INT. BANGSAL RSJ — SIANG
Lora duduk di sofa, bezuk. Hans masih tidur. Tiba-tiba seorang pasien mendekati Lora, ngajak bicara.
PASIEN
Hai...
LORA
Hai...
PASIEN
Nunggu siapa?
LORA
Suami
PASIEN
Oh dia tidur ya, kasihan..
Lora jadi merasa gimana.
PASIEN
Mungkin dia lelah, kecapekkan karena mimpi kerja bakti, jadi begitu bangun merasa capek, jadi dia tidur terus, bangun merasa capek tidur lagi, bagun capek, tidur lagi, capek capek capek capek...capek capek.... Capek... Capek....
Lora jadi agak bingung dan agak takut.
Untung dua perawat mendekat. Tiba-tiba, pasien itu berteriak: capek, caaaaapeeekkkk!!!
Dua perawat lelaki menangkapnya, dan mengajaknya ke dipan.
PASIEN
Kalian bikin aku capek!!! Capeekkk, capek tauk!!!! (teriaknya keras)
Kedua kakinya diikat ke dipan. Mulutnya masih nyerocos: capek! capek! tapi kemudian dia tertawa cekikikan, hahahaha.
Lora kemudian memilih ke luar.
EXT. BANGKU DEPAN BANGSAL — SIANG
Lora pilih duduk-duduk di kursi depan bangsal. Seorang perawat wanita mendekatinya.
PERAWAT
Maaf ya, Mbak. Kaget ya?
LORA
Iya, Mbak... kaget saya.
PERAWAT
Dia selalu begitu, kalau bicara awalnya nyambung, tapi kemudian ya jadi kacau, deh...
LORA
Iya mbak. Awalnya nyambung.
Beat.
PERAWAT
Istrinya juga dirawat di sini.
LORA
Istri lelaki tadi?
PERAWAT
Iya, kasihan ya, suami istri dirawat RSJ semua. Istrinya suka mandi keramas, berdandan, pakai bedak, lipstik tebal, dan berkata tengah menunggu suaminya pulang. Padahal suaminya ya itu tadi....
Lora tersengat hatinya.
LORA
Aku juga kadang mendengar suara-suara, ah... enggaklah, aku dan Hans tak akan dirawat di RSJ bersama-sama.
OS
Kamu gila, kamu juga akan dirawat RSJ ini, hahahaha
Lora kaget, dia mengangguk dan tersenyum sambil ijin ke toilet...
EXT. RSJ — SIANG
Lora duduk di taman. Ia melihat Hans dan para pasien lain sedang berjoget di lapangan RSJ. Suara musik dangdut berdentam keras.
Suara tawa pasien bercampur dengan para perawat yang mengatur. Beberapa pasien diam, bengong, termasuk Hans, ia hanya berdiri saja, seperti patung.
Perawat mencoba mengajaknya berjoget, menarik lengan atau menggoyangkan tangannya tapi Hans tetap diam. Ada sekitar 50 pasien yang ada di lapangan, tapi mungkin hanya separo yang asyik berjoget, sebagian yang lain berdiri tersenyum-senyum, dan sebagian lainnya hanya duduk bengong.
Cukup lama senam atau joget itu berlangsung. Ketika senam selesai, pasien menuju balai kerja.
Lora memesan kopi dari kantin, dan saat pesanan itu datang, terlihat Bram muncul dari pintu gerbang. Ia melambaikan tangan.
Lora membalas lambaian tangannya.
Sosok Bram tampak tegap dan ganteng, mudah menarik perhatian bagi para wanita.
LORA (VO)
Dia berkebalikan dengan suamiku yang pendek dan kerempeng. Aku pikir-pikir, wajah mereka berbeda sekali. Hidung suamiku bengkok, hidung Bram mirip hidung Hanin sama-sama mancung. Tulang pipi suamiku persegi, tulang pipi Bram tirus, dan rambut Bram dan Hanin sama-sama berombak, sedang rambut suamiku keriting.
Pelayan kantin menyajikan kopi, dan Lora meminta makanan ringan seperti gorengan atau snack.
LORA (VO)
Bram dan Hanin mirip, tapi kok suamiku beda ya, padahal orang tuanya sama. Aneh juga ya. Jangan-jangan mereka bukan saudara seayah atau seibu? Kenapa aku baru memikirkan hal itu sekarang ya?
Lora menyeruput kopinya yang mengebulkan uap. Wajahnya tampak puas, sedap. Bram menyusuri koridor rumah sakit.
LORA (VO)
Lalu kenapa Hans sampai marah pada mama kemarin ya, apa ada hubungannya dengan itu?
Ah, aku tak mau memikirkannya lebih jauh. Lihat Bram, kok aku merasakan gairah aneh, gugup.
Wajah Lora bersemu merah.
Jalan di koridor tak ramai mungkin karena hari mulai siang, hanya sesekali para pembesuk melintas. Dibanding rumah sakit biasa, rumah sakit jiwa selalu sepi.
Bram melangkah memasuki area taman. Makin dekat, parasnya yang kukuh pesonanya terlihat makin jantan, dan rambutnya yang berombak menambah sosoknya makin keren.
Siapapun perempuan akan mudah suka padanya.
LORA (VO)
Rasanya hormon membakar tubuhku lebih garang. Ya Tuhan.... dibanding kakaknya, ia jauh lebih keren.
OS
Kau jatuh cinta dengannya.
Suara itu membuat Lora tersentak kaget. Bram mengulurkan tangan. Lora menyalaminya.
BRAM
Tanganmu gemetar mbak, kau sakit?
LORA
Tidak... (kata Lora sambil menolehkan muka), Duduklah, kupesankan kopi...
Lora mengacungkan 1 jari ke pelayan, dan ia mengangguk.
LORA (VO)
Semoga dia tidak tahu..
BRAM
Bagaimana dengan Kak Hans?
LORA
Sepertinya belum ada kemajuan.
BRAM
Kakak ipar lelah ya?
LORA
Lumayan....
BRAM
Mbak nanti segera pulang saja, istirahat, biar aku yang menjaga kakak.
LORA
Bila keadaan memburuk, kata suster, tak perlu ada keluarga yang mendampingi, semua diambil alih perawat.
BRAM
Baiklah, tapi benarkah akan memburuk, setahuku kondisi kakak sudah... begitu buruk...(kata lirih)
LORA
Kata suster kalau dia sering marah-marah, bikin keributan di bangsal, dan tak bisa dikendalikan, dia dipindahkan ke Ruang Isolasi.
BRAM
Ruang Isolasi? ah semoga tidak, jangan berpikir negatif.
LORA
Iya, jangan pesimis.
BRAM
Selalu ada harapan, semoga kakak kembali seperti semula.
LORA
Aaamin. Ayo ini snack dulu. Sambil nunggu kopi.
Lora mengambil pisang goreng, dan mengunyahnya perlahan. Dia mendekatkan piring snack ke depan Bram. Bram mengambil kacang goreng, dan membuka plastiknya.
LORA (VO)
Bram berkebalikan dengan kakaknya yang selalu memandang hidup dengan pesimis dan negatif. Dia selalu bilang ekonomi makin sulit, listrik makin mahal, hasil pertanian yang tidak memakmurkan petani, dan politikus yang selalu korup. Tapi mungkin itu masuk akal ya karena kenyataannya memang begitu, tetapi bahkan terhadap karyanya sendiripun ia pesimis.
Bram mengunyah kacangnya pelan. Dia memerhatikan sejumlah orang yang berjalan di koridor.
LORA (VO)
Hans selalu berpikir karyanya tak akan pernah bestseller, tak akan menang lomba, tak akan dapat penghargaan, dan lain-lain, lalu ia menganggap selalu ada permainan kotor dalam setiap perlombaan, selalu ada permainan pasar dan rekayasa tertentu yang menjadikan buku bestseller atau tidak. Itu yang membuatku kadang muak, karena seakan tak ada sisi yang positif sedikit pun.
Bagaimana pun, bukunya terus terbit hingga sekarang, walau tidak bestseller tapi bukunya juga tak bisa dianggap tak laku, sesekali juga ada yang mengulas bukunya di media, jadi harusnya hal-hal itu juga dianggap keberhasilan karena dunia penerbitan buku cetak memang mengalami tantangan berat di tengah dunia yang serba digital.
Pelayan kantin datang membawa secangkir kopi. Bram menerimanya dengan sopan.
LORA (VO)
Tak sedikit orang yang pilih baca di layar ponsel ketimbang beli buku. Penerbit mencetak buku sebanyak 3 ribu eksemplar, mendistribusikan di toko buku, dan memasarkannya membutuhkan biaya yang tidak sedikit, dan itu bisnis yang penuh resiko di tengah minimnya daya beli dan baca masyarakat. Harusnya ia bersyukur karena karyanya ada yang menerbitkan, yang mau mengeluarkan sekian juta rupiah dengan resiko lama balik modalnya. Itu namanya berpikir positif, dan suamiku tak memiliki itu.
Ia selalu mengeluh, dan dongkol. Apakah hal-hal itu juga yang membuat benang syaraf di otaknya makin kusut? Sikap pesimis kabarnya bisa merenggut sel-sel hidup, dan menjungkirkannya ke tubir kematian.
BRAM
Mbak melamun ya....
LORA
Ah, enggak (sahut Lora kaget)
Bram menyeruput kopinya. Lora mengangkat tangan, memanggil pelayan.
LORA
Kau mau makan apa? Aku mau pesan mie rebus. Sepertinya enak...
BRAM
Boleh... sama ya... (katanya sambil terkekeh)
LORA (VO)
Tawanya sangat menarik, membuatku ikut tertawa, entah kenapa, aku merasa nyaman bersamanya. Hormon dalam tubuhku terasa menggelegak. Aku bersyukur di tengah penatnya mengurusi Hans, Bram hadir menemani.
BRAM
Sudahkah kakak ipar bertemu dengan dokternya?
LORA
Baru sekali, saat pertama ke sini. Kata suster, saat aku pulang sore itu, dokternya datang lagi... Oh iya, bagaimana kabar papa dan mama?
BRAM
Mereka mau menjenguk besok, tapi kupikir itu belum perlu karena keadaan kakak belum membaik.
LORA
Mungkin karena belum membaik itu justru perlu dukungan...
BRAM
Apakah ia masih melihat dinding?
LORA
Enggak lagi, kata suster, ia selalu memandangi jendela, seperti ada sesuatu di luar yang menarik perhatiannya.
Bram melihat bangsal, matanya fokus pada beberapa jendela.
BRAM
Bukankah jendelanya menghadap taman.
LORA
Bukan jendela yang itu, namun yang di depannya. Itu mengarah ke koridor menuju gudang.
BRAM
Gudang?
LORA
Gudang bekas peralatan rumah sakit. Kemarin aku ke sana, tak terawat dan kotor. Kalau malam katanya lampunya sering berkedip-kedip dan mati. Heran juga.
BRAM
Lampu?
LORA
Kata satpam, sering diperbaiki tapi selalu rusak.
Bram menarik napas panjang. Ungkapan Lora yang berbau misteri menarik perhatiannya.
LORA
Kabarnya, lampu yang baru diganti, esoknya mati. Kadang lampunya normal tapi kabelnya yang putus, atau saklarnya rusak. Macam-macamlah pokoknya. Konon itu gudang angker.
BRAM
Apa iya?
LORA
Kabarnya dulu ada pasien yang diperkosa perawat laki-laki di situ. Ia kemudian gantung diri pula di sana.
BRAM
Iiiih ngeri...
LORA
Kata suster, kakakmu sering terbangun malam-malam, lalu berdiri kaku memandangi jendela itu. Padahal jendela sudah ditutup. Ia bisa melakukan itu berjam-jam tanpa lelah, seperti bercakap-cakap dengan seseorang...
BRAM
Seperti kemarin waktu di rumah?
LORA
Kau juga melihatnya?
Bram mengangguk. Lora tampak lega, kenyataan bahwa suaminya berbicara sendiri adalah nyata.
BRAM
Kenapa sampai sebegitunya ya kak...
