Disukai
8
Dilihat
893
Drama Kecupan Manis
Romantis

“LAM, ada yang nyariin tuh.”

Nilam baru tiba di kantin ketika seorang mahasiswi kenalannya menyampaikan hal itu. “Siapa?” tanyanya.

“Gak tau tuh.” Kenalannya mengangkat bahu. “Dia nunggu lo di sana,” katanya sambil mengarahkan telunjuknya ke tengah-tengah ruangan.

Nilam mengikuti arah yang ditunjuk dan matanya langsung tertuju pada punggung seorang laki-laki yang duduk di meja tidak jauh dari posisinya.

Perhatian Nilam kembali ke depan ketika mendengar kenalannya itu berdecak kagum. “Ganteng benget lho, Lami. Mirip Zayn Malik.”

Nilam bergidik melihat kenalannya senyum-senyum sambil merapatkan kaki. Kebelet pipis atau gimana, sih?

“Ya udah, gue ke sana dulu.” Nilam menatap kenalannya sesaat sebelum beranjak, lalu berkata, “Lo kayaknya harus ke toilet, deh.”

Kenalannya tersadar dan langsung menegakkan badan sambil berdeham pelan. Sementara Nilam mulai berjalan melewati barisan meja yang sudah dipenuhi mahasiswa yang sedang makan sambil mengobrol. Ia menghampiri laki-laki yang ditunjuk kenalannya dan bertanya langsung, “Mas cari saya?”

Si mas-mas ganteng yang—persis seperti kata kenalannya—mukanya mirip Zayn Malik itu mendongak menatap Nilam, lalu bangkit dan tersenyum ramah. “Iya,” sahutnya, “Kamu Nilam, kan?”

Agak heran Nilam menjawab, “Iya, saya Nilam.” Kemudian bertanya, “Mas siapa, ya?”

“Saya Handika Adskhan.” Laki-laki itu menyebutkan namanya tanpa mengulurkan tangan, lalu mempersilakan Nilam untuk duduk.

“Masnya ada perlu apa sama saya?” tanya Nilam sesaat setelah ia mengambil duduk dengan nyaman. Sebenarnya tidak juga. Nilam merasa atmosfer di sekitar mereka agak canggung meski keadaan kantin sedang ramai. Mungkin karena mereka baru kenal.

“Saya perlu kamu,” jawab laki-laki bernama Handika Adskhan itu sambil tersenyum penuh arti.

Alis Nilam terangkat. “Maksudnya?”

“Kamu masih single, kan?”

Agak kaget, Nilam tidak bisa langsung menjawab. Ia hanya menatap laki-laki di hadapannya dengan bingung.

Laki-laki yang ditatapnya seolah tidak menyadari—atau mungkin memang tidak peduli—keheranan di wajah Nilam. Ia melanjutkan, “Jadi istri saya, ya? Saya suka kamu, saya sayang kamu ... Putri Nilam Cahyani.”

Sontak Nilam bangkit dengan terhuyung mundur. Ia menatap laki-laki di hadapannya dengan ngeri. Kalau diperhatikan dengan seksama, Handika Adskhan ini sepertinya masih muda. Wajahnya menarik dan terkesan kearab-araban. Tubuhnya tinggi kekar dan ia memiliki iris cokelat kemerahan yang sangat indah. Namun, semenawan apa pun laki-laki, kamu pasti akan terkejut dan menganggapnya tidak waras jika dia melamarmu secara tiba-tiba pada pertemuan pertama kalian.

“Gak usah dijawab sekarang,” kata Handika Adskhan seraya beranjak mengitari meja, mendekati Nilam yang waspada. “Saya akan tunggu sampai kamu siap.” Lalu, tanpa diduga ia menangkup wajah Nilam dan mengecup keningnya.

“Lancang banget lo!” sentak Nilam mendorong dadanya. Laki-laki itu tidak marah dan justru tersenyum lembut. Kemudian tanpa mengatakan apa-apa lagi, ia berbalik dan berlalu begitu saja.

Sepeninggal Handika Adskhan, mahasiswa di sana yang—juga ikut kaget tetapi tidak berani membuka suara—menyaksikan drama kecupan-manis itu langsung menjerit histeris. Beberapa dari mereka bertepuk tangan dan memukuli meja dengan brutal, bahkan ada yang bersiul-siul menggodanya.



***


Nilam memejamkan mata sembari menarik napas dan membuangnya pelan untuk mengontrol emosi, ketika Handika Adskhan dengan lancang menahan setang skuternya dengan sebelah tangan.

“Ini udah malam. Kamu gak lihat jalanan udah sepi?” Nilam bisa mendengar geraman dalam suara Dika yang kini menatapnya dengan sengit.

Ia jadi menyesali keputusannya menerima tawaran bernyanyi di kafe ini. Kalau saja dari awal ia tahu bahwa si pemilik kafe adalah Handika Adskhan, laki-laki yang sudah dua bulan ini mengejar-ngejar dirinya, sudah pasti ia akan langsung menolak tanpa pikir panjang. Jadi ia tidak perlu terlibat dalam drama menolak-tawaran-diantar-pulang-oleh-si-pemilik-kafe-yang-menyukainya seperti ini.

“Gue udah biasa pulang sendiri,” ujar Nilam dingin. Tidak ada tanda-tanda kalau ia tersentuh dengan kepedulian yang ditunjukkan Dika kepadanya.

