INT. KAMAR PETIRAHAN — MALAM
Malam sunyi. Tak ada suara yang terdengar selain embusan angin.
Lora sulit tidur. Selintas ia melihat ada bayangan di kaca cermin ruangan, seperti bayangan Bram.
LORA (VO)
Siapa itu, Bram atau orang yang tadi menatapku di atap?
Tiba-tiba terdengar suara keras, seperti teriakan dari arah lobi.
Lora terbangun. Ia membuka pintu, angin mengempas keras, rambutnya terburai, lonceng angin bergemerincing tak karuan.
Di luar tampak gelap, tak ada apa pun yang bisa dilihat.
Lora kaget, takut, tiba-tiba ada sosok di dekatnya.
BRAM
Kau juga mendengarnya?
LORA
Ooo, kukira hantu?! (pekik Lora)
Lora mengangguk. Angin sedikit mereda. Puluhan lonceng angin yang semula terayun ke sana kemari mulai tenang.
Suara gemerincingnya jadi agak merdu.
Lalu terdengar suara burung hantu.
Lonceng diam, bergeming, tak ada angin.
Suara burung hantu kembali terdengar, lebih menggema, suara dan daya pengaruhnya menjulur dari gelapnya hutan dan menjalar ke segenap Petirahan.
Ada sesuatu yang magis dari hutan yang masuk ke Panti, menyebar ke seluruh ruangan.
Tiba-tiba terdengar bunyi tokek nyaring sekali, menggema lantang.
LORA
Aku takut... (kata Lora spontan)
Bulu kuduk Lora meremang. Tanpa sengaja, dia memeluk Bram. Bram diam saja.
BRAM
Kau gemetar... (kata Bram balas memeluk Lora erat), tenanglah...
Cuaca sedang buruk.
LORA (VO)
Ia tak tahu bahwa aku takut suara tokek dan burung hantu, bukan cuaca buruk. Namun mungkin ia juga benar, cuaca buruk menyebabkan listrik padam, dan kegelapan mengundang tokek berbunyi dan hantu datang.
Untunglah suara tokek kemudian berhenti, dan lonceng diam, membuat suasana kembali tenang. Hening, dan sunyi.
Hanya kegelapan yang menguasai pandangan, tiba-tiba muncul ribuan cahaya berpendar dari dalam hutan. Titik-titik cahaya yang berterbangan, menakjubkan.
LORA
Kunang-kunang...
Lora menatap takjub pada ribuan kunang-kunang yang muncul dari hutan.
BRAM
Kunang-kunang?
Bram tak melihat apapun di sana kecuali hutan yang gelap.
LORA
Itu, cahaya yang berterbangan itu...
BRAM
Cahaya?
Karena lebih tertarik dengan ribuan kunang-kunang itu, Lora tak memerhatikan Bram yang tak mengerti atas apa yang dia bicarakan.
Kunang-kunang bagai terang lilin di sana, titik-titik cahaya itu membuat suasana gelap berubah terang dan menawan. Mirip ribuan kembang api yang dinyalakan, berpendar indah. Seperti tengah ada pesta kembang api di sana...
LORA
Cantiknya... (gumam Lora)
Angin semilir dingin memasuki ruangan. Lora mulai sadar berada dalam pelukan Bram, dan merasakan kehangatan tubuhnya, ia merasakan sensasi gairah.
Dari siluet cahaya rembulan yang menembus ruangan, Lora menatap paras Bram yang kukuh dan ganteng.
LORA (VO)
Kutatap begitu intens harusnya Bram merasa, tapi entah ia paham atau tidak. Hormon dalam tubuhku mendesak-desak tak karuan.
Lora gugup sekali, lalu memeluk Bram lebih erat, kencang.
LORA (VO)
Entah kenapa ia sepertinya juga memelukku.
Wajah Lora tampak bahagia (CU).
LORA
Kunang-kunang itu telah kembali ke dalam hutan.
BRAM
Apa... kunang-kunang...?
LORA
Semua jadi gelap. Kegelapan ada di mana-mana... (kata Lora sambil mengendalikan diri)
BRAM
Iya gelap... masuklah ke kamar, barangkali bisa membuatmu lebih tenang...
Bram melepaskan pelukan Lora. Tangan kanannya merangkul bahu Lora dan menuntunnya masuk kamar.
