Aku masih ingat jelas, bagaimana hari-hari kelam itu datang. Hidupku, yang dulu seperti dongeng modern di Pondok Indah, mendadak runtuh seperti menara pasir diterjang ombak. Namaku Ayu, dan kisah ini adalah tentang bagaimana aku menemukan kembali diriku, setelah semua yang kupikir abadi hancur berantakan.
Hari itu, aku berdiri di tengah ruang keluarga mansion kami yang megah. Marmer mengilap memantulkan wajahku yang basah oleh air mata, sementara Yudhi, suamiku, mengucapkan kata-kata yang mengakhiri segalanya. "Aku menceraikanmu, Ayu." Tiga kata itu seperti belati yang menusuk ulu hatiku. Bukan hanya karena pengkhianatannya dengan Felicity, tapi juga karena cara ia mengucapkannya, tanpa sedikitpun penyesalan. Ia tak lagi memandangku sebagai istri yang ia nikahi, melainkan seperti barang lama yang sudah usang.
Beberapa hari sebelum vonis cerai itu, Felicity datang menemuiku. Wanita itu, dengan senyum angkuh dan mata penuh kemenangan, berani menunjukkan foto-foto mesra mereka. "Kau tahu, Ayu," katanya, suaranya seperti desisan ular, "Yudhi bilang kau terlalu manja, tidak mandiri. Dia butuh seseorang yang selevel dengannya, yang bisa dia ajak bicara." Dunia terasa berputar. Nafas tercekat di tenggorokan. Aku ingin berteriak, mencakar wajahnya, tapi lidahku kelu. Aku ...