INT. LANTAI DUA PETIRAHAN — SIANG
Lora dan Bram mengikuti langkah Pak Tua menuju lantai dua.
Tangganya landai dan lebar, makin ke atas, ruangan terasa luas. Kaca-kaca lebar, pot-pot dan bunga yang indah, dan lonceng angin yang tergantung banyak di langit ruangan.
Ada 20 lonceng angin yang sesekali berdenting terembus angin. Suaranya indah, seperti simponi nada yang dimainkan secara alami.
Udara di lantai dua terasa segar karena ada kisi-kisi jendela yang banyak dan lebar.
Mereka memasuki ruang Bunda Ketua.
INT. RUANG KETUA — SIANG
Pintu bergaya spanyol dibuka, mereka dipersilakan masuk ruangan. Seorang perempuan tua, berambut putih dan pendek sebahu, menebarkan senyum ramah.
Mereka bersalaman. Seperti yang lain, jabatan tangan yang terkesan kuat dan akrab.
BUNDA KETUA
Mereka duduk di kursi kayu yang seperti tadi, namun dengan bantalan sofa yang empuk. Kombinasi tradisonal dan kontemporer yang asyik.
BUNDA KETUA
Lora mengangguk. Dia melihat dinding ada simbol Allah, Tuhan Yang Esa, beserta gambar planet-planet dan bumi dalam alam semesta. Energi makrokosmos terpancar dari sebuah cahaya putih bulat yang melingkupi alam semesta.
Bumi yang kecil hanyalah salah satu bagiannya, dan sosok manusia yang sangat kecil seperti setitik debu dalam samudra gurun yang luasnya tak terbatas.
Di sebelah gambar itu, ada salib, beserta gambar orang bersemadi dengan gaya seperti Buddha. Pot di pojok ruang berisi bonsai beringin yang meliuk elok.
Keheningan terisi setelah Bunda menyelesaikan kalimatnya. Hanya terdengar detak halus dari jarum detik jam dinding: klik, klik.
BUNDA KETUA
Kerut merut di sekitar mata Bunda tampak kentara saat ia berbicara dan tersenyum (CU).
BUNDA KETUA
Bram mengangguk. Lora menyimak penuh perhatian. Bunda Ketua tersenyum kecil.
BUNDA KETUA
Bram menarik napas panjang, dan sejenak menatap jendela kaca yang memerlihatkan pepohonan di luar sana.
BUNDA KETUA
BRAM
BUNDA KETUA
LORA (VO)
BUNDA KETUA
Lora kaget. Bukankah dia berkata pada hatinya?
BUNDA KETUA
BRAM
BUNDA KETUA
LORA
BUNDA KETUA
Itu trisula yang tak terpisahkan, yang terbukti ampuh, hingga bisa mengobati ratusan pasien sebelumnya.
Bram dan Lora mengangguk.
BUNDA KETUA
BRAM, LORA
Bunda Ketua memencet tombol. Nada panggil berdering, dan pintu terbuka. Sebuah kepala menyembul, ternyata bapak yang mengantarkan kami tadi, ia menyilakan kami keluar, lalu membawa kami kembali di lobi bawah.
INT. RUANG KEUANGAN — SIANG
Lora duduk di kursi di depannya seorang petugas yang menghadap komputer. Tertulis Keuangan di depan meja.
PETUGAS
Silahkan diisi sumbangan yang keluarga bisa sanggupi. Tiap bulan.
Lora menandatangani beberapa berkas.
PETUGAS LAIN
Lora mengangguk. Ia dan Bram akan tinggal selama dua hari di Panti.
INT. LOBI SANATORIUM — SIANG
Lora, Bram, Hanin, dan Om Frans duduk di kursi lobi. Hari mulai sore. Pepohonan bersemburat cahaya senja yang menawan, memerah.
HANIN
FRANS
Bram dan Lora mengangguk.
Sebelum pulang, saat berpapasan di depan toilet, Om Frans menatap Lora lama, sampai Lora merasa jengah. Ia tak tahu apa yang ada di pikiran Frans, selain dugaan mesum.
Frans kemudian memberi Lora sebuah buku berjudul Beauty and Sadness karya Yasunari Kawabata. Lora tak tahu sejak kapan buku itu dibawanya.
FRANS
Lora mengangguk, dan mengucapkan terima kasih. Frans menyalami Lora, dan memegang tangannya begitu lama, sampai Lora menariknya. Frans tersenyum, agak nakal.
LORA (VO)
Untung di saat demikian Bram datang.
BRAM
FRANS
BRAM
Sahutan Bram gamblang dan cepat. Dia tampak pintar. Paras Om Frans berubah. Wajahnya tampak kesal.
LORA
Bram mengangguk.
LORA (VO)
Hanin dan Om Frans berjalan ke luar Petirahan, Bram dan Lora melepaskan mereka.