Disukai
13
Dilihat
933
Abaikan Dengan Buku
Slice of Life

ANGIN musim semi yang berembus semilir menerbangkan rambut panjang sebahu Mika Aihara yang tengah duduk di bawah pohon sakura di halaman luas sekolahnya. Sebuah buku tebal terjemahan berada di pangkuannya. Sementara sepasang matanya bergerak lurus horizontal membaca serentet huruf kanji yang tertulis di sana.

Tak jauh dari tempat duduknya, Nakamoto Yuta mengusak-usak rambutnya dengan kasar. Frustrasi karena tak berhasil mendekati gadis dingin itu. Laki-laki itu berkacak pinggang, berpikir keras. Tak lama kemudian mengangkat wajahnya dan berjalan cepat ke arah Mika.

Gadis itu langsung menghela napas saat melihat Yuta melempar senyum lebar yang terlihat aneh kepadanya. Mika melengos dan kembali membaca buku terjemahannya. Ia tidak berniat menghiraukan kehadiran Yuta di sampingnya. Sedikit pun ia tidak tertarik—tidak pernah tertarik—pada orang-orang seperti Nakamoto Yuta ini. Mereka hanya pengganggu yang menyebalkan. Ia tidak mau menghabiskan barang satu menitnya bersama orang seperti itu.

“Selagi aku meminta baik-baik, pergilah! Jangan menggangguku,” tegas Mika tanpa mengalihkan perhatian dari bukunya.

“Lanjutkan saja, aku tidak akan mengganggu, Mika-chan,” balas Yuta sambil menyilangkan kedua tangannya di belakang kepala. Memejamkan matanya menikmati embusan angin.

“Apa kita seakrab itu?” tanya Mika ketus, menunjukkan ketidaksukaannya terhadap sufiks yang terdengar sok akrab itu.

Serentak Yuta membuka mata dan menoleh cepat ke arah Mika sambil tersenyum lebar. “Itu yang kumaksud,” responsnya antusias. “Kenapa kita tidak mencoba menjadi teman baik? Sepertinya kau orang yang cukup menyenangkan.”

“Dan kau orang aneh menyebalkan,” timpal Mika melengos, “Aku tidak tertarik pada orang sepertimu. Pergilah!”

Yuta menaikkan sebelah alisnya. Tersenyum kecut. “Angkuh sekali.”

Mika tak menyahut. Tidak merasa tersinggung atau pun terusik. Ini bukan kali pertama ia mendengar sebutan itu. Angkuh, dingin, kasar, dan yang paling parah ... psycho. Bahkan ada yang terang-terangan mengatainya autis dan gila. Berbagai macam sebutan itu hanya ditanggapi Mika dengan senyum miring. Membuat orang yang melihatnya ingin segera memukul hidungnya sampai berdarah.

Begitulah Mika Aihara. Ia sudah terbiasa dan mengajarkan dirinya untuk tidak memedulikan sekitar. Benar, ia hanya perlu bertahan dengan karakter itu sampai lulus SMA.

“Mika Aihara,” panggil Yuta setelah terdiam cukup lama. Ia menoleh karena tak kunjung mendapat sahutan dan tampaknya Mika memang tidak ada niat menjawabnya.

“Tak apa kalau kau tidak mau melihatku, dengarkan saja.” Ia menyandarkan punggungnya dan mendongak memandangi kepulan awan seputih kapas di langit biru.

“Asal kau tahu saja, aku juga tidak tertarik pada gadis sepertimu.” Yuta menggeleng dengan bibir mencebik. “Tidak, sedikit pun aku tidak peduli dan tidak mau tahu tentangmu.” Lalu ia mengeluh dramatis. “Huh, lagi pula siapa, sih, yang mau peduli pada orang angkuh, dingin, dan kasar seperti kau ini? Kurasa hanya orang kurang kerjaan saja yang akan melakukannya.”

Selintas bola mata Yuta bergerak ke kanan melirik gadis di sampingnya, lalu tersenyum kecut, mengejek diri sendiri. “Tapi setelah hari itu—saat aku tidak sengaja melihatmu menangis di sudut perpustakaan ....” Ia menerawang, mengingat kembali kejadian beberapa hari lalu dengan getir. Diam-diam Mika meliriknya lewat ekor mata.