Bram menyalakan mode senter di layar ponselnya, menerangi ruangan, lalu mencari lilin, dan menghidupkannya dengan korek api.
BRAM
Cahaya akan membuatmu lebih tenang...
LORA (VO)
Aku tak mengerti apa yang ada di pikiran lelaki, yang seorang macam Frans tampak kehausan akan seks, sedang Bram tampak sangat dingin. Apa karena dia belum pernah melakukannya? Masak dalam usia telah 30 tahun belum sama sekali melakukannya. Apakah dia lelaki yang melakukan seks hanya untuk sebuah pernikahan. Bila demikian sungguh aku makin simpati padanya.
Lora memandang nyala api lilin dengan tatapan sendu. Bram duduk di sebelahnya, diam, sembari menatap kegelapan di luar jendela.
LORA (VO)
Kak Hanin, kawin 3 x, dan kini jadi duda. Sikapnya yang pendiam ternyata penakluk hati wanita. Pernikahan pertama hanya 2 tahun. Pernikahan ke-2 dengan wanita karier yang punya posisi bagus di perusahaan. Aku kira dengannya akan langgeng, namun malah tak sampai 2 tahun mereka bercerai. Dan hanya berselang dua bulan dari perceraian, ia kembali nikah dengan teman SMAnya. Katanya itu cinta pertama yang tak pernah terlupakan.
Api lilin meliuk-liuk. Bayangan-bayangan di ruangan ikut meliuk.
LORA (VO)
Mereka nikah dalam suasana yang sangat romantis. Seolah mereka pasangan sejati yang dipertemukan lagi. Teman-teman SMA mereka undang semua. Turut pula sebuah grup musik yang legendaris sebagai pengiring hajatan. Nostalgia katanya. Pesta pernikahan semalam suntuk ditutup dengan pesta miras hingga subuh hari. Rasanya itu pernikahan yang sempurna, dengan cinta pertama yang ideal dan sempurna. Namun nyatanya tak sampai 3 tahun mereka berpisah.
Tanpa sengaja aku pernah mendengar Kak Hanin berkata: pernikahan membuatnya terkekang, pernikahan membuatnya tak bebas!
Ruangan temaram. Hening, sunyi. Bram larut dalam pikirannya.
LORA (VO)
Saat pernikahannya dengan cinta pertamanya itu, aku dan Hans baru saja memperingati pernikahan kami yang ke-3, yang sepi dan hanya berdua, makan di restoran langganan kami. Aku merasa tipe dua saudara ini sangat berbeda, Hanin walau ia terbilang pendiam suka dikerubuti banyak teman-temannya, sedang Hans sama sekali tak suka keramaian.
Bram mengantuk, tapi kemudian ia tergeragap untuk menegakkan tubuh.
LORA (VO)
Saat pesta pernikahan Hanin itu pula aku bertemu dengan Om Frans. Dikenalkan oleh Hanin dan papa mertua. Aku dengar dia lelaki hebat yang banyak membantu persoalan calon anggota dewan, kenaikan pangkat, pesugihan dan pelarisan, dan orang-orang dengan gangguan jiwa. Tapi kudengar lewat bisik-bisik, seperti Hanin yang kawin cerai, ia juga begitu, kudengar ia banyak berhubungan dengan perempuan secara bebas.
Saat pikiran Lora ngelantur demikian, ternyata tanpa dia sadari telah rebahan di kasur.
Bram melamun di kursi malas di samping dipan. Duduknya membelakangi Lora, ia tampak menatap kegelapan di luar sana.
Lora ikut-ikutan memandang kegelapan hutan.
LORA (VO)
Kegelapan di hutan pada kenyataannya berisi pepohonan. Dan seperti pohon-pohon pinus itu, aku merasa hidupku sekedar tumbuh menjulang dan menua, dan sesungguhnya juga tak berpindah kemana-mana.
Hidup ini seperti sesuatu yang memang harus dijalani.
Mata Lora tampak hampa.
LORA (VO)
Tak kumengerti, akhir-akhir ini aku mengalami short term memory lost syndrome, hilang sudah kemampuanku mengingat peristiwa jangka pendek. Saat masuk kamar dan dituntun Bram aku masih ingat, tapi waktu mau rebahan aku telah lupa. Apakah pikiranku yang ngelantur membuatku tak ingat.