Selintas Dika tampak menarik napas untuk menenangkan diri. “Sekali aja kamu dengarkan saya, bisa?”

“Gak,” tolak Nilam langsung. “Minggir! Gue mau pulang.”

Dan Dika hanya bisa mengalah. Ia memandangi kepergian Nilam sambil berdoa dalam hati semoga tidak ada hal buruk yang menimpa gadis keras kepala itu.



***


Sayangnya, doa baik itu tidak terkabul.

Dika menuruni tangga seperti dikejar-kejar setan sambil memegangi ponsel di telinganya. Ekspresi wajahnya terlihat cemas dan ketakutan dan ia terlihat kebingungan mencari sesuatu.

“Oke, kamu jangan kemana-mana. Saya segera ke sana.”

Setelah berkata begitu, ia mengantongi ponselnya tanpa memutus sambungan telepon. Ia masih mencari-cari kunci mobil yang lupa ia letakkan dimana dan tidak berhasil menemukannya. Akhirnya, tanpa pikir panjang, ia langsung menerobos pintu dan berlari seperti orang gila.

Saking kencangnya berlari, ia sampai tidak memerhatikan sekitar. Tubuhnya terlempar satu meter setelah ditabrak sepeda motor berkecepatan sedang yang baru keluar dari arah gang.

Dika mengerang kesakitan. Ia bisa mendengar suara si penabrak yang menanyakan kondisinya dengan khawatir, tetapi ia hanya mengangkat satu tangannya sebagai tanda bahwa dirinya baik-baik saja. Tidak masalah. Tabrakan itu tidak sampai membuatnya sekarat.

Setelah berhasil dibantu berdiri oleh si penabrak, Dika langsung berlari kencang menyusuri jalan sambil mencari-cari. Si penabrak hanya terbengong-bengong melihatnya.

Setelah cukup jauh menyusuri jalan, pandangan Dika menangkap sosok perempuan bertubuh kurus tengah duduk di pinggir jalan sambil memeluk lutut. Begitu mengenali perempuan itu sebagai Putri Nilam Cahyani, ia lekas mendekat dan berjongkok di hadapannya.

“Kamu gak pa-pa?”

Nilam mengangkat wajah dan menatap Dika yang balas menatapnya dengan cemas bercampur lega. Dua tangan besar kini mencengkeram lengannya dan ia dibuat terbelalak saat melihat kondisi salah satunya.

Ia belum sempat menjawab pertanyaan Dika ketika laki-laki itu tiba-tiba saja sudah mengomelinya dengan kesal, “Kan saya udah bilang jangan pulang sendiri. Kenapa kamu keras kepala sekali, sih? Lihat sekarang apa yang terjadi sama kamu. Untung aja kamu gak diapa-apain sama mereka. Coba kalau—”

“Dik udah dulu ngomelnya kamu berdarah.” Dan selaan cepat tanpa titik koma itu berhasil membungkam mulut Dika.

Laki-laki itu mengernyit bingung. Ia mengikuti arah pandang Nilam dan terkejut mendapati lengan kirinya yang bercucur darah.



***


Nilam menyadari ada desiran halus yang menyapa sukmanya saat memandangi kaki telanjang Dika di bawah sana. Pangkal alisnya berkerut seiring dengan ekspresi wajahnya yang berubah sendu. Sebegitu cemasnyakah Dika sampai ia lupa memakai alas kaki?

“Kenapa bisa berdarah?” tiba-tiba Nilam mendapati dirinya bertanya. Ia menarik sedikit kepalanya dari bahu Dika saat laki-laki itu menoleh ingin melihat wajahnya.

“Saya ketakutan setengah mati waktu kamu bilang kamu dibegal,” jawab Dika, lalu menaikkan tubuh Nilam yang mulai merosot dari punggungnya.

Nilam mengernyit. Ia tidak paham. “Terus?”

“Saya ditabrak motor.”

Sontak saja mata Nilam membesar dengan mulut terbuka. Ditatapnya wajah Dika dari samping dengan khawatir dan bertanya-tanya dalam hati apa laki-laki ini baik-baik saja?

“Mungkin itu yang membuat siku saya robek.”

Ringan sekali Dika mengatakannya. Ia tidak tahu saja kalau saat ini Nilam tengah didera oleh perasaan bersalah yang teramat besar. Setelah semua sikap ketus dan tak acuhnya, laki-laki ini masih mau repot-repot terluka untuknya?

“Dik, kamu masih kuat gendong aku sampe rumah?” tanya Nilam lama kemudian.

Dika menjawab, “Masih, sepertinya,” dengan nada sedikit ragu. Jujur saja ia sudah merasa lelah. Sakit di sekujur badannya juga mulai terasa.

“Semoga orang tuaku belum tidur pas kita nyampe,” gumam Nilam berharap.

“Kenapa?” tanya Dika sambil lalu.

“Aku mau kenalin kamu sama mereka.”

Jawaban itu membuat Dika mengernyit. “Buat apa?” tanyanya.

“Biar mereka tau kalo aku udah punya calon.”

Serentak langkah Dika terhenti. Dengan tetap membiarkan pandangannya lurus ke depan, ia berkata, “Lam, jangan menerima saya hanya karena kamu merasa bersalah.”

“Kata siapa?” sangkal Nilam langsung.

“Lalu?”

Nilam merespon dengan senyum penuh arti. Kemudian ia mendekatkan bibirnya ke telinga Dika dan berbisik, “Aku sayang kamu, Dik.”

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Romantis
Rekomendasi