“Aku merasa kalau kau tidak seperti yang mereka katakan.” Yuta melirik lagi. “Apa kau tahu, akhir-akhir ini aku selalu memerhatikanmu?” Ia tersenyum miris, lalu mencemooh dirinya pelan, “Pertanyaan bodoh. Mana mungkin kau peduli.”

Sontak Mika menutup bukunya dengan kencang, lalu menoleh dan menatap Yuta dengan tatapan tak bersahabat. “Apa maksudmu mengatakan semua itu?”

“Aku hanya ingin tahu kenapa kau menangis hari itu. Aku ingin tahu apa yang membuat gadis—yang katanya psycho—sepertimu ini bisa menangis,” ucap Yuta balas menatap Mika.

Gadis itu merasa matanya mendadak perih. “A-aku ....”

Tiba-tiba lonceng tanda berakhirnya waktu istirahat berdentang. Mika melihat ke arah gedung sekolah, lalu buru-buru berdiri. “Waktu istirahat sudah habis.” Kemudian bergegas meninggalkan Yuta yang memandanginya dengan sorot empati.

“Huh, nyaris saja.”



***



Mika menghela napas, menutup buku, lalu melepas earphone dari telinganya. “Apa lagi sekarang?” tanyanya sambil melirik enggan Nakamoto Yuta yang baru tiba dan langsung duduk di sampingnya.

“Aku penasaran sekali,” ujar Yuta sambil menatap Mika lurus-lurus.

“Soal apa?” tanya Mika malas.

“Setiap hari orang-orang itu membicarakanmu. Bagaimana caramu menghadapinya?”

Mika menunduk dan tanpa sadar tersenyum. Senyuman yang sukses membuat Yuta tertegun untuk beberapa saat. Pasalnya ini pertama kalinya Mika tersenyum selayaknya manusia. Bukan senyum sarkas. Bukan senyum miring atau senyum kecut seperti yang sering diperlihatkannya pada orang-orang bermulut bocor itu. Tetapi senyum tulus yang membuatnya terlihat lebih manis.

“Hon de mushi suru¹.” Mika mengangkat buku tebalnya dengan bangga.

Yuta mengernyit. Melirik buku itu tanpa minat. “Maksudmu?”

“Masa begitu saja tidak mengerti,” cibir Mika sambil meletakkan bukunya kembali ke pangkuan.

“Ck!” Yuta melengos, “Aku memang tidak mengerti soal begituan. Makanya langsung saja jelaskan padaku apa maksudnya ‘abaikan dengan buku’?”

“Awalnya aku memang terganggu setiap kali mereka membicarakanku—menghujat, sih, lebih tepatnya. Rasanya aku ingin lari dan sembunyi saja. Tapi setelah dipikir-pikir ... kenapa aku harus? Toh, ini hidupku, bukan hidup mereka. Dengan lari dan sembunyi hanya akan membuat mereka merasa puas dan semakin menindasku.”

“Lalu, apa hubungannya dengan buku?” Yuta masih belum mengerti. Ucapan orang yang suka membaca sangat sulit dicerna otaknya yang sederhana itu.

“Saat membaca, pikiran hanya akan terfokus pada tulisan yang dibaca. Kurang lebih seperti itu. Saat aku membaca, fokusku hanya tertuju pada apa yang kubaca. Karena terlalu fokus itulah aku jadi tidak sempat mendengar atau memerhatikan sekelilingku.” Mika mengangkat wajahnya menatap Yuta. “Seperti itu caraku menghadapinya.”

“Mengabaikan cibiran mereka dengan buku tebalmu itu,” timpal Yuta mulai paham. Mika mengangguk.

“Wah! Yuta tersenyum lebar. “Aku tidak menyangka kau punya pemikiran sehebat itu. Sepertinya membaca membuatmu jadi lebih pintar, ya.”

“Itu hanya pemikiran sederhana. Kau saja yang tidak memiliki secuil kecerdasan.”



***



Mika sampai di kelasnya tak lama setelah lonceng masuk berhenti berdentang. Matanya nyalang menatap permukaan meja yang penuh dengan tulisan-tulisan berbunyi kasar yang ditulis menggunakan saus tomat. Mata gadis itu terasa panas, kedua tangannya mengepal erat saat ekor matanya menangkap sosok Takano Saki yang memandanginya dengan tawa puas dari tempat duduknya. Ia tahu siapa pelakunya.

