Perasaan atau pikiran yang lebih dulu melangkah?
Seringkali kita tidak menyadarinya. Tiba-tiba saja, salah satu dari dua hal itu yang mendominasi hari kita.
Hari ini, aku merasa buruk karena baru saja membuat kesalahan dalam pemesanan tiket pesawat, dan bosku marah besar.
"Permisi," Aku menoleh dari balik mejaku, berdiri untuk menyambut siapa pun yang baru saja masuk ke kantor ini.
"Iya. Ada yang bisa saya bantu?" tanyaku seperti biasa.
Lelaki itu masih sebayaku, mengenakan setelan semi-formal rapi—lelaki berambut hitam pertama yang kutemui hari ini. Sebelumnya, aku harus menghadapi orang-orang berambut pirang, dengan baju santai yang akan lebih cocok jika dipakai untuk berjalan-jalan di pinggir pantai dari pada di tengah kota seperti ini. Siapa lagi kalau bukan turis-turis dari luar negeri yang sering menyusuri kota ini dengan berjalan kaki, memotret, dan membaca peta. Tugasku di sini adalah memberikan peta gratis untuk mereka. Tapi lelaki di depanku saat ini malah menyodoriku selebaran—yang aku yakin gratis juga.
"Mau bagi info aja, Kak," lanjutnya sembari tersenyum manis. Entah memang kewajibannya memberikan senyum paling manis, atau karena dia memang manis.
Melihat brosur di tanganku, aku sudah tahu, siapa dia dan apa yang akan disampaikannya. Sales!
Lalu beberapa menit kemudian, aku terpaksa mendengarkan presentasi darinya mengenai sebuah buku anak-anak. Percuma saja bilang kau tidak punya anak, dia akan mengingatkanmu pada adik atau saudara, dan membuatmu merasa bersalah karena tidak pernah memberi mereka hadiah.
Seorang turis yang baru masuk membuatnya terlihat jauh lebih pendek. Turis laki-laki itu setinggi pintu kantor ini. Tanpa memedulikan tamu lain, dia segera memintaku menunjukkan jalan menuju Balaikota. Aku mengambilkannya peta, lalu mulai menjelaskan setelah sebelumnya meminta maaf pada sales itu. Turis itu cepat mengerti, dan bergegas pergi setelah mengucap terima kasih.
Lelaki di depanku masih memerhatikan ke mana turis itu pergi, sebelum benar-benar kembali melihatku.
"Ini." Dia mengajukan form lain jika aku ingin memesan buku itu. Meski pada akhirnya aku tidak memesan, dia tidak terlihat kecewa. Dia menitipkan brosur itu padaku, bilang jika sewaktu-waktu berubah pikiran, atau ada orang lain yang membutuhkan informasi itu dia siap dihubungi. Dan aku benar-benar menyimpan brosur itu, entah untuk apa. Tapi aku memang bukan tipe orang yang diberi brosur seperti itu lalu melemparnya lagi setelah pemberinya pergi.
Dua hari kemudian, suara itu terdengar lagi saat aku asyik menonton MV Boyband Korea di sela-sela pekerjaanku yang beberapa jam lagi akan usai—sudah malam. Tapi kali ini kata-katanya adalah, "Mbak. Boleh minta brosurnya?"
Aku tersentak. Saking sedikitnya orang lokal yang berkunjung ke pusat informasi wisata ini, membuatku masih mengingat wajah lelaki itu. Ronald, begitu nama yang ada di brosurnya kemarin.
"Oh. Silakan," jawabku, sementara dia mengambil salah satu dari brosur yang dua hari sekali kubersihkan di sudut ruangan itu—seharusnya setiap hari, tapi waktuku untuk benar-benar mengelapnya adalah dua hari sekali.
Dia membaca sekilas brosur itu, lalu duduk di kursi tamu yang tinggi.
"Sebenernya, saya mau pesenin travel buat saudara. Di sini bisa, kan?" tanyanya saat kembali melihatku.
"Bisa." Aku memulai pekerjaanku, bertanya tujuan dan waktunya, memberikan informasi nama armada, harga, dan lain sebagainya. Dan Ronald benar-benar memesan travel ke Semarang untuk satu nama.
