“Tang, bantuin Bunda, dong!” Bunda memekik dari arah dapur.
Sepasang kakak beradik yang sedang asyik menonton film kartun di televisi itu mendadak saling menyikut satu sama lain.
“Tang, lo dipanggil Bunda noh!” seru si kakak perempuan dengan nada galak.
Adik lelakinya mengelak, “Lo kali, Tang. Bukan gue!”
Bintang lahir dua tahun lebih dulu dari Bentang, tetapi si adik tidak pernah mau memanggil dengan sebutan ‘Kakak’ seperti seharusnya. Kecuali sedang ada sesuatu yang diinginkan.
“Heh! Durhaka lo enggak nurut sama Bunda. Sana gih samperin!” Bintang menoyor kepala Bentang.
Pemuda itu berdecak sebal. “Lo yang dipanggil, ya, Tang! Bukan gue!”
“Lo mau dikutuk jadi batu sama Bunda? Sana buruan samperin!” Bintang mendorong tubuh bongsor Bentang untuk bangun dari sofa.
Bintang selalu seperti itu. Bertingkah layaknya Ratu, satu level di bawah Bunda sebagai Ibu Suri. Titah Bintang tidak bisa dibantah, sedangkan Bentang hanya bisa menurut sambil menggerutu. Bintang selalu punya dalih; salah sendiri Bentang lahir belakangan. Nasibnya memang menjadi pesuruh.
“Tang!” Bunda kembali memanggil.
Yang membuat Bentang kesal adalah Bunda tidak pernah memanggil dengan lengkap. Jadi, tidak tahu siapa yang Bunda maksud. Entah itu Bintang atau Bentang.
“Iya, Bun.“ Akhirnya Bentang terpaksa menyahut.
Bintang menyengir puas. Ratu memang seharunya berleha-leha menikmati hari libur sambil menonton televisi tanpa diganggu aktivitas apa pun.
“Dasar Nenek Sihir!” cibir Bentang sebelum meninggalkan Bintang.
“Ngomong apaan barusan?!” Bintang menghardik, tetapi Bentang mengabaikannya. “Awas, ya, enggak gue kasih duit jajan lagi!”
Bentang masih berstatus mahasiswa semester empat di perguruan tinggi swasta. Bintang sudah bekerja dan memiliki penghasilan tetap. Jadi, Bentang tidak jarang menengadahkan tangan pada kakaknya kalau uang jajan dari Ayah dan Bunda kurang.
“Emang gue pikirin?” Bentang berteriak lantang, seolah tidak peduli dengan ancaman Bintang barusan.
Bentang kemudian menghampiri Bunda di dapur. Perempuan kesayangan Bentang itu sedang menyiangi sayur-sayuran untuk dimasak.
“Ada apa, Bun?” tanya Bentang basa-basi. Sebenarnya tahu Bunda mana mungkin memanggil kalau tidak membutuhkan bantuannya.
“Tolong beliin garam sama terasi, dong. Bunda kemarin lupa kalau bumbu di rumah udah pada habis.” Bunda merogoh saku rok yang dikenakan dan mengulurkan selembar 20 ribuan.
“Bintang! Beliin garam sama terasi!” teriak Bentang.
“Heh! Bunda kan minta tolong ke kamu,” sergah Bunda.
Sudah dibilang, Bintang itu Ratu. Meski Bentang bungsu, yang mendapat perlakuan khusus selalu saja si sulung.
“Masa aku yang beli, sih, Bun? Malu dong. Bintang aja ya, Bun.” Bentang merengek sambil manyun.
Bentang menyesal tadi sudah mengalah pada Bintang dan menemui Bunda. Kalau tahu akan diminta ke warung seperti ini, dia mending pura-pura tidak mendengar. Biar saja Bunda mengutuknya menjadi batu.
“Lagian yang masak sama belanja seharusnya emang cewek, ‘kan, Bun?” lanjut Bentang bernegosiasi.
Itu bukan pertama kali Bunda meminta Bentang ke warung untuk membeli sesuatu. Dibandingkan dengan Bintang, Bentang lebih banyak waktu di rumah. Namun, dia memang selalu menggerutu dulu sebelum akhirnya pasrah saja menuruti perintah Bunda.
“Ya udah. Kalau kamu enggak mau beliin, Bunda enggak jadi masak. Biarin aja kalian pada kelaperan,” tandas Bunda.
Bentang menghela pasrah. “Iya. Iya. Aku yang beli.”
Sambil memanyunkan bibir, Bentang menerima uang pemberian Bunda dan keluar dari dapur. Lebih baik Bentang mengalah, daripada Ibu Suri mewujudkan ancamannya dan dia berakhir busung lapar.
“Mau ke mana lo?” tanya Bintang, pura-pura tidak mendengar teriakan Bentang tadi.
“Ke Barat nyari kitab suci!” tandas Bentang menahan geram.
“Nitip es krim, dong. Yang rasa duren, ya.” Bintang memang tidak tahu diri.
“Males banget!” Bentang menolak dengan kesal.
Berbeda dengan Bintang yang sangat menyukai durian, Bentang justru tidak doyan. Mencium aromanya saja sudah membuat perut pemuda itu seperti diaduk-aduk.
“Bentang! Beliin sekalian, sih!” seru Bintang berteriak karena Bentang sudah keluar dari rumah.
“Bintang! Anak perempuan kalau ngomong jangan teriak-teriak!” Bunda menghardik dengan suara yang tidak kalah lantang.
***
Sore ini Bintang pulang kerja tidak diantar ojek online, melainkan bersama seorang pemuda tampan yang diakuinya sebagai pacar. Sudah lebih dari satu tahun menjalin hubungan sejak kuliah akhir semester, tetapi baru sekarang dia kenalkan pacarnya pada keluarga.
Ayah belum pulang, jadi hanya ada Bunda dan Bentang di rumah. Biasanya Ayah sampai di rumah pukul tujuh malam. Bisa juga lewat dari waktu tersebut kalau ada keperluan atau banyak lemburan.
“Bun, kenalin ini Galang.” Bintang tersenyum semringah saat memperkenalkan pemuda mirip Han Jipyeong di sampingnya.
Galang meraih tangan kanan Bunda untuk dicium. Tipikal pemuda yang tahu bagaimana cara bersikap santun. Anak baik, idaman calon mertua.
“Saya Galang, Bu. Pacar Bintang.”
Bunda menyimpul senyum hangat menyambut uluran tangan Galang. Berbanding terbalik dengan Bentang yang menunjukkan tampang garang.
“Galang, itu Bentang. Anak yang Bunda sama Ayah pungut dari empang tetangga.” Bintang berkelakar memperkenalkan adik laki-lakinya.
Galang tertawa renyah, sudah terbiasa dengan cara Bintang bergurau. Sementara itu, Bentang mencak-mencak, tidak terima disebut anak pungut dari empang.
“Dikata gue lele,” gerutu Bentang.
“Bintang! Jangan sembarangan. Bentang kan anak gantengnya Bunda.”
Bentang menjulurkan lidah, balas meledek Bintang karena kali ini Bunda membelanya.
“Ganteng doang, malam minggu enggak ada gandengan. Malu sama truk gandeng!” Bintang tidak akan puas mengolok si bungsu hanya dengan satu cibiran.
“Udah. Udah ngeledeknya. Mending kamu bantuin Bunda siapin makan malam,” ujar Bunda melerai. “Kalian berdua pasti belum makan, ‘kan?”
Bunda mewajibkan anggota keluarga makan malam di rumah. Kecuali ada urusan yang mengharuskan mereka terpaksa makan di luar.
“Lho, enggak nungguin Ayah, Bun?” Bentang menyela.
“Ayah tadi telepon, katanya bakal lembur. Lagi dikejar deadline,” jawab Bunda, kemudian berlalu menuju dapur.
Bentang manggut-manggut. Ekor matanya melirik pada Bintang. Si Ratu yang tidak mau disuruh ini itu, sekarang harus berperan sebagai perempuan sungguhan di depan sang pacar.
“Lang, kamu tunggu di sini sama Bentang, ya. Aku bantuin Bunda sebentar,” pamit Bintang pada Galang.
“Halah! Biasanya juga cuma duduk manis ongkang-ongkang kaki,” olok Bentang enteng.
Bintang spontan melempar bantal sofa ke arah wajah Bentang untuk membuatnya bungkam.
“Tunggu bentar, ya, Lang.” Bintang menyengir, lalu terbirit-birit ke dapur menyusul Bunda.
Setelah ditinggal Bintang berdua saja, Galang mencoba mengakrabkan diri dengan Bentang. Dari Bintang, Galang sedikit tahu tentang sosok pemuda yang berstatus sebagai calon adik iparnya itu.
“Denger-denger, lulus kuliah nanti katanya lo mau lamar kerja di Chromosome, ya?” Galang mengawali basa-basinya.
Bentang mengangguk. Dia bisa menerka dari mana Galang mengetahui hal tersebut. Bentang memang berniat bekerja di perusahan itu karena tergiur gaji yang membuat makmur. Sayangnya, untuk diterima bekerja di sana bukan perkara mudah.
“Gue ada kenalan orang dalam. Kalau mau, gue bisa atur buat ketemuan. Dijamin lolos tes seratus persen,” tawar Galang percaya diri.
Bentang mendesis. Rumor semacam itu sudah bukan rahasia umum lagi. Kalau tidak lolos tes yang sangat ketat, maka harus memiliki relasi kuat. Dari rekan kerja ayahnya bahkan teman-teman arisan Bunda, Bentang mendapat rekomendasi ‘orang dalam’ dengan berbagai macam iming-iming dan jaminan.
“Enggak perlu. Gue mau coba percaya sama kemampuan diri sendiri. Kalau berhasil, alhamdulillah. Kalau gagal, enggak masalah. Berarti bukan rejeki gue.” Bentang menolak penawaran Galang tanpa tedeng aling-aling.
Kalau baru awal saja sudah berlaku tidak jujur, bagaimana Bentang menjalankan tugasnya dengan baik di kemudian hari?
Ditolak mentah-mentah seperti itu, Galang hanya menyengir kuda. Rencana mencuri hati adik ipar sepertinya tidak berjalan semulus yang dia perkirakan.
“Omong-omong ... gue titip Bintang. Tolong jagain dia. Biarpun Bintang kelihatannya kasar begitu, aslinya baik kok. Jangan sampai nyakitin dia karena di rumah ini enggak ada yang pernah bikin dia nangis sekali pun.” Bentang bertutur sok bijak. Lupa diri kalau dia lebih muda dua tahun dari Galang.
“Tenang aja. Lo bisa percaya sama gue,” janji Galang, menarik simpulan senyum pada bibir Bentang.
***
Sejak dikenalkan kepada Bunda dan Bentang dua bulan yang lalu, hubungan Bintang dengan Galang semakin serius. Bahkan pemuda itu sudah menemui Ayah Bintang untuk membicarakan perihal lamaran.
Bintang jadi lebih sering menghabiskan waktu untuk berbincang dengan Galang melalui telepon, merencakan ini dan itu. Dia tidak lagi menjahili Bentang seperti dulu.
Bentang tentu saja senang lepas dari segala macam keisengan Kakak Ratu, tetapi kadang-kadang dia juga rindu bertengkar dengan Bintang.
“Gimana kalau si Bintang tinggal sama Galang abis nikah?” Bentang bergumam, sedih juga membayangkan dirinya dan Bintang pisah rumah.
Bentang menghela napas, lalu mendongak menatapi langit senja yang tampak begitu cantik sore ini. Meskipun sering tidak akur, sebenarnya Bentang menyayangi Bintang. Dia yakin Bintang juga diam-diam sangat peduli kepadanya.
Ya Allah, tolong selalu jaga dan bahagiakan Bintang. Bentang memanjatkan doa dalam hati.
“Tang, lo ngelamunin apaan, deh?” Gesang yang baru selesai mengisi bensin motornya mengagetkan Bentang.
Bentang menggeleng. “Enggak ada.”
Gesang mengangguk maklum. Mereka berdua sedang berada di pom bensin. Baru pulang setelah mengerjakan tugas kampus bersama. Bentang lebih sering pulang dengan membonceng Gesang daripada mengendarai motor sendiri ke kampus. Toh rumah mereka satu arah. Gesang juga merasa senang karena uang membeli bensinnya bisa dibagi dua dengan Bentang. Lebih hemat.
“Buruan naik. Udah mau magrib, nih.”
Bentang baru saja akan duduk di boncengan, tetapi urung dilakukan karena sosok di seberang sana mengundang rasa penasaran.
“Sang, lo pulang duluan. Gue ada urusan,” ujar Bentang menepuk bahu Gesang.
Gesang yang sedang fokus pada setang motor, terlambat menyadari tindakan sembrono Bentang.
“Woi, mau ke mana lo?”
Bentang tidak menggubris seruan Gesang. Dia sudah menyeberang jalan secara sembarangan tanpa menoleh lebih dulu ke kiri dan kanan. Gesang tidak bisa menyusul karena kondisi jalanan yang cukup padat dan satu arah, sedangkan untuk memutar balik masih cukup jauh.
Langkah Bentang terburu-buru menghampiri sepasang muda-mudi yang baru saja turun dari motor dan bergandengan mesra menuju sebuah kafe. Bentang langsung menahan bahu pemuda yang tidak lain adalah Galang.
Pemuda itu berbalik dan terkejut melihat Bentang yang menatapnya dengan nyalang. Ekor mata Bentang melirik ke arah perempuan yang masih melingkarkan tangannya mesra ke lengan Galang.
“Ternyata lo sepecundang ini, ya?” Bentang menyeringai.
“Beb, kamu kenal orang ini?” Si cewek bertanya pada Galang.
“Oh ... dia ... adeknya temenku,” jawab Galang terbata-bata.
Bentang mengepalkan tangan kanan. Tanpa aba-aba, dia meninju wajah Galang tepat mengenai tulang pipinya sebelah kiri. Galang tersungkur, membuat si perempuan menjerit panik. Bentang kalap dan menghujani pemuda itu dengan tinjuan bertubi-tubi.
Setelah beberapa kali terkena tinju, Galang berhasil menangkis dan membuat perlawanan. Tinju yang sama keras, dia layangkan mengenai sudut bibir kiri Bentang hingga berdarah.
“Tolong!” Perempuan yang tadi digandeng Galang, heboh meminta bantuan.
Sayangnya, pekikan panik perempuan itu tidak membuat Bentang dan Galang berhenti, sampai beberapa pengunjung kafe dan sekuriti berlekas menghampiri keributan yang terjadi. Mereka kemudian berusaha melerai dua orang yang sedang asyik baku hantam itu.
“Berhenti! Kalau enggak, kalian berdua saya laporkan ke polisi!” Penjaga kemanan kafe berteriak mengancam.
Bentang dan Galang terpaksa menghentikan aksi berbalas tinjuan mereka. Mereka kemudian saling beradu tatapan tajam dengan napas tersengal setelah perkelahian sengit.
“Beb, ayo kita laporin ke polisi.” Si perempuan membantu Galang berdiri, sedangkan Bentang dibantu oleh sekuriti.
“Enggak perlu,” tolak Galang.
“Tapi, dia udah serang kamu tanpa alasan gini, lho.” Perempuan itu tampak khawatir pada Galang dan membenci Bentang.
Bentang berdecih kasar. Tanpa alasan katanya?
Tidak mungkin api bisa tersulut tanpa ada yang memantiknya. Meskipun Galang akan membawa perkelahian ini ke polisi, Bentang tidak gentar sama sekali.
“Aku bilang enggak usah, ya, enggak!” Galang bersikukuh menolak.
Pemuda itu lalu mendekati Bentang yang masih dipegangi oleh sekuriti. Bentang masih menatapnya tanpa takut sedikit pun, apalagi merasa bersalah.
“Gue enggak akan laporin lo ke polisi, asal lo enggak ngomong apa-apa sama Bintang,” tawar Galang.
“Gue bukan tukang ngadu. Selesaikan urusan lo sama Bintang secepetnya. Kalau lo masih selingkuhin kakak gue, gue enggak akan segan-segan buat ngehajar lo lebih dari ini,” tandas Bentang mengancam.
Orang-orang yang ada di sana masih waspada. Berjaga-jaga kalau akan terjadi perkelahian susulan.
“Lo berani bikin Bintang nangis, gue enggak akan tinggal diam. Enggak masalah lo mau bawa ke polisi juga. Gue jabanin.” Bentang menahan diri untuk tidak kembali meninju wajah pongah Galang.
***
Bintang tidak ada lembur hari ini, jadi dia bisa pulang lebih cepat. Pukul lima lewat tiga puluh menit, perempuan itu sudah sampai di rumah. Seperti biasa, dia mengucap salam dengan lantang dan melepas sepatunya sembarangan.
Bunda sedang menonton acara gosip selebriti tanah air yang menyorot perseteruan antara istri sah dan pelakor sang suami. Terlalu seru untuk dilewatkan begitu saja.
“Bentang di mana, Bun?” Bintang celingukan mencari keberadaan si adik.
“Belum pulang. Lagi ada kegiatan kali,” jawab Bunda tidak acuh, fokusnya masih pada pembawa acara yang sedang saling menimpali, terlalu seru untuk diabaikan.
“Enggak izin?” tanya Bintang heran.
Bunda mengangkat kedua bahu sekilas. Benar-benar tidak ingin diganggu dengan interview soal si anak bungsu.
Setahu Bintang meski adiknya menyebalkan dan sering bertengkar, Bentang itu anak baik yang ke mana-mana selalu meminta izin lebih dulu. Dia memang hobi menjahili Bentang, tetapi kalau adiknya tidak ada kabar seperti sekarang, dia panik juga. Perempuan itu segera merogoh ponsel di dalam tas kerja dan menghubungi sang adik.
“Ck! Itu bocah ke mana, sih?” Bintang bersungut-sungut karena panggilannya diabaikan oleh Bentang.
Akan tetapi, Bintang tidak akan menyerah sebelum Bentang mengangkat telepon. Toh sekarang bukan jam kuliah, dia tidak akan mengganggu kegiatan belajar mengajar Bentang. Perempuan itu justru khawatir terjadi hal buruk menimpa adik semata wayang.
“Assalamu’alaikum.” Suara Bentang terdengar lirih mengucap salam.
Bunda menimpali dengan mata masih fokus menatap pada layar kaca, sedangkan Bintang langsung menghampiri Bentang, bersiap melabrak karena teleponnya diabaikan.
“Bocah bangor! Dari mana aj—”Hardikan Bintang tertahan karena mendapati wajah Bentang yang penuh dengan lecet di sana-sini. “Ya ampun, Bentang! Ini muka lo kenapa!”
Pekikan Bintang berhasil menarik atensi Bunda yang serta-merta beranjak dari depan televisi dan langsung menghampiri Bentang.
Bintang menangkup wajah Bentang. “Lo berantem, Tang?” terkanya panik.
Bentang berdecak. “Apaan, sih?! Lebay deh!” tandasnya sambil menepis tangan Bintang.
“Astaghfirullah! Anak ganteng Bunda berantem sama siapa?” Bunda ikut panik, lalu menggeser posisi Bintang dan berganti menangkup pipi si anak lelaki. “Ya Allah, kenapa berantem, sih, Nak?”
“Aku enggak apa-apa, Bun. Tadi cuma ketemu tukang palak. Ya udah, aku lawan,” jawab Bentang enteng.
“Halah, sok jago banget sih, lo! Berantem sama gue aja kalah mulu,” cibir Bintang.
Bentang selalu kalah dari Bintang. Mau adu bacot ataupun adu otot. Alasannya cuma satu, Bintang adalah Ratu. Tidak boleh dan tidak mau dikalahkan.
“Udah. Jangan ribut.” Bunda menengahi, biasanya sih cuek, tetapi kali ini Bentang sedang terluka. “Kita ke rumah sakit sekarang, yuk!”
“Cemen amat, Bun, sampai dibawa ke rumah sakit segala,” sergah Bintang menyela. “Sini gue aja yang obatin lo.”
Bintang menarik tangan Bentang dan mendudukkannya di sofa ruang televisi. Bunda mengikuti meskipun acara gosip belum usai. Kali ini Bunda hanya fokus pada Bentang. Beruntung Bunda masih waras, tahu anaknya adalah prioritas.
“Gue ambilin obat dulu.” Bintang beranjak menuju tempat penyimpanan kotak P3K.
Tidak butuh waktu lama, Bintang sudah kembali menemui Bentang dan Bunda. Dia lalu duduk di sebelah adiknya. Bunda masih meringis, meratapi wajah tampan si bungsu yang kini dihiasi lebam. Bintang menuang alkohol di atas kapas, lalu membersihkan area luka Bentang.
“Sshh ... ” Bentang meringis, merasakan perih pada lukanya.
Bintang berdecak. “Katanya jagoan, masa kena obat merah gini aja mau nangis,” cibirnya.
“Perih tau!” gerutu Bentang.
Bunda otomatis memanyunkan bibir dan meniupi luka Bentang yang sedang dibersihkan oleh Bintang.
“Lagian siapa suruh berantem, sih? Kalau ada yang malak, kasih duit aja. Enggak usah sok jago!” tegur Bintang sok kesal, padahal tidak tega melihat wajah Bentang seperti itu.
Wajah ganteng Bentang merupakan aset kebanggaan. Harusnya tidak boleh ada luka sekecil apa pun.
“Aduh!” Bentang mengaduh karena Bintang sengaja menekan kapas dengan keras. “Pelan-pelan bisa kali? Sengaja banget bikin gue tambah sakit, sih!”
“Bintang, yang bener dong,” tegur Bunda, iba pada Bentang.
Bentang menyeringai pongah karena dibela oleh Bunda. “Tau nih. Seneng banget kalau adek sendiri sengsara,” rengeknya memprovokasi.
“Ck! Ya udah, nih! Obatin sendiri!” Bintang menaruh kotak P3K di pangkuan Bentang dengan kasar, lalu pergi mengentakkan kaki menuju kamar.
Bunda menggeleng gemas. “Kapan kalian berdua bisa akur, sih?”
“Kalau Upin Ipin udah lulus kuliah kali, Bun,” timpal Bentang berseloroh.
Bunda mendesah pasrah. Perempuan itu kemudian meraih kotak P3K dan meneruskan tugas Bintang mengobati luka Bentang yang tadi belum selesai.
***
Setelah beberapa hari, memar di wajah Bentang sudah mulai pudar. Sampai saat ini belum ada yang mengetahui alasan sebenarnya Bentang babak belur. Mereka percaya bualan Bentang yang mengaku baku hantam dengan tukang palak.
Bentang mengetuk pintu kamar Bintang, bermaksud mengulik hubungan asmara sang kakak dan memastikan apakah Galang sudah melepaskan Bintang, atau masih berselingkuh darinya.
“Masuk!” Terdengar seruan dari dalam kamar.
Bentang membuka pintu dan mendapati Bintang sedang duduk sambil menatapi langit kelam dari jendela.
“Butuh apaan?” todong Bintang blak-blakan.
Bintang tahu tabiat Bentang yang hanya mau memasuki teritorinya saat membutuhkan sesutau.
“Apa sih? Mau ngobrol doang,” kilah Bentang.
Bintang memicing sangsi dengan pengakuan Bentang. Dia yakin ada sesuatu yang Bentang mau, buktinya pemuda itu sampai rela duduk manis di ranjang.
“Buruan ngomong, perlu apaan?” tempat Bintang dengan nada ketus.
Bentang berdecak. “Curiga mulu ih sama gue. Cuma pengen ngobrol. Sumpah!”
Bintang mengalah. Dia beranjak dari kursi di dekat jendela, lalu duduk di samping Bentang. Perempuan itu meneliti bekas luka di wajah Bentang yang masih terlihat meskipun sudah samar.
“Muka lo masih sakit?” Bintang memastikan.
Bentang menggeleng. Memang sakitnya sudah tidak terasa sama sekali.
“Cowok lo apa kabar? Lama enggak lo ajak ke sini?” Bentang berbasa-basi memasuki topik pembicaraan utama.
Bintang justru mengernyit. Sejak Bintang mengenalkan Galang, baru kali ini adiknya menanyakan tentang pemuda itu. Dia pikir Bentang tidak peduli sedikit pun pada cerita cintanya.
“Tumben amat lo nanya-nanya cowok gue.” Bintang terheran.
“Ya … kali aja itu orang udah punya gebetan baru,” tandas Bentang.
“Heh! Mulutnya kalau ngomong!” hardik Bintang diiringi tangan yang mencubit bibir sang adik.
Bentang menepis cubitan tangan Bintang, lalu meringis kesakitan.
“Jangan terlalu percaya sama cowok. Kebanyakan buaya. Mending putus aja, mumpung belum telanjur dinikahin,” celetuk Bentang.
“Dih, kok ngatur? Lo kali biangnya buaya!”
Bentang menatap Bintang serius. “Lo beneran sayang sama cowok itu?”
Bentang agaknya malas menyebut nama Galang. Bintang mengangguk senang.
“Sayang, dong. Banget malah.” Bintang menimpali dengan jujur.
Bentang jadi tidak tega membocorkan perselingkuhan Galang yang dia pergoki.
“Lebih sayang gue apa dia?”
“Ya, dia lah. Kapan gue sayang sama lo? Males deh. Kalau bisa nih ya, gue malah pengin nukerin lo sama anak kucing anggora tetangga. Lebih gemoy!” cerocos Bintang asal.
Bentang hanya menghela pasrah. Sudah sering dinistakan oleh kakak sendiri.
***
Ritual rutin setiap akhir bulan di kantor Bintang adalah menonton film bioskop bersama di salah satu pusat perbelanjaan. Dua baris kursi paling atas di-booking penuh untuk para karyawan.
Bintang selalu antusias saat acara seperti itu. Menonton film adalah salah satu dari sekian hobinya. Namun, sosok familier yang baru saja memasuki studio bioskop mengusik kesenangan Bintang.
Lampu bioskop yang belum diredupkan, membuat Bintang dengan jelas melihat lengan Galang digandeng mesra oleh perempuab berambut pirang. Keduanya lalu duduk di kursi baris keempat dari depan.
Bintang semakin geram ketika si perempuan menyandarkan kepala di bahu kanan Galang. Namun, dia menahan diri untuk tidak melabrak dan menimbulkan keributan. Bintang enggan membuat keseruan teman-temannya terganggu.
Selama durasi film ditayangkan, Bintang tidak fokus sama sekali. Dia terus memusatkan atensi pada sosok Galang yang berlaku mesra terhadap perempuan di sebelahnya. Bintang bahkan mencoba mengganggu Galang dengan menelepon dan mengiriminya pesan teks, tetapi diabaikan.
Setelah film selesai, Bintang buru-buru memisahkan diri dari teman-temannya.
“Teman-teman, maaf. Gue enggak bisa ikutan makan. Udah ditelepon Bunda,” ujar Bintang berbohong.
“Oke. Hati-hati pulangnya,” sahut salah seorang teman.
Tidak ada yang mencurigai alasan Bintang itu. Dia kemudian bergegas membuntuti Galang yang masih menggandeng mesra perempuan berambut pirang. Berulang kali Bintang menghubungi, tetapi tidak sekali pun Galang mengecek ponselnya.
Setelah hampir satu jam berkeliling, Galang akhirnya keluar dari pusat perbelanjaan. Bintang masih mengikutinya diam-diam sampai ke parkiran motor.
“Sibuk banget, ya? Sampai telepon dari aku, kamu kacangin?” Bintang menghadang Galang dan si perempuan dengan menyedekapkan kedua tangan.
Galang gelagapan. Terkejut dengan kemunculan Bintang yang tiba-tiba. Perempuan di samping Galang juga tampak keheranan.
“Bilangnya lembur terus karena banyak kerjaan sampai enggak ada waktu buat ketemu. Taunya sibuk selingkuh sama cewek lain.” Bintang mencebik sengit ke arah si cewek.
“Siapa sih, Beb?” Si perempuan semakin erat menggandeng Galang.
Bintang terkekeh remeh mendengar nada manja dan sikap posesif perempuan itu. Apalagi Galang terlihat sangat gugup.
“Bi, aku bisa jelasin,” ucap Galang, perlahan dia menyingkirkan tangan si perempuan dari lengannya.
“Ya udah, jelasin aja sekarang. Aku dengerin!” Bintang justru semakin menantang.
Belum juga Galang membuka mulut untuk memberi penjelasan, si perempuan menginterupsi dengan suara mual. Bahkan perempuan itu membekap mulut sendiri dengan tangan kanan dan tangan kirinya memegangi perut.
Galang menjadi bimbang. Harus menjelaskan pada Bintang atau mengurusi selingkuhannya. Bintang mencoba berpikir positif, mungkin perempuan itu mual karena masuk angin.
“Beb, perut aku mual banget. Ke bidan, yuk,” ajak perempuan itu merengek.
Bintang menatap nanar pada Galang. Pemuda yang katanya berniat menikahi Bintang itu terdiam sesaat. Dari cara Galang memandang, Bintang tahu perkiraannya tadi keliru. Semakin ditegaskan dengan Galang yang memilih mengabaikan Bintang dan pergi bersama selingkuhannya.
***
Bentang sedang mengantre di kasir saat ponselnya bergetar. Nama ‘Ratu Iblis’ tertampil di layar ponsel sebagai penanda panggilan masuk dari Bintang.
“Dek, lo di mana?” tanya Bintang lirih.
Kalau Bintang berbicara dengan nada selembut itu, Bentang patut curiga.
“Mini market. Disuruh Bunda. Kenapa?” Bentang balik bertanya.
“Beliin seblak ya, Dek.” Ada sesuatu yang mengganggu telinga Bentang pada suara Bintang.
“Males banget!” tolak Bentang ketus.
“Ekstra pedes. Makasih, Dek.” Bintang mengakhiri panggilannya secara sepihak.
Bentang tertegun. Bintang berbicara tanpa mengoloknya dan mengucapkan kata ‘makasih’ adalah pertanda buruk. Dia yakin kakaknya sedang tidak baik-baik saja.
Setelah membayar belanjaan di kasir, Bentang mengayuh pedal sepeda menuju penjual seblak. Beruntung tidak begitu ramai pengunjung, jadi dia tidak perlu menunggu lama. Satu porsi seblak sudah terbungkus dan dibawa pulang oleh Bentang.
“Bun, Bintang mana?” Bentang menaruh plastik belanjaan titipan Bunda di meja.
“Di kamar. Jangan digangguin kakaknya, baru pulang. Masih capek,” tutur Bunda berpesan.
Bentang tidak menanggapi ucapan Bunda. Dia buru-buru ke kamar Bintang dan memasukinya tanpa permisi. Dia mendapati Bintang terduduk lesu sambil bersandar pada lemari di sudut kamar. Pemuda itu ikut duduk di hadapan snag kakak, lalu membuka plastik berisi seblak pesanannya.
“Nih, makan,” ujar Bentang.
Bintang bergeming. Bentang menghela lirih. Dia paham betul kakaknya sedang sedih. Bentang lalu menyuapi Bintang.
“Tadi abangnya kasih sambel banyak banget. Kalau lo enggak sanggup nahan pedes, nangis aja.” Bentang berlagak tidak peka.
Bintang si Ratu Iblis tidak mau terlihat lemah di depan Bentang. Jadi, dia butuh alibi untuk menitikkan air mata. Bentang sangat memahami itu. Suapan demi suapan memindahkan seblak dari wadah ke mulut Bintang. Seiring dengan gerak mengunyah yang dilakukan, air mata perempuan itu mulai berjatuhan.
Bentang masih menyuapi Bintang tanpa bertanya apa-apa. Dia tahu penyebab tangisan Bintang bukan karena pedasnya seblak.
Tangis tanpa suara itu perlahan menjadi isakan lirih. Bintang menolak disuapi lagi. Kali ini ego Bintang kalah oleh rasa sakitnya dikhianati. Perempuan itu menangis tanpa peduli Bentang akan meledek.
Helaan terembus dari hidung Bentang. Dia meletakkan seblak yang tadi dipegangi. Kedua telapak tangan pemuda itu kemudian menggenggam jemari Bintang.
Perempuan itu semakin tergugu ketika Bentang menariknya ke dalam pelukan.
“Galang b*r*ngs*k!” rutuk Bintang di sela tangisan.
Bentang mengusap punggung Bintang penuh sayang. Dia tidak berniat menginterupsi sama sekali. Biar saja Bintang meluapkan emosinya. Bentang hanya perlu mendengarkan.
Nyaris satu jam Bintang menggugu sendu dalam dekapan Bentang. Hingga tangisnya perlahan mereda. Dia menjauhkan diri dari pelukan sang adik.
Bentang sigap mengusap jejak air mata di kedua pipi Bintang. “Udah lega?”
“Dasar cowok buaya! Sok-sokan mau lamar gue, ngajakin nikah, malah selingkuh sama cewek lain.” Bintang mengomel kesal.
“Cowok kayak dia enggak pantes dapetin kakak kesayangan gue. Bahkan air mata lo terlalu berharga buat nangisin dia.”
Bintang menatap Bentang dengan mata berkaca-kaca. Sedihnya bercampur haru mendengar ucapan Bentang barusan.
Bentang memegangi kedua bahu Bintang, lalu mendorongnya agar duduk dengan tegap. “Dengerin gue. Biarpun lo nyebelinnya bikin gue sering istighfar, lo itu anugerah terindah buat gue setelah Bunda dan ayah. Jadi lo enggak boleh sia-siain diri sendiri buat cowok enggak berfaedah kayak Galang. Tangisan lo tadi udah cukup. Enggak perlu nangisin dia lagi.”
Bintang semakin terharu meskipun kalimat awal yang diucapkan Bentang terdengar menyakitkan.
“Lo itu Ratu Iblis. Patah hati enggak bikin lo mati. Besok pagi lo harus bisa senyum lagi. Kalau enggak, gue bakal kelitikin lo sampai ketawa,” ancam Bentang.
Bintang berdecak sambil memukul pelan lengan Bentang. “Baru kali ini gue bersyukur banget punya adek kayak lo,” ucapnya.
“Lo kan emang kufur nikmat. Adek ganteng kebangetan begini enggak pernah diakuin. Malah dinistain mulu.” Bentang pura-pura kesal.
Bintang mengusak rambut Bentang gemas, menimbulkan decak tidak suka dari si bungsu.
“Jangan bilang Bunda sama Ayah soal cowok sialan itu, ya. Biar gue urus sendiri,” pinta Bintang.
Bentang membuat gerakan mengunci mulut, lalu memberikan kuncinya pada genggaman tangan Bintang.
“Makasih ya, Dek.”
Bentang mengangguk. “Jangan nangis lagi. Kalau ada apa-apa ngomong sama gue. Lo enggak sendirian, Kak.”
Bintang menangkup pipi Bentang, menatap kedua matanya lekat-lekat. “Gue laper, Dek.”
Bentang melirik wadah seblak yang tersisa sedikit saja.
“Ayo cuci muka. Gue masakin mi.”
“Duh ... Baik banget sih adek gue,” puji Bintang.
Bentang mencibir. “Modus.”
Bintang merentangkan kedua tangan, meminta Bentang yang sudah bangkit lebih dulu untuk membantunya berdiri. Keduanya lalu keluar dari kamar.
“Beli es duren aja, yuk, Dek. Gue traktir deh,” ajak Bintang saat mendekati dapur.
“Ogah!”
“Ayo, sih. Sekali-kali makan duren enggak bakal bikin lo mati, Dek.”
“Enggak mau!”
“Ayo!” Bintang memaksa.
“Enggak!”
Bunda yang berniat mengambil minum di dapur hanya bisa menahan emosi melihat dua anaknya itu ribut lagi seperti biasa.
“Bintang! Bentang! Kalau berantem mulu, Bunda tukerin sama anak ayam warna-warni!”
TAMAT