogoti, rasa percaya dirimu dikuliti. Tak bisa ini, tak bisa itu. Malu mau begini, malu mau begitu. Pokoknya tidak enak! Apalagi saat orang-orang menatapmu dengan sorot mata kasihan. Sungguh, aku tak pernah suka dikasihani. Dan tidak perlu juga dikasihani. Aku tidak se-menyedihkan itu.

Lagi pula, apa yang membuatku harus terpuruk oleh keadaan? Tak bisa berlari bukan berarti tak bisa melangkah, kan? Aku hanya butuh alat bantu untuk bisa berjalan. Selain itu aku masih bisa belajar, masih bisa bekerja, masih bisa bermain dan berkreasi dengan kedua tangan yang utuh.

Allah itu Maha Baik. Dia tak akan mendzolimi hambanya dengan meletakkan kekurangan tanpa didampingi kelebihan. Allah itu paket komplit dalam penciptaan. Ada suka ada duka, ada susah ada senang, ada lebih ada kurang, dan masih banyak hal yang Dia ciptakan berdampingan.

Hanya mengacu pada kalimat Allah Maha Baik dan Dia adalah Sebaik-baik Pencipta, selalu berhasil membuatku menjadi kuat dan mensyukuri nikmat-Nya. Iya ... sejatinya kebahagiaan itu terletak pada rasa syukur. Semakin banyak kamu bersyukur, maka semakin banyak kebahagiaan yang akan kamu peroleh. Lagi pula Allah sendiri pernah mengatakan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu. Dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka azab-Ku sangat pedih¹.”

Nah, hidup itu pilihan. Mau ditambahi nikmat atau dijatuhi azab?

***

Berdesakan dengan senior dan teman seangkatan di halte sekolah menjadi akhir kegiatan sanlat tahun ini. Setelah ini kami akan diliburkan sampai selesai lebaran. Menyenangkan, aku bisa mulai membuat draft untuk novel baru.

“Aduh!”

Seseorang tidak sengaja menginjak ujung sepatuku. Murid laki-laki dari kelas unggulan itu menatapku sambil tersenyum sipu.

“Maaf, Na, gak sengaja aku,” katanya menyesal.

“Aman,” jawabku singkat. Lalu kembali menatap depan, menunggu jemputan.

“Bawa roti, Na? Gak dimakan?” Pandangannya mengarah ke bawah, tertuju pada se-plastik roti zebra yang tersisa.

Aku mengangguk. “He-eh. Kemarin diantar sama Babe,” jelasku. “Cuma dimakan satu sama Tasya semalam. Kamu mau?” Aku menawarkan. Menyodorkan plastik roti dalam keadaan terbuka ke arahnya.

“Bolehlah untuk buka puasa,” ujarnya sembari mengambil satu bungkus. Lalu cepat-cepat dia masukkan ke dalam ransel besarnya sebelum dilihat orang. Malulah puasa-puasa pegang makanan.

“Eh, duluan ya, Na. Udah datang,” serunya tiba-tiba sambil menunjuk angkutan kota yang berhenti.

Aku melambai ke arahnya. “Hati-hati,” ujarku dibalasnya dengan senyuman.

Seorang wanita tampak berdiri di seberang jalan menghadapku, saat setelah angkot yang membawa teman-temanku bergerak menjauh. Sepertinya sedang menunggu angkot jurusan kota. Seketika mataku tertuju pada sepasang wedges yang dikenakannya. Cantik. Sesuai dengan ukuran tubuhnya yang langsing.

Serta-merta aku menunduk, menatap ujung sepatuku dengan sedih. Melirik sedikit ke kiri, tampak ujung tongkatku yang terjulur kaku. Aku tersenyum. Setidaknya sepatu flat kananku berwarna senada dengan bantalan karet tongkat. Sama-sama hitam.

Aku ingat kali pertama membeli sepatu flat ini. Harganya cuma tiga puluh ribu dan mungkin bisa jatuh hingga dua puluh ribu jika aku lebih pandai menawar. Jika dibandingkan dengan wedges di seberang sana, pastilah tak ada apa-apanya. Sepatuku murah dan hanya sebelah kanan yang kubutuhkan. Sebelah kiri akan kubiarkan di dalam dus. Berdebuh, usang, dan tua dimakan usia.

Ah, tak apa. Harga sepatu bukan jaminan seseorang bisa masuk surga, kan? Faktanya sepatu emas Fir’aun dibakar di Neraka, sedangkan suara langkah sandalnya Bilal bin Rabah terdengar sampai ke Surga.

Kembali aku tersenyum. Kali ini lebih lebar dari sebelumnya. Sesederhana itu ternyata menemukan bahagia. Cukup dengan mensyukuri keadaan diri, maka limpahan kebahagiaan akan selalu mewarnai. Jadi, jangan lupa bersyukur, ya.

Glosarium

¹Ibrahim/14:7

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi