Disukai
2
Dilihat
1182
Game Over_
Thriller

"Halo ...."

"Kau mendengarku?"

"Dengar ... aku tidak tau apa kau bisa mendengarku atau tidak atau apakah kau bisa menerima panggilanku atau tidak tapi ... jika kau memang mendengar panggilanku tolong ... tolong datang dan selamatkan aku."

"Tapi jika tidak ... aku hanya mau mengatakan bahwa aku mencintaimu, selalu ... selamat tinggal ...."

"Beeeppp ... beeeppp ... beeeppp ...."

***

"Welcome."

Sebuah papan nama elektrik bertuliskan kata selamat datang dalam bahasa asing dengan warna biru neonnya yang berkedip-kedip seakan memanggilku untuk segera masuk ke dalam arena hiburan yang penuh sesak oleh para remaja laki-laki yang sangat berisik dan bersemangat memainkan segala permainan arkade di dalamnya.

Aku yang sedang menikmati permen rasa mangga dalam mulutku hanya berdiri mematung menatap tulisan yang berkedip-kedip itu saat gerombolan remaja laki-laki lainnya berlari dengan terburu-buru dan menabrakku yang masih mematung mengamati tingkah mereka yang tidak sabar untuk segera memainkan permainan-permainan itu dan berdesak-desakan di dalamnya dengan remaja lainnya.

Aku yang penasaran dan termakan oleh godaan lampu biru yang berkedip-kedip itu akhirnya melangkahkan kaki-kakiku untuk masuk ke dalam dunia fantasi tersebut.

Ramai, berisik dan gadu sekali di dalam sini.

Aku yang seperti seekor serigala tanpa kawanan hanya bisa terombang-ambing dalam lautan remaja kekanak-kanakan ini hingga akhirnya aku terdampar dalam sebuah ruangan yang sangat kontras sekali dengan ruangan atau tempat sebelumnya.

Bagaikan sebuah pulau kecil di tengah samudera ruangan ini terlihat begitu kosong dan sunyi tanpa ada satupun tanda kehidupan yang berhasil terdeteksi oleh inderaku.

Sebuah lorong yang gelap dan sempit menyambutku dengan segala keheningannya.

Aku yang merasa tidak enak dengan suasana yang disajikan oleh ruangan yang menyesakan ini dengan segera memutuskan untuk pergi keluar kembali ke dalam peradaban.

Tapi sial, pintu ganda berwarna biru ini terkunci dari luar.

Aku berteriak-teriak memanggil dan meminta pertolongan para pecandu game itu dengan keras dari dalam kegelapan ini tapi tidak ada satupun yang mendengarkan. Mereka semua terlalu sibuk untuk berlari dan mendaki puncak kemenangan mereka dan mendapatkan skor tertinggi yang pernah ada dan meninggalkan serta melupakan diriku yang tertinggal dan terkunci sendirian dalam kegelapan yang menakutkan.

Aku yang semakin panik, cemas dan ketakutan dalam gelap berusaha dengan sekuat tenaga untuk membuka paksa dan mendobrak pintu biru sialan ini berulang kali dan selalu menemui kegagalan dan kegagalan yang sama lagi dan lagi.

Nafas semakin tersengal-sengal dan kecemasan semakin menghantuiku yang ketakutan. Dengan tubuh yang gemetar aku membalikan pandanganku ke depan, berusaha untuk memberanikan diriku sendiri untuk menatap kegelapan yang seakan menertawakanku.

"Bruk."

Aku jatuh terduduk dengan perasaan putus asa dan penuh ketakutan akan apa yang akan menunggu dan menantiku di depan sana.

Dengan rasa manis permen mangga dalam mulutku yang digantikan oleh rasa pahit yang tiba-tiba muncul begitu saja mau tidak mau aku harus mencari jalan dan pintu keluarku sendiri dalam kegelapan ini.

Aku berjalan dan terus berjalan menuju kedalaman kegelapan lorong yang terasa semakin menyempit ini.

Hingga akhirnya hanya sebuah jalan buntu yang menyambutku di depan. Tidak ada pintu keluar, cahaya, ataupun jalan lainnya yang bisa membawaku keluar dalam kehampaan ini.

Kali ini aku benar-benar menangis sejadi-jadinya tanpa tau harus berbuat apa lagi dalam kesendirian ini.

Saat air mata-air mata tak berarti itu akhirnya lenyap ditelan kegelapan yang mengurungku tiba-tiba lantai yang dingin dan basah di bawahku mulai retak dan remuk seperti lapisan kaca yang rapuh menjatuhkanku dan menelanku hidup-hidup dalam lubang yang bahkan lebih gelap dan dalam dari sebelumnya.

Seakan tak memiliki dasar aku terus jatuh dan tenggelam dengan kecepatan cahaya bagaikan sebuah bintang yang tersedot dalam sebuah lubang hitam raksasa.

Hingga akhirnya, aku dapat melihat secercah cahaya yang menyilaukan jauh di bawah sana.

"Byur."

Aku terjatuh, terjebak dan terperangkap dalam sebuah ruangan serba putih yang cukup luas dan dipenuhi oleh banyak sekali cokelat-cokelat batangan yang menenggelamkan dan menguburku hidup-hidup dalam rasa manisnya yang memualkan.

"Ha!"

Dengan tersengal-sengal aku berusaha mengais-ngais oksigen yang jernih dan tawar di sekitarku.

"Tempat apa ini?" tanyaku sendiri sambil mengambil, menyobek dan memakan sebungkus cokelat batangan itu.

Setelah aku selesai memakan habis cokelat lezat dan manis itu lalu membuang bungkusnya sembarangan dan menenangkan diriku sejenak dari rasa panik dan cemas setelah selesai diombang-ambingkan oleh sebuah permainan dan pertunjukan horor serta sebuah roller coaster sebelumnya, aku memutuskan untuk berenang mengarungi lautan cokelat ini menuju ke sebuah pintu berwarna merah di ujung ruangan serba putih ini.

Namun, belum sempat aku bergerak cukup jauh dari tempatku semula tiba-tiba ada sesuatu yang menarik kakiku dengan sangat kuat dan keras dari kedalaman lautan cokelat ini.

Sesuatu itu terus menarikku jauh ke dalam rasa pahit cokelat yang tersembunyi jauh dalam warna hitam pekat di dasarnya.

Bagaikan lumpur hisap rasa pahit itu kembali menelanku dalam kegelapan lainnya.

Kali ini tidak terlalu gelap. Samar-samar aku masih bisa melihat ruangan di sekelilingku yang terlihat buram seperti sebuah lukisan abstrak yang tercebur dalam sebuah kubangan lumpur yang bau dan menjijikan.

Rasanya seperti hanya hidungku saja yang diizinkan untuk berfungsi dengan sempurna di tempat busuk ini. Baunya begitu busuk hingga membuatku benar-benar memuntahkan sebatang cokelat yang belum selesai tercerna itu.

"Sial, menjijikan."

Setelah itu aku baru menyadari bahwa aku sedang berdiri dan menginjak serta berjalan di atas sesuatu yang terasa lembek, basah dan sedikit berair.

"Sialan! Apa ini!?" teriakku panik dan jijik.

Kemudian segerombolan, atau lebih, lalat-lalat dengan ukuran yang cukup besar tiba-tiba menyerbu dan mengerubungiku dengan penuh nafsu seakan aku adalah seonggok kotoran segar yang siap untuk disantap.

Aku semakin panik tak karuan setelah mendapat serangan dadakan itu. Aku berputar-putar tak karuan, berguling-guling di atas sesuatu yang lembek, basah, dan berbau busuk ini, lalu meluncur keluar ruangan yang busuk itu menuju ke dalam sebuah ... surga?

Di hadapanku yang sudah berbau busuk dan berlumuran tinja ini terpampang sebuah oasis di tengah padang pasir yang panas dan tandus.

Aku berjalan sempoyongan menuju ke dalam "surga" tersebut, menenggelamkan diriku ke dalam kolam yang menyegarkan itu dan membersihkan kotoran-kotoran berbau busuk yang menempel dengan sangat erat pada tubuhku serta mencemari satu-satunya sumber kehidupan tersebut.

Aku merangkak keluar dari surga yang sudah tercemar itu dengan tubuh yang sudah dibersihkan sepenuhnya dari segala kebusukan yang menempel seperti parasit.

Aku berdiri bangkit bertumpuh pada kedua kakiku sendiri yang masih bergetar dengan hebat itu, melangkah selangkah demi selangkah, terjatuh, bangkit dan terjatuh lagi menuju ke sebuah singgasana yang sudah menanti beberapa langkah dari tempatku berlutut menghadap tanah karena kelelahan.

Sedikit lagi ... selangkah lagi ... dan aku akan memenangkan permainan terkutuk sialan ini.

Sejengkal lagi, hanya butuh seujung jari lagi maka aku akan menang dan pulang ....

Aku sudah tidak sabar lagi melihat dan menatap kemenangan di depan mata itu, tapi ....

Sebuah rantai besi tiba-tiba mengikat leherku yang kering kerontang itu dan menarikku kembali menjauh dari kemenanganku, rumahku, singgasanaku ... tidak, tidak lagi, kumohon, jangan lagi ... tolong.

"Skakmat."

"Kau kalah lagi Pangeran. Ini sudah berakhir. Game over," ucap iblis botak sialan itu.

"Kau ingin bermain lagi?" tawarnya menyeringai.

Dan permainan dimulai kembali.

***

Aku berjalan sendirian dan putus asa di tengah-tengah sebuah jalan kecil, rusak, dan sepi di tengah-tengah sebuah kota mati jauh di pedalaman gurun yang kering dan ditinggalkan ini.

Sendirian dan kelelahan aku berjalan menyeret kaki-kaki keringku menuju sebuah telepon umum di tepi jalan yang rusak dan penuh lubang ini.

Dengan sisa-sisa tenagaku aku mengangkat gagang itu, menekan beberapa tombol di sana dan lampu pun kembali padam.

Lampu sorot yang menyengat dan membakar seperti lebah itu akhirnya berhenti memberikan siksaannya dan digantikan oleh sebuah kesunyian malam yang mencekam, menyelimutiku dengan kecemasan, ketakutan dan kepanikan akan teror-teror tak kasat mata dalam kepalaku yang berantakan.

Aku hanya bisa duduk meringkuk dalam pelukan dan dekapan kedua tanganku sendiri yang bahkan terasa hampa dan membekukan itu.

Lama sekali aku menunggu sebuah suara yang hangat terdengar dari dalam logam dingin itu, namun hanya suara "bep" yang kosong dan dingin saja yang selalu menemaniku yang mulai menggigil di dunia yang beku ini.

Hingga pada akhirnya ....

"Halo ...."

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
@semangat123 : Sama" kak 🙏🏻
Oh, reverse. Hehe, paham, thank you... Yah 🙏🥰
@semangat123 : Itu maksudnya balik lagi ke openingnya, kak. Jadi, sebenernya openingnya itu endingnya
Penasaran sama endingnya... "Halo..." 🤭
@semangat123 : Penasaran apa, kak? 🧐
Penasaran... 😳
Rekomendasi