Disukai
0
Dilihat
7
Sepatu Mangap di Marathon 10k
Komedi
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Awal mula rencana ini adalah karena temanku, si Jaka (yang nikahannya salah amplop itu), mendadak sakit tipes H-2 sebelum acara lari "Jakarta 10K". Aku sebenarnya belum pernah ikutan acara-acara seperti ini, tapi untuk urusan lari aku cukup berpengalaman, terutama dalam hal menghindari sosoran soang.

Si Jaka merasa Sayang uang pendaftarannya 350 ribu hangus, dia menawarkan BIB (nomor dada)-nya padaku. Gratis.

"Ambil aja, Yo. Lumayan dapat medali sama pisang," katanya.

Sebagai penganut prinsip ekonomi "Selama Gratis, Sikat", aku menerima tawaran itu. Aku membayangkan diriku menjadi atlet lari yang keren, upload foto medali di IG Story, lalu dikagumi gebetan.

Masalahnya satu: Aku tidak punya modal lari.

Orang lain lari pakai sepatu Carbon Plate seharga motor bekas.

Aku? Aku cuma punya sepatu kets warna hitam-putih yang kubeli di pasar malam tiga tahun lalu seharga 75 ribu. Mereknya "Abibas" (garisnya ada empat). Solnya sudah agak tipis, tapi kuanggap ini fitur "ground feel" biar menyatu dengan aspal.

Fase 1: Persiapan Low Budget

Malam sebelum lomba, aku menyiapkan outfit.

Pelari pro pakai baju Dri-Fit yang ringan dan menyerap keringat. Aku tidak punya Aku memilih Kaos Partai (gambar wajah Caleg DPRD yang sedang tersenyum). Bahannya poliester panas yang kalau kena keringat baunya kayak jemuran belum kering. Tapi warnanya kuning ngejreng, bagus buat safety biar nggak ketabrak.

Celana lari? Aku pakai Celana Kolor Bola. Karetnya sudah agak melar, jadi aku siapkan peniti biar aman.

Aksesoris? Orang lain pakai Smartwatch Garmin 10 juta.

Aku pakai Jam Tangan Casio Karet yang talinya sudah putus disambung pakai karet gelang. Yang penting bisa lihat jam berapa (dan kapan harus menyerah).

Fase 2: Garis Start (Minder Massal)

Minggu pagi.

Aku berdiri di garis start. Di sekelilingku adalah manusia-manusia outfit juta-juta. Wangi mereka wangi sunblock mahal. Wangi aku wangi Minyak GPU (Gosok Pijat Urut) karena semalam kakiku pegal habis jalan kaki ke Indomaret.

MC berteriak: "Are you ready runners?!"

Semua orang angkat tangan, memamerkan jam Garmin mereka yang menyala. Aku angkat tangan, memamerkan jam casio digital strap karet di pergelangan tanganku.

DOR! Lari dimulai.

Aku lari dengan semangat '45.

"Lumayan nih, irit ongkos sarapan. Nanti di finis dapat pisang sama isotonik," pikirku. Mentalitas anak kos sejati.

 

Fase 3: Tragedi di KM 2 (Bencana Infrastruktur dan material )

Baru dua kilometer, masalah teknis terjadi.

Sepatu "Abibas" 75 ribuku ternyata kaget diajak lari di aspal panas. Biasanya dia cuma diajak jalan ke warung.

Tiba-tiba terdengar bunyi: PLAK... PLAK... PLAK...

Setiap aku melangkah, ada bunyi tamparan. Aku melihat ke bawah.

Sol sepatu kananku MANGAP.

Lemnya menyerah. Bagian alasnya terlepas separuh, jadi kayak mulut buaya yang lagi ngunyah aspal.

Aku panik. Orang-orang di sebelahku menoleh. "Mas, sepatunya ngomong tuh," kata seorang bapak-bapak. Sialan.

Aku menepi sebentar. Apa yang harus kulakukan? Tidak ada lem. Tidak ada paku. Aku melihat ke aspal. Ada karet gelang bekas bungkus nasi uduk yang terbuang. Rejeki anak soleh!

Aku memungut karet gelang kotor itu, lalu mengikat moncong sepatuku. Sol sepatu tertutup kembali. Memang agak menekan jari kaki, tapi setidaknya tidak bunyi plak-plak lagi. Aku lanjut lari dengan gaya pincang estetik.

 

Fase 4: KM 5 (Water Station = Prasmanan)

Aku sampai di pos minum (Water Station). Pelari lain mengambil satu gelas, minum sedikit, lalu buang gelasnya dengan gaya cool.

Aku?

Aku berhenti total.

Aku melihat meja penuh gelas air mineral dan pisang.Otak ekonomis-ku bekerja: "Tiket pendaftaran 350 ribu (walau gratisan). Aku harus balik modal!" Aku minum dua gelas. Ambil satu pisang, makan di tempat. Aku ambil dua pisang lagi, kantongi di saku celana kolor kanan-kiri. Buat makan siang nanti.

Celana kolorku jadi berat dan menggembung aneh. Orang-orang melihatku curiga, mungkin dikira aku menderita penyakit hernia atau tumor paha.

 

Fase 5: KM 7 (Lecet Membawa Maut)

Ini pelajaran bagi kalian yang miskin: JANGAN LARI PAKAI KAOS KATUN/PARTAI.

Keringatku sudah membanjiri kaos Caleg ini. Kaosnya jadi basah kuyup dan BERAT. Rasanya aku lari sambil memanggul beban dosa. Lebih parah lagi, kaos basah itu kasar. Menggesek puting susu dan ketiakku setiap kali bergerak.

Perih, Jenderal! Putingku rasanya kayak diamplas. Selangkanganku (karena celana kolor murah) juga mulai lecet gesekan antar paha.

Aku lari dengan gaya mengangkang lebar seperti kepiting stroke. Tangan diangkat tinggi-tinggi biar ketiak nggak gesekan. Orang-orang melihatku ngeri. "Masnya kenapa? Kebelet

boker?"

"Bukan Pak," jawabku dalam hati. "Lecet Pak. Perih."

 

Fase 6: KM 9 (Disalip Pedagang Asongan)

Aku sudah di titik nadir. Kaki pincang karena karet gelang di sepatu mulai kendor. Selangkangan lecet.

Napas bunyi ngik-ngik. Tiba-tiba, dari samping ada yang menyalipku dengan santai. Seorang bapak-bapak tua memikul Dagangan Tahu Gejrot. Dia berjalan cepat (power walk) sambil mikul gerobak pikul.

Dia lebih cepat dariku. Tanpa sepatu Hoka. Tanpa Garmin. Tanpa baju Dri-Fit. Cuma modal sandal jepit dan otot betis sebesar tales bogor.

"Misi Mas, numpang lewat," katanya santai.

Harga diriku hancur lebur.

Aku kalah sama Tahu Gejrot. Aku merasa tidak pantas disebut manusia. Aku hanyalah ampas tahu.

 

Fase 7: Finis (Pencitraan Maksimal)

Akhirnya, gerbang finis terlihat. Aku melihat fotografer. Sakit lecet dan kaki pincang langsung kusembunyikan. Aku mencopot karet gelang di sepatu (biar nggak kelihatan miskin banget). Aku menahan napas biar perut buncitku rata.

Aku pasang senyum lebar (walau aslinya mau nangis).

Cekrek!

Aku melewati garis finis. Begitu lewat garis, aku langsung ambruk. Sol sepatuku copot total. Coplok. Menggelinding di aspal. Pisang di saku celanaku lumat, jadi bubur pisang di dalam saku. Lengket semua. Panitia mengalungkan medali.

"Selamat ya Mas!"

Aku menerima medali itu dengan tangan gemetar. Bukan gemetar terharu. Gemetar hipoglikemia (kurang gula) dan dehidrasi. Aku duduk di trotoar, tanpa alas kaki (karena sepatu sudah jadi rongsokan).

Makan bubur pisang dari saku celana. Minum air sisa orang. Aku buka HP. Upload foto medali (cuma medalinya doang, kakiku yang nyeker nggak difoto).

Caption:

"10K Finisher. Pain is temporary, Pride is forever. Thank you legs!"

DM masuk dari teman: "Wih, mantap Yo! Sepatunya enak nggak?" Aku balas: "Enak banget. Saking enaknya, solnya sampe lepas mau menyatu dengan alam."

Total kerugian hari ini:

1. Sepatu Abibas (Rp 75.000) -> Rusak total.

2. Ongkos bensin (Rp 15.000).

3. Biaya berobat lecet selangkangan (Salep Rp 25.000).

Total keuntungan:

  1. 2 Pisang (sudah jadi bubur).
  2. 1 Medali besi (bisa dikilo)
  3. Konten Instagram (Pencitraan).

Apakah kapok?

Lumayan, jika memang aku mau ikutan event lari lagi. Aku mau lari pake sandal jepit aja kayak Bapak Tahu Gejrot. Lebih aerodinamis.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Komedi
Rekomendasi