Mika pun meninggalkan tempat duduknya dan keluar dari kelas. Tak lama kembali dengan membawa sebotol mayonaise di masing-masing tangannya. Tawa Takano Saki langsung lenyap saat ia menyemprotkan mayonaise ke seragam serta mejanya. Seketika suasana kelas langsung hening. Kini semua mata tertuju pada Mika Aihara dan Takano Saki yang beradu pandang dengan sinis.

“Apa yang kau lakukan?!” sentak Saki berang dengan wajah merah padam.

“Aku hanya melakukan apa yang sudah kau lakukan pada tempat dudukku,” jawab Mika balas menatapnya. “Tidakkah kau pikir tindakanmu itu terlalu kekanakan?”

“Kau—”

“Apa? Kau ingin melaporkanku pada Ayahmu? Laporkan saja ... kalau kau memang tidak punya malu.” Setelah berkata begitu, Mika melempar botol mayonaise ke meja Saki. Botol itu menggelinding jatuh ke lantai dan berguling ke sisi kanan hingga membentur kaki salah satu meja di dekatnya.

Tanpa memedulikan kemarahan di wajah Saki dan tatapan sinis dari teman sekelasnya, ia kembali ke tempat duduknya dengan tenang. Ia mengeluarkan tisu dari ransel. Mulai membersihkan tulisan-tulisan di sana.

Sementara di tempat duduknya, Yuta melihat kejadian itu dengan senyum miring. Laki-laki itu baru akan menutup matanya dan kembali tidur ketika hidungnya tiba-tiba mencium bau yang dibencinya. Lekas ia mengangkat kepalanya dan menoleh ke arah Saki yang mengumpat kesal sambil membersihkan mayonaise di seragamnya.

Yuta berdecak kesal. “Hey, Takano Saki! Pergilah keluar, baunya sangat mengganggu.”



***



“Hei, Mika-chan!” panggil Yuta dari atas motornya ketika ia melihat Mika berjalan menuju gerbang sekolah. Ia membuka kaca helmnya setelah berhasil menghentikan langkah gadis itu.

“Aku mau minta bantuanmu,” katanya langsung.

Mika hanya menaikkan sebelah alisnya sebagai respons.

“Temani aku ke toko buku, ya?” Yuta menggaruk tengkuknya salah tingkah, ketika Mika menatapnya dengan alis terangkat. Jelas gadis itu terlihat kaget dan tidak menyangka.

“Eh, aku perlu beberapa buku. Dan berhubung kau suka membaca, kupikir kau bisa merekomendasikan buku yang bagus untukku.”

“Aku tidak punya waktu hari ini. Kau cari saja sendiri,” tolak Mika dan bersiap melanjutkan langkah, tetapi Yuta keburu menahan lengannya.

“Tidak akan lama kok. Paling hanya setengah jam. Setelah itu aku janji akan langsung mengantarmu pulang.” Yuta menunggu. Dalam hati berdoa agar Mika bersedia menemaninya.

Gadis itu tampak berpikir-pikir. Kemudian, “Baiklah, hanya setengah jam,” putusnya mendapat teriakan puas dari Yuta.



***



Mika langsung melesat masuk begitu sampai di Books Bunny, toko buku yang terletak di sebuah gang sempit di Harajuku. Selain koleksi buku dan majalah yang menarik, di sini juga terdapat kafe dan bar. Pengunjung bisa menikmati kopi hangat sambil makan siang di Bunny Cafe, atau hang out di Bunny Bar pada malam hari.

“Aku tidak tahu apa kau akan suka, tapi sepertinya buku ini bagus,” komentar Mika saat menghampiri Yuta di stan manga³ sambil membawa buku dengan judul bahasa Inggris. Yuta malas membacanya.

Laki-laki itu menerima buku yang disodorkan Mika kepadanya. Sesaat ia tercengang melihat ketebalan buku itu. Ia tebak sekitar 400 sampai 500 halaman. Belum dibaca saja ia sudah keburu sakit kepala.