Sambil menungguku, dia mengamati ruangan kecil ini. Pusat informasi dan reservasi ini memang hanya memiliki satu ruang depan dan satu ruang lain untuk pemiliknya di belakang. Untuk kamar mandi, setiap hari aku harus pergi ke gedung percetakan di belakangnya. Di hari minggu, saat gedung itu tutup, aku bahkan harus menumpang shalat di warnet terdekat—karena begitu kesepakatannya. "Di sini sendirian aja, Mbak?" tanya Ronald.
"Oh nggak, Mas. Ada bosnya." Jawabanku membuat dia tertawa.
"Ya tau Mbak ada bosnya. Tapi Mbaknya tiap hari kan jaga sendiri di sini?"
Tunggu! Tahu dari mana? Aku kembali melihatnya.
"Emm ...." Ronald mulai salah tingkah. "Kebetulan, minggu ini saya kerja di area sini. Jadi sering lewat sini. Dan kelihatannya emang nggak ada yang jaga selain Mbak?"
"Iya. Memang sendirian, Mas. Karena pekerjaannya juga sedikit."
Ronald manggut-manggut.
Aku melemparkan pandangan ke mobil hitam di seberang jalan.
"Hati-hati," kata-kata petugas percetakan yang sering mampir untuk ngobrol atau sebatas merokok di kantor ini terlintas di benakku. Ruangan depan yang terbuka lebar karena menggunakan rolling door, dan letaknya yang strategis entah karena meghadap jalan, atau dekat dengan tukang jual somay, membuat orang-orang yang tidak berkepentingan sering nongkrong di sini. Magnet lainnya adalah sopir travel ini, Pak Budi.
"Biasanya bosnya sering ngawasi dari jauh."
"Dari mana, Pak?" tanyaku yang saat itu masih seminggu bekerja.
"Biasanya dari seberang jalan sana," Petugas itu menunjuk ke seberang jalan yang saat itu kosong, lalu kembali melihatku. "Kamu tahu kan mobilnya yang mana?"
"Kenapa diawasin segala?" tanyaku lebih pada diriku sendiri.
"Ya namanya aja Bos," jawabnya santai.
Dan mobil hitam yang kini diam di seberang jalan itu milik bosku. Saat luang, aku sudah menyisir area di dalam kantor ini dengan tampang pura-pura tidak memikirkan apa-apa, mencari di semua sudut. Memang tidak ada CCTV. Lagipula, apa yang bisa dicuri di sini? Brosur? Tapi melihat cara bosku bersembunyi di dalam mobilnya di sana seperti mata-mata, membuatku berpikir tentang kamera tersembunyi juga. Bodo amat, pikirku. Toh aku tidak melakukan sesuatu yang melanggar.
Belum selesai dengan Ronald, ada sekelompok turis yang datang. Dua laki-laki, dua perempuan. Semuanya terlihat ceria saat menyapaku. "Halo!" katanya. Kali ini aku meminta mereka duduk menunggu, sementara aku menyelesaikan urusanku dengan Ronald. Sedikit panik atau terganggu, membuatku tidak sempat berpikir panjang untuk hal lain selain, segera menyelesaikan urusanku dengan tamu-tamu baru itu. Mereka sebenarnya santai saja, dan aku lebih suka berhadapan dengan turis asing daripada turis lokal yang kurang antusias saat bicara. Tapi, tetap saja aku seorang introver yang mudah kacau saat dikelilingi sekelompok orang baru.
"Mbak. Boleh minta nomornya juga?"
"Nomor siapa?" tanyaku pada Ronald.
"Nomornya Mbak. Siapa tau, nanti saya butuh travel lagi, bisa langsung SMS Mbaknya," jawabnya.
Aku pun memberikan nomorku pada Ronald. Tapi, alih-alih pergi setelah urusannya selesai, dia masih duduk sambil bermain ponsel di motornya yang ada di depan kantor.
"Bromo sedang erupsi sekarang, jadi masih tidak bisa kalau mau ke sana," jawabku dalam bahasa Inggris. Keempat orang itu tampak kecewa. Tapi saat itu juga, bosku, bapak-bapak berkulit cokelat dengan potongan rambut khas 70-an datang.
"Mau ke Bromo ya?" sapanya riang.
"Ah. Ya. Tapi katanya tidak bisa sekarang," jawab turis perempuan yang mengenakan anting bulat besar.