OS
Kau pikun, atau kau memang telah gila. Hahahaha.
Lora kaget, kembali terdengar suara itu, dan ditambah tawa ejekan pula.
OS
Kau memang gila. Kau dan suamimu sakit jiwa. Kalian akan senasib masuk RSJ, hahaha...
Lora mulai emosi.
LORA
Pergi. Pergi sana!
Lora berteriak keras, Bram kaget.
OS
Kau memang gila, kau sakit jiwa, kalau tak gila, kau tak bisa dengar suaraku, hahahahaha
LORA
Dasar suara dari neraka!!!
BRAM
Hei mbak, mbak, sadar mbak, mbak...
LORA (VO)
Aduh, Bram dengar ya...
Lora spontan menutup mulutnya!
Lora mengambil napas panjang, menahan napasnya di dada, lalu mengembuskannya perlahan. Ia berulang-ulang melakukannya. Perlahan-lahan suara dan ejekan itu menghilang.
BRAM
Mbak, ada apa? Mbak baik-baik saja?
Bram mendekat dan menyentuh bahu Lora, berusaha menyadarkan Lora.
LORA
Gapapa, Bram... mimpi
BRAM
Mbak baik-baik saja?
Wajah Bram tampak cemas, ia menyentuh dahi Lora...
Lora mengangguk lemah.
BRAM
Cuaca sudah tak buruk lagi... (katanya lembut menenangkan)
LORA
Kau dengar suara keras tadi, kayaknya dari lobi, siapa ya?
BRAM
Mungkin salah seorang pasien yang juga takut gelap.
LORA (VO)
Syukurlah Bram bisa kualihkan.
BRAM
Mbak, lebih baik istirahat....
LORA
Kau juga....
Beat.
LORA (VO)
Entah kenapa hormon yang tadi bergelora, kini tak terasa lagi. Rasanya aneh, tadi demikian berhasrat hingga menggebu-gebu kini aku hanya merasakan kenyamanan setiap Bram ada di sampingku.
Beat.
LORA
Aku bukan takut pada gelap, aku takut pada suara tokek dan burung hantu... (kata Lora lirih)
BRAM
Tokek dan burung hantu? Bukankah itu hanya binatang biasa seperti hewan lainnya.
LORA
Sejak kecil rasanya ketika mendengar suara mereka, hantu pada keluar, berdatangan dari segala arah...
BRAM
Ah, bukankah Mbak sudah dewasa.
LORA
Aku tak tahu... ketakutan datang dengan sebab, seperti pemicu, ada pemantik dalam setiap orang yang berbeda-beda, kau akan merasa takut karena apa?
BRAM
Aku takut akan ketinggian.
LORA
Nah... khan...
BRAM
Aku jadi ingat Om Frans takut mengendarai kendaraan. Setiap lalu lintas ramai katanya ia selalu terbayang akan kecelakaan. Itu karena sewaktu kecil, ia pernah melihat kecelakaan yang menewaskan banyak orang di depan matanya sendiri. Bahkan untuk duduk di depan pun ia merasa takut.
LORA
Berarti kemarin ia ketakutan saat bersama kita ke sini.
BRAM
Iya, hehehe, ia kepepet harus duduk di depan, karena tak mau bersebelahan dengan kak Hans.
LORA
Kenapa, kok bisa?
BRAM
Entah kenapa, kurasa ada sesuatu diantara mereka yang belum selesai.
LORA
Sesuatu?
BRAM
Dulu, hanya ada aku dan Kak Hanin di rumah. Ketika aku masih TK, Kak Hans datang, dan mama berkata bahwa dia adalah kakakku. Dia diantar oleh Om Frans. Papa marah besar, namun kemudian entah kenapa Papa kemudian diam. Aku hanya mendengar soal uang dan utang.
Wajah Lora tampak kaget.
BRAM
Ketika besar aku menyadari bahwa Kak Hans bukan anak Papa, dia anak mama dan Om Frans...
Lora tersentak tak percaya, kaget bukan main.
LORA (VO)
Berarti benar dugaanku...
Beat.
LORA
Tapi kenapa aku baru diberitahu sekarang?
Bram diam saja.
Sejak pengakuan Bram ini, penilaian Lora terhadap mama langsung berubah. Terbayang wajah mama, dan paras Lora jadi marah.