“Wow, berapa lama aku bisa menyelesaikannya?” tanyanya sok tertarik sambil membolak-balikkan buku yang masih terbungkus plastik itu.

“Tergantung seberapa rajin kau membacanya,” balas Mika pendek. Ia bersedekap dan berjalan mendahului Yuta menuju kasir.



***



“Terima kasih, Mika-chan,” ucap Yuta sesaat setelah Mika turun dari jok motornya.

Mika mengangguk. Lalu tiba-tiba saja Yuta menyerahkan tas karton berisi tiga buku dan dua manga yang sempat dibelinya. Membuat gadis itu termangu sesaat.

“Buku itu memang untukmu,” jelas Yuta langsung. “Aku tidak tahu jenis buku apa yang kau suka. Itu kenapa aku memintamu menemaniku.” Jeda sejenak. Lalu, “Kau benar, sepertinya buku cukup efektif untuk mengabaikan orang-orang itu. Aku tidak janji, tapi aku akan lebih sering membelikan buku baru untuk stok bacaanmu.” Yuta tersenyum lebar, mengaitkan tali tas karton itu di jemari Mika yang masih bungkam.

“Seishin³, Mika-Chan!” Ia mengepalkan sebelah tangannya sambil tersenyum lebar. Memberi kekuatan.



***



Yuta menutup bukunya dan berdiri tegak ketika pintu ruang Komite Kedisiplinan Siswa terbuka. Takano Saki keluar dengan wajah sumringah sambil memeluk lengan ayahnya yang masih berseragam lengkap kepolisian. Ia melongokkan kepalanya mencari sosok Mika Aihara yang tak kunjung terlihat.

Kau pasti masih ingat dengan insiden saus tomat dan mayonaise kemarin, kan? Ya, tebakanmu benar. Takano Saki mengadukan perbuatan Mika kepada ayahnya. Alhasil, Mika diproses pagi ini.

“Bagaimana?” todong Yuta begitu melihat Mika keluar dari ruangan.

Mika melipat tangannya di bawah dada dan mulai berjalan menyusuri koridor yang sunyi. “Takano Saki itu ... dia benar-benar tidak punya malu, ya. Sudah delapan belas tahun tapi masih saja suka mengadu.”

“Lalu bagaimana hasilnya?” desak Yuta tak sabar. Ia tidak tertarik dengan nasip anak manja itu.

“Mereka men-skors-ku tiga hari,” ucap Mika ringan. Seolah itu bukan berita buruk.

“Lalu, apa yang akan kau lakukan?”

“Apa lagi?” Mika mengernyit tanpa beban. “Tentu saja berlibur di rumah.”

“Kau tidak akan menyerang balik?” tanya Yuta terdengar serius.

Mika terdiam cukup lama, lalu mendesah berat. “Aku sudah muak, Yuta-san. Aku muak menghadapi semuanya sendirian. Aku juga sudah lelah dibenci oleh semua orang.” Suarnya terdengar amat lirih. Yuta melihat gadis itu menghentikan langkah dan berbalik menghadapnya.

“Menurutmu ... apa sebaiknya aku menyerah saja? Apa sebaiknya aku mengaku kalah saja dan meminta maaf?”

Mata Yuta melebar kaget. “Bicara apa kau ini? Apa jadinya kalau Mika yang angkuh ini tiba-tiba meminta maaf? Kalau kau melakukannya, mereka hanya akan menertawakanmu.”

“Lalu aku harus bagaimana?” tanya Mika frustrasi. Ia menunduk menatap ujung sepatunya.

Saat itulah Yuta mencengkeram bahu Mika. “Bertahanlah,” gumamnya sambil menatap matanya lurus-lurus. “Aku akan membantumu bagaimana pun caranya. Kau hanya perlu memakai karaktermu itu sampai akhir. Dan ...,” ia menggamit sebelah tangan Mika lalu meletakkan buku yang dibawanya, “hon de mushi suru.”

Sesaat Mika menatap buku di tangannya, lalu ke arah Yuta yang tersenyum lembut, lalu ikut tersenyum dan mengangguk. “Mm, hon de mushi suru.”


Glosarium

¹Abaikan dengan buku

²Komik

³Semangat

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Slice of Life
Rekomendasi