"Oh bisa, bisa." Pak Ferdi menggeser posisiku dari balik meja, membuat keempat turis itu segera melihatku, memberikan tatapan seolah aku baru saja membohongi mereka.
"Dia masih baru," kata Pak Ferdi menenangkan turis-turis itu.
Baru lima bulan?
"Contract Rate-nya mana, Mbak?" tanyanya padaku. Aku segera memberikan lembaran itu, lalu Pak Ferdi mulai berjualan paket wisata.
Aku makin cemas lagi. Bromo sedang Siaga Satu sekarang dan Pak Ferdi mengirim orang-orang ini ke sana demi beberapa lembar uang? Aku tidak bisa membayangkannya. Bukan. Justru aku sudah membayangkan terlalu jauh sehingga begini cemas. Aku sudah mengutarakan apa yang membuatku merasa seperti itu, tapi Pak Ferdi hanya menjawab, "Nggak apa-apa. Justru eksotis buat mereka." Lalu kembali menawarkan fasilitas tambahan untuk tamu-tamunya.
Aku melihat ke jalanan di depan. Pada mata Ronald yang juga melihatku. Tidak seperti orang lain, apalagi yang baru kenal, yang mengalihkan pandangannya setelah ketahuan seperti itu, Ronald malah tersenyum sambil menggelengkan kepala sambil mengalihkan pandangan.
Apa maksudnya? Aku agak kesal karena berpikir Ronald merendahkan kemampuanku menangani turis-turis itu. Atau dia tersenyum karena hal lain? Memangnya ada yang lucu di sini? Ini gawat!
Jawabannya kudapatkan setelah mengunci kantor malam ini. Saat bersiap pulang, ada SMS dari nomor tidak dikenal yang isinya,
"Bosnya lucu juga Mbak. Hari gini ke Bromo mau lihat apa? — Ronald, yang tadi beli tiket di travel."
Aku menghela napas lega—ternyata itu maksudnya, lalu segera membalas. "Iya tuh, Mas. Udah dibilangin juga masih aja ditawarin."
Saat pesan itu terkirim, aku baru menyadari seharusnya menggunakan bahasa yang lebih formal. Sebagai balasan, aku mendapat pesan yang berisi tawa, disertai doa semoga semuanya berjalan lancar.
Dan hari di mana keempat turis itu pulang dari perjalanannya pun tiba. Sebenarnya, aku sudah terperanjat saat melihat mobil berselimut abu yang berhenti di depan kantor. Saat melihat siapa yang keluar, aku segera menyimpulkan itu bukan abu biasa melainkan abu vulkanik Gunung Bromo. Tidak seperti saat pertama kali datang ke tempat ini, yang tergambar jelas di wajah para wisatawan itu saat ini hanyalah kemarahan. Di wajah mereka yang putih, hal itu terlihat lebih jelas lagi. Seperti ada api yang menyala dari balik sana.
"Mana Bos kamu?" sergahnya tanpa basa-basi.
Pak Budi keluar dari mobil, menjelaskan apa yang terjadi padaku. Sementara aku segera menelepon bos. Iya. Di saat seperti ini bosku hanya bisa ditelepon dan tidak mau memberikan ganti rugi. Alhasil, aku dan Pak Budi yang kena damprat turis-turis itu.
Ronald tertawa mendengar episode selanjutnya tragedi Bromo itu. Saat ini, kami sedang duduk di salah satu toko es krim paling tua di kota ini, tentunya, sambil makan es krim. Ronald yang mentraktir. Pasalnya, sejak tahu nomor ponselku, dia rajin mengirimkan pesan. Entahlah. Ada saja yang dibicarakan. Mungkin karena dia memang pintar bicara. Tidak heran dia menjadi Sales! Dan orang sepertiku, yang faktanya sudah lama kehilangan teman SMS-an karena teman-teman sekolahku sudah sibuk dengan pekerjaannya masing-masing, bisa menjadi target mudah baginya.
Anehnya, aku tidak kesal saat dia tertawa. Sekarang, aku pun ikut tertawa ringan, memandang kejadian itu sebagai sesuatu yang lucu. Hey, seperti inilah hidup! Sesuatu yang tampak seperti bencana hari ini. Di hari lain bisa menjadi hal lucu untuk dibicarakan.