LORA
Aku juga tak mengerti, sejak beberapa bulan sebelum dia berperilaku aneh, kami sangat jarang bicara, dia mengurung diri dalam kamar, menulis, mengetik, aku biarkan saja, kupikir bila kusapa akan mengganggu. Kau tahu seorang pengarang saat menulis butuh ketenangan, apa aku berbuat salah ya...
Bram menggeleng.
BRAM
Bukan salah kakak ipar, kak Hans sudah dewasa, pasti dia mengalami hal yang berat, tapi apa, sayangnya dia tak mau lagi bicara, itu yang bikin sulit.
LORA
Kata suster dia mengalami delusi.
BRAM
Delusi?
LORA
Iya itu semacam gangguan mental yang penderitanya tidak bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang khayalan, meyakini sesuatu yang sebenarnya tidak ada dan tidak nyata.
Bram mengangguk-angguk, dan mendesah.
LORA
Oya kalau boleh tahu, maaf ya Bram, apakah ada unsur genetik, kutahu papa dan mama mertua baik-baik saja. Kata suster ada kemungkinan itu faktor keturunan, selain lingkungan dan biologis.
Bram diam saja, dia seperti menyembunyikan sesuatu.
LORA
Tapi ini tingkatnya sudah parah sekali. Katanya delusi sudah menyerang sekitar tiga sampai empat bulan lalu. Itu mungkin saat dia mengurung terus di kamar, kupikir dia tengah mengerjakan novel serius yang kena deadline...
BRAM
Namun aku heran kenapa dia seperti benci dan marah pada dinding di rumah ya, atau pada gudang di rumah sakit ini, adakah faktor x semacam hantu gitu?
LORA
Kemarin suster juga bertanya padaku, apakah Hans peminum alkohol, atau pemakai narkoba, kubilang kalau narkoba tidak, tapi dia kadang mabuk.
BRAM
Apakah itu juga jadi penyebab?
LORA
Aku tak tahu. Sebelum perilakunya makin aneh, kulihat dia jarang tidur. Kata suster kekurangan tidur atau imsomnia berkepanjangan juga bisa bikin gangguan...
Bram mengambil lumpia, dan menggigitnya perlahan. Lora menyeruput kopinya lagi.
LORA (VO)
Aku jadi ingat aku sendiri mengalaminya akhir-akhir ini. Aku takut ketularan, walau secara medis itu tak mungkin, namun menurut persepsiku, aura negatif dan kelam bisa mempengaruhi sekitar. Lagipula suara-suara itu makin sering terdengar. Suara-suara yang aku sendiri masih belum tahu dari mana, apakah itu suara dari neraka?
Bram memandang langit dimana awan bergumpal-gumpal bagai kapas. Cuaca cerah, sinar matahari melimpah, tampaknya tak akan ada hujan di hari ini.
Beberapa burung terbang melintas dengan sayap yang terentang, menyeberangi angkasa menuju barat.
Dari arah tenggara, sebuah layang-layang berbentuk persegi dan berwarna merah, bergoyang-goyang terembus angin.
LORA
Menurut perkiraan Kepala Perawat, dia terkena waham magik-mistik...
BRAM
Magik-mistik? Waham?
LORA
Iya sejenis ilusi, itu mengarah pada hal mistik kayak hantu.
PERAWAT
Ibu Lora!
Tiba-tiba terdengar teriakan memanggil Lora. Lora menoleh, melihat seorang perawat melambaikan tangan.
LORA
Aku ke sana dulu, yuks sekalian...
BRAM
Mie-nya?
LORA
Nanti saja.
Bram mengikuti langkah Lora.
LORA (VO)
Apakah ini takdir, Tuhan mengirimkan Bram untuk menemaniku? Bagaimana pun juga aku takut menghadapi persoalan suamiku. Dia pribadi menyendiri. Awalnya kupikir itu hal yang lumrah karena seorang penulis lebih asyik dengan dunianya sendiri. Namun setelah perilakunya yang bertambah aneh, aku berpikir mungkin itu ada sangkut pautnya dengan keadaan sekarang.